Seri Iwan dan Keluarga Kebunnya
Foto dari www.laraswati.com
Tahun 2000. Hiduplah keluarga kecil di pedalaman Sumatera. Dua anak dan dua orang tua : adik, kakak, ayah dan ibu. Si Ayah di KTP-nya tertulis pekerjaan : Petani. Ibu : PNS. Si Kakak, Fiza belum punya KTP. Sama dengan Si adik, Iwan. Hidup mereka serba pas-pasan. (Sebab memang pas adalah hal yang terdekat dengan kedamaian dan kebahagiaan). (Tentu kekurangan dan kelebihanlah yang memicu timbulnya masalah).
Tahun segitu, desa ini terkenal dengan limau manih pasaman. Limau manih itu terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah Jeruk Manis. Pasaman itu adalah nama kabupaten tempat ditemukannya berhektar-hektar kebun jeruk.
Keluarga ini punya sekitar 2 hektar kebun jeruk di sana. Sekali seminggu, Iwan dan Fiza beserta Si Ayah dan Si Ibu akan mengunjungi kebun (si Ayah tentu setiap hari ke kebun). Iwan yang berusia 6 tahun amat gembira memanjat pohon jeruk yang kuat dan bercabang itu. Ia juga bisa makan jeruk selahapnya. Malahan kadang nafsunya yang terlalu tinggi menyebabkan kakaknya Fiza kesulitan untuk membawa hasil petikan itu dalam ember (pengganti keranjang) (Fiza waktu itu kelas 3 SMA). Masa panen, itulah waktu yang paling ditunggu oleh seisi rumah, ayah dan ibu karena uangnya, mungkin Fiza juga. Tetapi Iwan tentu lebih kepada acara panen itu sendiri : memetik jeruk.
Suatu kali musim panen, Iwan memetik sampai 7 kg jeruk dan itu menjadi bagiannya. Tidak dimasukkan dalam hitungan kg yang akan di jual. Dia angkut jeruk itu ke rumah. Iwan, yang tidak sanggup menghabiskan jeruk itu, (yang saat itu mereka belum mempunyai kulkas untuk bisa menyimpan jeruk-jeruk) berniat menjual saja jeruk-jeruk itu secara eceran di depan rumahnya. Tentu saja. Laris manis, ia jual dengan harga murah. Mungkin ia terinspirasi dari kedua orang tuanya yang mendapatkan uang dari hasil panen.
Kalau kau ingin tahu rasanya buah jeruk itu, manis airnya, lembut bulir dagingnya, segar dengan kadar keasaman yang tidak terlalu asam dan tidak pula hambar. Bila kau tidak melepas kulit arinya, akan terasa juga sedikit pahit setelah selesai makan jeruk itu. (tetapi saat memakan, rasa pahit itu kalah dengan manis) Selain itu kulitnya yang tipis menandakan bahwa kandungan air di dalam jeruk banyak. Tidak seperti jeruk yang kulitnya tebal dengan beberapa bagian dalam yang kosong, seperti gabus saja. Kalau kau benar-benar ingin merasakannya, kau mesti masuk mesin waktu dan mengeset untuk pergi ke tahun 2000 bulan Desember di Sumatra Barat, desa Iwan. Tentu nanti kau bisa membeli jeruk itu dari Iwan di depan rumahnya.
Setahun setelah itu, keluarga Iwan kedatangan anggota baru. Ini ulah kedua orang tua Iwan tentu. Si Ayah dan Si Ibu. Lahirlah adik Fiza dan Iwan yang kelak diberi nama Awan. Mirip dengan Iwan.
Mulai waktu itu, perekonomian desa mulai agak susah. Artinya pendapatan para penduduk mulai berkurang. Akibatnya daya beli yang melemah.
Di tengah kejadian itu, muncullah semacam ratu adil yaitu kakao. Perkebunan kakao memberikan uang segar kepada para penduduk. Dengan singkat petani di desa mengganti jeruk mereka dengan kakao. Benar saja, kakao tumbuh subur dan menghasilkan buah yang bagus dan bernilai ekonomi lebih tinggi.
Beberapa bulan kemudian limau manih pasaman tinggal mitos. Diganti dengan perkebunan kakao. Tidak terkecuali kebun milik keluarga Iwan. Ayah iwan si Ayah, menyemai sendiri bibit kakaonya dan menanam dengan hati-hati. Hasilnya bertumbuhlah kebin kakao yang subur. Daunnya hijau batangnya kokoh dan buahnya kuning terang bila sudah masak atau coklat keunguan dan kemerahan. Dalam sebulan bisa didapatkan 40kg kakao kering. Kakao ini mesti dibuka dulu buahnya. Yang dapat dijual adalah bijinya sedangkan kulitnya tidak. Biiji itu harus dikeringkan dulu dengan dijemur biasanya 3 sampai 4 hari. Sampai air dan daging buah kakao itu memang hilang. Aroma biji kakao ini khas, masam bercampur bau coklat dan sedikit aroma bubuk kopi.
Iwin yang sudah kelas 3 SD tidak lagi bisa memanjat pohon jeruk. Ia tidak paham mengapa jeruk-jeruk itu ditebang, ia hanya tahu, sekarang pohon yang kokoh dengan daun hijau, buah kuning oranye yang lebat itu sudah diganti dengan kakao yang batangnya lebih besar-besar dan lebih lemah daun yang jauh lebih lebar sehingga kebun gelap dan sangat banyak nyamuk. Iwan juga tidak bisa lagi minta dibuatkan kayu ketapel sebab kayu kakao tidak cocok. Kurang kuat. Habislah riwayat pohon jeruk di kebun Iwan.
Hal itu tidak hanya terjadi pada kebun keluarga Iwan. Hampir setiap kebun jeruk bernasib sama. Dan memang efeknya nyata. Kakao lebih menguntungkan daripada jeruk.
Maka disemailah benih kakao dan selang beberapa bulan, kebun sudah dipenuhi oleh pohon kakao. Iwan tidak bisa leluasa memanjat dan makan buah lagi. Sebab kakao itu rasanya masam dan memang bukan makanan. Bijinyalah yang nanti dapat diolah menjadi bumbu masakan dan bahan baku coklat.
Kakao lumayan bertahan lama. Setidaknya lebih lama daripada jeruk. Iwan sekarang sudah kelas 6 SD. Dan adiknya awan sudah akan masuk SD.
Tahun itu datanglah wabah yang menyerang seluruh kebun kakao. Ini menyebabkan buah kakao busuk, daunya penuh bercak kecoklatan. Seperti penyakit. Hasil panen pun turun drastis. Kira-kira menjadi sepersepuluh dari bulan-bulan yang sudah berlalu. Sampai terkenal ada kecurangan beberapa petani kakao. Mereka menambahkan tepung pada biji kakao saat masih basah dengan harapan pada saat dijemur meresap ke dalam biji kakao sehingga berantnya bertambah.
Disaat yang bersamaan ada ratu adil baru, sawit. Semua orang berbondong-bondong mengganti kebun mereka dengan sawit. Jadilah demikian. Beberapa orang juga sudah menyarankan ayah untuk mengganti saja kakao itu karena sudah tidak menguntungkan lagi. Namun si Ayah masih bersikeras dengan dirinya bahwa ia belum akan mengganti isi kebun. Meskipun sudah merugi. Katanya sayang, batang-batang nan cantik dan dahulu menghasilkan kakao yang banyak itu ditebangi. Ia belum tega.
Itulah periode akhirnya kebun kakao yang setengah mati alias sakaratul maut ditebang juga oleh ayah. Kebun Si Ayah adalah kebon kakao terakhir di desa itu. Semua sudah diganti sawit. Sawit saat itu sedang dipuji-puja, semua petani mengganti kebunnya menjadi sawit, kebun kelapa diganti sawit, kakao sudah tentu, kebun karet diganti sawit, bahkan ladang dan sawah entah bagaimana caranya diganti sawit, padi yang menghasilkan beras tidak lagi menjadi tanaman utama. Yang jelas sawit. Bahkan lambang ibukota kabupaten itu sendiri adalah setandan bonggol sawit. Sawit hampir mengalahkan rumput dalam jumlahnya. Investor dari luar membuka belasan ribu hektar gunung untuk dibuat perkebunan sawit. Entah mengapa semua orang tergila-gila dengan sawit sama seperti dulu saat jeruk masuk, kakao mengganti jeruk.
Kemudian suhu udara bertambah panas dalam beberapa tahun terakhir. Itulah dampak utama yang terasa. Bahkan sudah seperti panasnya ibukota propinsi yang notabene sudah banyak pabrik dan industri. Padahal di desa ini baru ada dua pabrik pengolahan setengah jadi minyak sawit.