Afirmasi
Aku tidak tahu apa makna semua
peristiwa yang kualami selama sebulan kebelakang ini. Kalau bisa aku
berpendapat, aku hanya dapat menebak saja, apa hikmah dan pelajaran dibaliknya.
Jikalau memang ia tidak berani menampakkan diri dalam bentuk peristiwa itu. Dua
minggu aku sakit kepala, dikarenakan gejala sinusitis, dua hari kemudian aku
diare. Barangkali Dia yang di atas sana ingin menghapuskan beberapa catatan
dosaku yang sudah menumpuk. Sebuah komedi tragis juga menjadi pertunjukan yang
ia ingin saksikan melalui diriku yang menjadi tokoh utama.
Hari itu dia akan ulang tahun.
Entah dorongan apa, aku memutuskan untuk menaiki Arnes dan pergi ke Jatinangor.
Aku tidak percaya dengan frekuensi hati manusia,bagiku saintisme tidak akan
pernah menjelaskan realitas perasaan sedemikian konkret. Tetapi aku yakin
dengan getaran perasaan. Mungkin paradoksal, tidak mengapa, biarlah.
Karena mau browsing lagi, nanti
kulanjutkan
Setelah beberapa hari kulewatkan
tanpa melihat ini lagi sekarang lagi.
Setelah makan pagi dengan lontong
Lembah Harau di Dago dan karena rejeki anak soleh, dibayarkan oleh orang tua
Rezky. Aku sudah bangun dari tidur pagiku. Setelah jam 2 tadi malam terbangun
dari malam. Jam 11 tadi aku bangun. Dan segera menuliskan apa yang ingin aku
tulis. Sehabis azan zhuhur dorongan untuk minum es kelapa muda membuatku
beranjak dari kamar yang seperti kandang ayam tak terurus ini. Aku memakaikan
kaos ke badan yang satu-satunya ini. Kulangkahkan kaki. Entah mengapa lagi
ditengah jalan dan di tengah waktu aku berubah pikir, aku ingin jus saja. Jus
alpukat. Apakah ini karena kemarin tidak jadi minum jus alpukat sebab si ibu
penjualnya bilang jus alpukat sudah habis maka diganti saja dengan jus mangga.
Mungkin. Aku putuskan saja beli jus alpukat. Pengganti makan siang. Setelah
selesai jus, aku duduk di bawah jembatan layang itu. Menatap sekitar. Tidak ada
pemain skateboard hari ini. Yang
ramai malah taman jomblo di seberang sana. Mungkin karena wifi-nya yang gratis. Setelah habis aku kembali lagi ke kosan
menuliskan ini.
Sudah lebih seminggu aku tidak
menghubunginya. Mungkin diri ini butuh istirahat meskipun aku tidak merasakan
lelah. Tubuh mungkin kuat tetapi batin entahlah. Semua akan terasa rumit bila
mulai kupikirkan.
Kemarin aku ke Jatinangor lagi
setelah takdir yang menentukan. Sidang sarjana seorang kawan yang luas pikiran
dan keningnya. Beliau adalah Dyno, dia yang pacarnya cantik sekali. Yang
membuatku iri dan iri hanya dibalik menjadi iri. Begitu kata Hamid dan
Palindrom kata Ichsan, sarjana teknik industri itu. Aku berangkat bersama Imam. Dia yang sedang gelisah ditimpa
masalah. Seorang sarjana teknik tenaga listrik di ITB. Yang memutuskan resign dari tempat kerjanya, padahal
baru sebulan ia di sana. Maklumlah idealisme memang tidak bisa ditawar. Dalam
perjalanan pergi kami tidak banyak bicara sebab aku mengantuk dan tidur di atas
Damri yang merangkak pelan itu.
Baru setelah perjalanan pulang
itu kami bercerita banyak. Ia curhat tentang keinginannya menjadi manusia yang
menjalani hidup lebih teratur dan nyaman. Ia ingin kerja dengan nyaman sesuai
passion dan tentu saja materi bukan menjadi pertimbangan yang utama namun
pertama.
Aku pun ingin berkontemplasi
sebenarnya atas kejadian-kejadian beberapa bulan ke belakangan ini. Berapa
sudah masa hidup yang kulewati? Dan apa pengaruhnya ? dan apa diriku yang baru?
Saat kawan-kawan seangkatanku
wisuda oktober. Didit membawa rombongannya dari Jakarta. Sebuah avanza disewa
dan 9 orang masuk ke dalamnya. Didit sebagai driver berangkat ke Bandung dari Jakarta. Sebuah reuni kecil malam
itu. Di kofindo disertai permainan werewolf
untuk menyatukan topik pembicaraan. Kerumunan terjadi. Canda tawa meledak
sekeras-kerasnya seolah tak ada kesedihan tersisa. Begitulah sifat manusia.
Bersama tertawa. Mulai cemas dan sadar dan ingat ketika mulai sendiri.
Terbayang segala sorge dan angst dan segala kendala.
Fadil yang sudah bekerja itu
bertambah dermawan saja. Itulah sebaiknya yang terjadi pada manusia semakin
punya semakin berbagi. Tidak malah menyimpan dan menimbun sendiri.
Kejadian-kejadian kutempuh dengan
penuh. Kuamini segala hikmah dan pelajaran dibaliknya. Kuiiyakan bahwa setiap
peristiwa adalah proses menjadi diri yang baru. Hidup meski terus meski
misterius. Iklim diskusi seminggu belakangan mulai luntur dalam diriku. Aku
larut dalam keseharian yang memang tidak jelas. Kapan hidupku jelas entahlah.
Afirmasi.