Ngigau 8
Kalau
kau tidak datang aku akan menangis.
Manja
sekali kedengarannya. Aku balas; Sebenarnya aku ingin melihatmu menangis.
Dengan begitu, aku akan melihat ekspresi malaikat sedang meneteskan air mata.
Tapi bagaimana pula aku akan melihatmu menangis, bila aku sendiri tidak berada
disana? Menyalahi hukum alam bukan? Ibarat akan melihat mata berkedip secara realtime.
Baiklah
aku akan datang dengan satu syarat. Kau mau menangis untukku?
Begitulah
percakapan yang kudengar kurasa dan aku alami.
Aku
sangat menyayanginya seperti mungkin stetoskop menyayangi detak jantung.
Merindukannya seperti elektron yang selalu mengitari proton. Mencintainya
sepert alveoli yang menyerapkan oksigen.
Begitulah
kira-kira gambaran yang dapat kubuatkan. Sekarang tiba-tiba saja kau mau
mengambilnya dariku. Apa sebenarnya maumu?
Bisakah
kau sedikit saja berperasaan?
Kalau
kau tidak datang aku akan menangis.
Maka
menangislah aku dalam kesendirian ditengah keramaian. Hiruk pikuk orang-orang
yang lalu lalang tidak terasa bagiku.
Kata-kata
itu benar-benar menjadi kalimat yang menyedihkan dalam sejarah hidup. Hujan
membasahi bumi dan airmata membasuh luka hati.
Terisak
tak tertahan. Walau bagaimana pun aku tak pernah bisa berlaku adil kepada
perasaan ku sendiri. Aku tak pernah bisa berlaku logis dalam
perbuatan-perbuatan konyol ini.
Dalam
khayalan-khayalan pribadi aku selalu mengharapkan adegan imajiku benar-benar
nyata, eksis dalam dunia nyata. Namun nyatanya, yang nyata hanya aku yang
menangis untuk melepaskan ekspresi kesedihan.
Apa
sebenarnya terjadi sehingga benar-benar begini jadinya?
Apakah
tidak boleh kutahu?
Apakah
tidak boleh aku mengerti?
Kalau
kau tidak datang aku akan menangis. Kalimat ini begitu menghunjam di rongga
hatiku entah kenapa. Mungkin alam bawah sadarku pernah mendengarkan kalimat ini
dalam sebuah cuplikan film, atau mataku pernah membacanya dalam cerita novel
ataukah aku pernah mendengarkannya dalam sebuah percakapan.
Yang
bisa kubayangkan adalah seorang gadis cantik. Dengan bibir mungilnya, dengan
artikulasi manja membunyikan kalimat ini kepada seorang pria di dekatnya.
Kemudian sepersekian menit sesudah itu, mukanya langsung cemberut. Akan tetapi
wajahnya tetap anggun dan memesona.
Pipinya
putih mulus seperti bakpau. Itu yang selalu ada dalam pikiranku. Mungkin
sebenarnya ini hanyalah sebuah ilusi dimana aku terus mengharapkan ada
seseorang yang kelak mengatakan ini padaku. Entahlah aku pun tidak mengerti apa
yang seharusnya aku mengerti. Aku pun tidak bisa berpikir jernih tentang ini.
Lebih baik aku mengeja saja apa sebenarnya yang kuinginkan sekarang. Apakah
belaian lembut seorang kekasih ataukah sebuah tanggung jawab yang membebani
pundak. Apa sebenarnya yang aku butuhkan dukungan dari seseorang yang kucintai
atau perlombaan yang harus dimenangkan semuanya seperti berhubungan paralal
sekaligus seri. Seri dalam paralel dan paralel dalam seri. Dalam rangkaian
listrik ada suatu rangkaian yang tidak bisa disebut seri dan tidak bisa disebut
paralel juga. Mungkin begitulah pikiran dan perasaan yang kurasakan sekarang.
Aku
terus saja menuliskan harapan-harapan ku dalam diary itu. Mungkin suatu saat
akan lahir keberanian untuk mengatakannya kepada subjek-subjek yang ditujukan.
Supaya tidak lupa. Kutulis saja dahulu. Mungkin tidak sekarang. Tapi ya. Tulis
sajalah dahulu
Waktu
terus berlalu. Berat badanku bertambah dan cara pikirku pun berubah. Aku lebih
banyak menikmati saja tanpa mengambil pusing kejadian-kejadian dalam hidupku.
Aku benar-benar sedang belajar menerima keadaan. Tapi ada satu hal yang
kurasakan masih saja seperti dulu dalam diriku. Perasaan rindu yang tak
menentu, senang yang sesekali datang, suasana-suasana sedih itu juga yang
acapkali menyengat saat terbayang kenangan-kenangan lalu.
Apakah
sebenarnya yang terjadi padaku ?
Adakah
nanti seorang yang akan membantu berpikir dan merasakan perasaan ini?
Membaginya menjadi dua. Separuh untukku dan separuh untuknya ?
Kulminasinya
: Adakah seseorang yang akan mau mendengarkan cerita-ceritaku, mengapresiasi
khayal-khayalanku, dan yang terpeting agar aku tidak lagi kesepian seperti ini.
Dan aku bisa minum kopi yang dibuatkan spesial untukku.
Suatu
masa aku yakin akan datangnya hari-hari itu menghampiriku.
Suatu
saat aku yakin akan ada manusia lain yang Tuhan utuskan untuk melengkapi
seluruh kekuranganku. Tapi pertanyaanku muncul kemudian. Siapa ?
Apakah
dia orang yang selama ini aku cintakan keberadaanya?
Aku
rindukan senyumannya?
Dan
aku gilakan kebaikannya?
Tak
tahulah. Yang jelas ini masih. Kalau kau tidak datang aku akan menangis.
Tengah
malam ini suhu bandung 20 derajat celcius. Hujan masih membungkus kosanku dan
sekitarnya. Bulir hujan yang sepersepuluh detik menghantam seng seperti irama
yang menjadi accompaniment lagu Right Here Waiting yang
dinyanyikan Richard Marx dalam player AIMP-ku.
Disana,
diseberang sana jauh pikiran mengelana. Mengatasi awan dan petir. Diantara
bintang dan bumi. Ditengah bulan dan samudra pasifik. Disana letak jiwaku
sedang berkaca kepada maknanya sendiri.
Apakah
yang terjadi sehingga sedemikian konyolnya aku malam ini.
Untuk
kedua kalinya Richard Marx mengulangi lagunya lagi. Seakan tahu apa yang sedang
aku rasakan.
Suatu
saat nanti. Mungkinkah ada orang yang simpati? Ataukah hanya celaan dan ejekan
yang memburuku?
Biarlah
biar saja. Kalau pun demikian adanya memang pantas. Karena sesuatu itu akan
kembali padanya. Bila aku menuliskan ini pun akan kembali ke perasaan itu
sendiri.
Celaan
dan ejekan adalah kembalian yang cukup untuk menghargai.
Apakah
terlalu putus asa aku hari ini ? Tidak rasanya tidak. Jika putus asa, mungkin
sudah kupotong urat nadi sedari tadi. Toh cutter ada
di atas mejaku. Atau ya. Mungkin sudah putus asa dalam bentuk lain ; Kehilangan
Harapan. Saat kita sudah tidak punya harapan untuk hari esok. Maka
putuslah asa. Matilah jiwa.
Sebentar
untuk memastikan biar kutanyakan jiwaku yang sedang melayang diangkasa sana.
Sudah
kutemukan jawabannya.
Aku
hanya butuh waktu yang cukup untuk mengobati diri. Dari sakit-sakit yang
menyeri dari migrain-migrain yang menyisi. Semoga secepatnya aku bisa sembuh
kembali. Agar bisa kubuatkan cerita yang lebih indah daripada hari ini.
Selamat
berobat.
Jika
kail panjang sejengkal jangan laut hendak di duga
Bayang-bayang
sepanjang badan
Katak
hendak menjadi lembu
Bagai
pungguk merindukan bulan
Adakah
sebenarnya tulisan-tulisan saya akhir-akhir ini mengandung keoptimisan ?
rasanya tidak.
Tulisan
saya sepertinya lahir dari rahim kekecewaan dan keputusasaan. Saya pun tahu
mengapa ini harus terjadi.
Yang
saya inginkan saya tetap menulis. Apapun yang terjadi, pada pikiran dan
perasaan saya.
Bila
memang sudah takdirnya keputusasaan menjadi trending topic selama
minggu ini. Berarti memang demikianlah adanya. Kalian bisa protes ke mana-mana
atau hiraukan saja tulisan ini. Siapa tahu kalian bisa tertular penyakit saya.
Selamatkan diri kalian masing-masing. Karena suatu saat kalian belum tentu akan
merasakan seperti yang saya alami.