Aneh I
Bandung
dingin benar malam itu. Anginnya menusuk-nusuk tulang tapak jari. Membekukan
kaki-kaki yang tidak berkaos kaki.
Aku
memacu sepeda melintasi Unpas, turun ke belakang BEC kemudian belok kanan,
mulai menanjak ke arah stasiun. Disinilah kejadian itu bermula.
Dalam
perjalananku kali ini aku disokong oleh dua lapis jaket. Pertama jaket timnas merah
putih dari bahan wol sintetis. Kemudian diluarnya jaket two face adidas hitam dan abu-abu.
Di
stasiun kulihat taksi-taksi berjejer dengan satu dua tiga empat wanita
berpakaian minim berdiri disekitarnya. Entah apa maksud mereka di suhu Bandung
yang beku begini memakai rok mini dan tanktop.
Apakah akal sehat mereka sudah membeku ?
Atau emang kulit mereka sudah kebal dengan udara macam begini.
Setelah
melewati stasiun aku belok kiri membelah jalan astana anyar. Hanya lampu-lampu
yang menjadi saksi perjalananku. Sepertinya orang-orang sudah pada tidur.
Sesekali untung saja ada truk-truk melintas.
Aku
terbangun
Bang
masih jauh ya?
“Ia
dek tinggal setengah jam lagi juga sampai”
Aku
ingat kenangan dua jam lalu saat aku baru saja melintasi jalanan dengan sepeda
biruku.
Rupanya
aku sekarang sudah ada di rumah sakit. Mengikuti rombongan para dokter
mendorong cepat sesosok gadis. Sepertinya menuju sebuah ruangan.
Ah.
Aku
sebenarnya tidak mau lagi menceritakan ini pada kalian. Betapa anehnya
pengalaman ini.
Dari
sini sebenarnya mulai jelas.
Aku
berhenti dari lamunan. Aku beranjak berjalan
keluar dari kelas yang sudah kosong, rupanya mereka tidak membangunkanku. Padahal
kuliah sudah selesai sedari sejam yang lalu. Hari sudah sore.
Aku
berjalan menghindari lorong-lorong. Mengambil jalan disebelah tepi saja. Kata
orang-orang disini banyak hantu dan makhluk aneh. Tidak jarang mereka merinding
karena suasana yang menakutkan. Aura negatif. Begitu singkatnya kata
orang-orang yang mengaku sudah melewati lorong-lorong ini.
Setelah
belasan langkah, aku mendengar bunyi seperti langkah kaki. Seperti suara
langkah kaki dua orang yang terburu-buru. Aku ketakutan, bulu kudukku
merinding, jangan-jangan. Ah aku kembali teringat kata dosen Fisika ku,
kalaupun hantu itu ada, suara jejak langkahnhya tidak akan bisa kita lihat
karena seyogyanya frekuensi dari tubuhnya tidak akan bisa menghasilkan
frekuensi di sekiar 20 sampai 20 kHz. Aku sebenarnya tidak begitu mengerti
dengan penjelasan ini, tapi setidaknya membuyarkan sedikit demi sedikit rasa
takutku.
Aku
mengintip. Benar, rupanya dua orang berseragam hitam hitam sedang terburu, buru
keluar dari lorong yang kata orang misterius itu.
Besok
pagi aku terbangun. Ternyata aku sudah diatas kasur rumah yang sangat aku
cintai ini. Dan aneh semua keluargaku sudah hilang. Tidak ada satupun mereka
disini.
Dan
mereka meninggalkan sebuah pesan.
Ternyata
aku akan dihadapkan dengan sebuah masalah besar. Masalah penyelundupan senjata
dan teknologi canggih yang ada di kampusku.
Beberapa
dosen terlibat dalam proyek ini. Rupanya pemerintah sudah lama membuat
megaproyek ini. Beberapa dosen yang kukenal juga ternyata terlibat aktif.
Mereka mengembangkan senjata biologis, senjata laser, bahkan senjata nuklir.
Kucubit lenganku. Sakit. Ini memang benar-benar nyata.
Aku
dihadapkan pada pilihan mendiamkan ini untuk menyelamatkan keluarga. Aku ingin
menyelamatkan juga kampus ini dari proyek-proyek immoral seperti ini. Bukankah
harusnya kampus adalah tempat yang aman untuk belajar bagi mahasiswa? Sesekali
kampus ini bisa menjadi ancaman untuk penghuninya. Bisa menjadi bom waktu yang
akan meledak karena proyek kotor ini.
Seharusnya
pemerintah memelihara kedamaian di negeri ini bukan untuk membuat senjata
pemusnah massal begini.
Aku
terlena
Sore
ini begitu banyak kejadian aneh dalam tulisan-tulisanku.