Pak Cik Bram eps 3
Namaku Dan, Dani. Aku
dilahirkan dua puluh empat tahun silam di desa Lubuk Gading. Nun jauh di
pedalaman Sumatera. Jika kalian pernah ke Padang, maka kalian harus menempuh
perjalanan 300 km atau sekitar 6 sampai 7 jam dengan bus ke tempatku. Desaku
ini desa yang damai dan subur. Saking damai dan suburnya, para konglomerat dan
orang berduit bisa punya kebun sawit hingga ribuan hektar disini. Desa kami
tidak sempit tanahnya, tetapi masih belum luas pemikiran penduduknya. Bahkan
Aburizal Bakrie yang sekarang mencalon jadi presiden RI itu punya perkebunan
tidak kurang dari 15.000 hektare disini. Dulu pernah ada peristiwa yang
mengganggu kedamaian disini. Pertikaian tanah ulayat. Beberapa tetua kampung
menjual tanah ulayat itu kepada para tuan-tuan dari pulau seberang. Hampir
terjadi pertumpahan darah. Namun orang pulau seberang sedemikian hebatnya
melobi hingga akhirnya terjadi pertemuaan yang berakhir dengan kata ‘damai’.
Setelah kejadian seminggu
lalu. Aku memutuskan untuk mengadu nasib ke Jepang. Mengapa Jepang? Karena
memang aku sudah meng-apply dan diterima disana. Aku sudah mengirim
proposal dari tiga bulan yang lalu. Sudah
keluar pengumumannya sebulan setelahnya. Tetapi aku berniat untuk membatalkannya
karena alasan yang sangat indah. Menikah dengan Sarah.
Namun Tuhan punya kehendak
lain. Aku terpaksa melanjutkan studiku di sana. Aku membatalkan rencana
pembatalanku.
Kata orang-orang, artikel di
internet, orang jepang itu punya budaya yang sangat luar biasa. Mereka terkenal
dengan ketekunan dan keuletan. Dengan etos kerja dan kedisiplinan tinggi. Hal
ini akan tentu sangat berbeda dengan desaku. Mereka lebih suka minum kopi di warung
saat pagi hari. Baru setelah matahari mulai meninggi mereka berangkat kerja. Ke
kebun dan ladang.
Pernah suatu hari aku mendengar
percakapan beberapa orang tua saat dulu berangkat ke sekolah SMP. Bapak-bapak
bersarung sedang membicarakan kejelakan Amien Rais dan Soeharto. Namun aku
merasa lucu setelah puas mengupas tokoh-tokoh itu mereka berhutang atas segelas
kopi yang mereka minum.
Aku harus berkonsultasi dulu
dengan Pak Cik Bram. Sebab ia sudah lama tinggal di Jepang. Negeri matahari
terbit sekaligus negeri sakura ini. Siapa tahu dia punya kenalan yang bisa aku
temui begitu sedang rehat masa kuliah.
“Jangan sampai kau bernasib
sama dengan Pak Cik mu ini Dan. Kalau memang cinta sejatimu itu di Nusantara
ini. Mengapa kau harus ke Jepang? Pak Cik takut. Kau pergi untuk melarikan diri.
Tidak baik begitu anak muda. Pertahankan, perjuangkan. Turuti kata hatimu.”
“Apa yang harus di
perjuangkan Pak Cik apa yang harus dipertahankan? Bukankah Pak Cik pernah
bilang kita semua pernah patah hati dan yang perlu kita lakukan adalah move
on. Pak Cik bagaimana sih tidak konsisten begitu. Jelas-jelas dia sudah
memberi undangan. Mau apa lagi. Saya sudah bulat akan kuliah lagi mengapa Pak
Cik tidak support ? Malah menggoyahkan saya”.
“Bukan begitu maksud Pak
Cik, Dan. Kalau kamu memang setulus hati, ingin ke sana silahkan. Pak Cik cuma
bilang, jangan sampai kamu menjadikan itu sebagai pelampiasan. Pak Cik sudah
merasakan bagaimana akibatnya.”
Pak Cik termenung mendengar
kata-kataku. Aku merasa menyesal berkata dengan nada agak tinggi dan suara
keras kepada Pak Cik. Tetapi itu aku lakukan dengan spontan.
“Tidak untuk cinta sejati”
Pak Cik kemudian pergi
meninggalkanku.
Semalaman aku berpikir ulang
apakah aku sebenarnya menjadikan pilihan ini sebagai pelampiasan atas pilihan Sarah
atau tidak. Aku tidak bisa tidur. Muncul banyak sekali spekulasi dalam otakku.
Muncul kenangan yang sebenarnya tidak mau kuingat, muncul janji-janji masa
depan yang belum tentu ada wujudnya. Muncul pula pilihan bahwa aku tidak jadi
ke Jepang. Wah aku sangat pusing. Aku tidak bisa menentukan apa sebenarnya yang
kuinginkan. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku bahwa benar aku hanya ingin
lari dari kenyataan melanjutkan studi ke jepang. Tetapi tidak masalah.