Filsafat Rasionalisme Rene Descartes dkk
Pengertian Rasionalisme
Secara
etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang
berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya
Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan
sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis
aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal
harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio)
sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas
(terlepas) dari pengamatan inderawi.
Rasionalisme
ada dua macam antara lain: pertama dalam bidang agama dan kedua dalam bidang
filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan dari authoritas dan
dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan dari empirisme. Rasionalisme
dalam bidang agama biasanya dipergunakan sebagai alat untuk mengkritik,
sedangkan dalam bidang filsafat berguna sebagai teori pengetahuan.
Sebab Timbulnya Pemikiran Rasionalisme
Descartes
merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat
dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat
Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang
dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi
bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman
Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan
dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang
sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang
kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinum atau terputus.”
Visi Descartes
telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian
pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran
dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu
merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.”
Pada dasarnya,
visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika
yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah.
Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas
atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya
untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode “Deduksi”,
yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada
prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang
jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins
dalam buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi keseluruhan
Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai sebuah
premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya yang
terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”
Pola Pikir Rasionalisme
Rasionalisme
atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran
haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan
fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai
kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam
hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus
sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun
begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada
masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa
manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada
rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang
antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya
Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai
adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan
iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak
seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar
konteks religius, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, umpamanya
kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang
menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan
terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
Pada
pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang
dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.
Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme
kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada
ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan
dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
Tokoh-tokoh Paham Rasionalisme
Sebenarnya banyak sekali
tokoh-tokoh yang menganut paham rasionalisme, diantaranya adalah :
· Rene Descartes (1596 -1650)
· Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
· B. De Spinoza (1632 -1677 M)
· G.W.Leibniz (1946-1716)
· Christian Wolff (1679 -1754)
· Blaise Pascal (1623 -1662 M)
Akan tetapi di sini hanya akan
disebutkan beberapa tokoh saja yang sekiranya memiliki peranan penting dalam
paham rasionalis ini, antara lain:
1. Descartes
René Descartes
atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis
tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di
sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk
tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan
selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran
tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut
merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah
hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama
satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang
kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan
dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang
paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap
di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis
banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia,
namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit
pneumonia.
Sebagai seorang filosof,
Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode
pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences
(Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia (Meditations on
the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy),
1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).
Ciri Filsafat Descartes
Inti metode
Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang
dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional, kesan indrawinya, dan bahkan
juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai satu hal
yang tidak dapat diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena
itu, dia sampai pada pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam
berhubungan dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang
diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan
menggunakan akalnya. Karena menurutnya
hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai
pengetahuan yang ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai
tingikat kesalahan yang lebih tinggi.
Meskipun
demikian dia tidak mengingkari pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman.
Hanya saja pengalaman dipandang sebagai
sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran
dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika
kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk
kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan
hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Kemudian
Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam
masyarakat dalam melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal
kecuali kepastian dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya
dalam buku Filsafat untuk umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A.
Hambali,
“Andaikata Kita membaca setiap
karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri, kita tidak maju
satu langkah pun dalam filsafat…….Pengertian historis kita lalu ditambah, namun
bukan pemahaman kita.”
Dalam
membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan
dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun
persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat
baru antara lain:
a. Apakah kita bisa menggapai suatu
pengetahuan yang benar?
b. Metode apa yang digunakan mencapai
pengetahuan pertama?
c. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan
selanjutnya?
d. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarka metode-metode untuk
menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada
pengetahuan yang benar:
1. Seorang filsuf harus hanya menerima suatu
pengetahuan yang terang dan jelas.
2. Mengurai suatu masalah menjadi
bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah
itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi
pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai
pola analisis.
3. Jika kita menemukan suatu gagasan
sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya untuk
menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut. Metode yang ketiga ini disebut dengan pola
kerja sintesa atau perangkaian.
4. Pada metode yang keempat dilakukan
pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat
dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang
Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang
keempat ini disebut dengan verifikasi.
Jadi dengan
keempat metode tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan membangun
filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman
inderawinya.
2. Spinoza
Spinoza
dilahirkan pada tahun 1632 M. Nama aslinya adalah Baruch Spinoza. Setelah ia
mengucilkan dari dari agama Yahudi, lalu ia mengubah namanya menjadi Benedictus
de Spinoza. Ia adalah seorang keturunan Yahudi di Amsterdam.
Spinoza lepas
dari segala ikatan agama maupun masyarakat, ia mencita-citakan suatu sistem
berdasrkan rasionalisme untuk mencapai kebahagiaan bagi manusia.menurut Spinoza
aturan atau hukum ynag terdapat pada semua hal itu tidak lain dari aturan dan
hukum yang terdapat pada idea. Baik Spinoza maupun lebih ternyata mengikuti
pemikiran Descartes itu, dua tokoh terakhir ini juga menjadikan substansi
sebagai tema pokok dalam metafisika, dan kedua juga mengikuti metode Descantes.
3. Leibniz
Gotifried
Wilhelm Von Leibniz lahir pada tahun 1646 dan meninggal pada tahun 1716. Ia
seorang filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Lama menjadi
pegawai pemerintah, menjadi atase, dan pembantu pejabat tinggi negara. Pusat
metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep
monad.
Leibniz lahir
di Leipzig Jerman. Pada masa sekolah, ia disekolahkan di Nicolai di Leipzig.
Bapaknya adalah seorang guru filsafat etika di Universitas Leipzig. Leibniz pun
menguasai banyak bahasa dan banyak bidang pengetahuan. Tak heran jika pada
usianya yang ke- 15 tahun ia sudah menjadi mahasiswa Universitas Leipzig,
disana ia mempelajari hukum, tetapi ia juga mengikuti kuliah matematika dan
filsafat. Pada tahun 1666, tatkala ia belum berumur 21, ia menerima ijazah
doktor dari Universitas Altdorf, dekat Nuremberg, dengan disertasi berjudul De
casibus perplexis (on complex cases at law). Universitasnya sendiri menolak
mengakui gelar doktornya itu karena umurnya terlalu muda, makanya ia meninggalkan
Leipzig pindah ke Nuremberg.
Pada
januari-maret 1673 Leibniz pergi ke london menjadi atase politik. Di sana ia
dapat bertemu dengan banyak ilmuwan seperti Robert Boyle. Tahun 1675 ia menetap
di Hannover, dari sana ia jalan-jalan ke london dan Amsterdam. Di Amsterdam ia
bertemu dengan Spinoza.
Metafisika
Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta
ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi
pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Penuntun prinsip filsafat Leibniz ialah “prinsip akal yang mencukupi”, yang
secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyain alasan”. Bahkan
Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Kita lihat
bahwa prinsip ini menuntun filsafat Leibniz.
Sementara
Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, Leibniz berpendapat bahwa
substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad
berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan
satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. Maka
karya Leibniz tentang ini diberi judul monadology (studi tentang monad) yang
ditulisnya pada tahun 1714.
Implikasi Aliran Rasionalisme Terhadap Dunia Pendidikan
Seperti kita
ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal
rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan
realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran.
Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan
terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil
pula dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible
intelligebles).
Contohnya,
sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang
bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia
lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran
digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami.
Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya
seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini,
yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh
kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya
berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan
teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.
Rasionalisme
mencapai puncaknya melalui Rene Descartes yang terkenal dengan adagiumnya:
Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Ia beranggapan bahwa pengetahuan
dihasilkan oleh indra. Tetapi karena indra itu tidak dapat meyakinkan, bahkan
mungkin pula menyesatkan, maka indra tidak dapat diandalkan. Yang paling bisa
diandalkan adalah diri sendiri. Dengan demikian, inti rasionalisme adalah bahwa
pengetahuan yang dapat diandalkan bukan berasal dari pengalaman, melainkan dari
pikiran.
Sumber
http://iphinkrush.blogspot.com/2012/05/rasionalisme.html