Sebuah Komentar atas Puisi Senartogok yang saya di tag-nya

Senin, April 25, 2016 0 Comments A+ a-

(Belum diberi Judul)
Aku melihat jam di dinding jiwa
Sudah pukul 27 rupanya
Sebentar lagi senja, tetiba...
Menyeruak perasaan resah 
Sekaligus bahagia, 
Bahkan di antara 
Ataupun diluar keduanya:
Aku lega!

Sore ini aku ingin sedikit bercerita tentang puisi seorang senior. Apapula yang dapat kuceritakan lagi selain yang aku ingin? Daripada menceritakan peluncuran buku puisi “Renjana” Yansa El-Qarni kemarin (13/04/2016) di Salman kemarin, yang sejujurnya kuhadiri cuma sebab cemilan yang gratis.

Suatu malam sebut saja namanya Senartogok, nama samaran seniman muda nan pantang berpantang ini, kami membicarakan puisi. Ia mengakui telah berada puncak kepenyairannya, sebuah pengungkapan yang demikian optimis bukan? Ya. Memang begitu adanya. Sedikit mengomentari bolehlah ya. Maaf tidak minta izin penyairnya dulu. Eh siapa pula yang bilang harus minta izin? Emangnya kayak bikin diskusi di Sunken? Insyaallah tulisan ini juga tidak bisa dibubarkan pihak kampus. Bagaimana coba membubarkan tulisan? Membubarkan ide dan gagasan apalagi. Ada-ada saja.


Puisi Senartogok ini pendek adanya. Bisa dibaca sekali duduk, bahkan senapas pun bisa(Aku tidak tahu tentang boleh atau tidaknya puisi ini dibaca dalam satu tarikan napas, sama tidak tahunya dengan hukum ketika Imam membaca Al-Fatihah dalam solat berjamaah dengan satu napas). Namun untuk membuatnya ya, aku yakin dia sudah menghabiskan 27 tahun masa napasnya di bumi yang fana ini untuk bisa menuliskannya. Lalu apa? Hmmm. Tidak tahu.

Baris pertama ia buka dengan sebuah kejadian yang berbau sureal. Sang Aku melihat jam di dinding jiwa. Ya begitulah puisi engkau bisa menuliskan dinding jiwa, tidak mesti selalu dinding kamar bukan? Awalnya pada percakapan kami sebenarnya beliau mengucapkan aku melihat jam berdentang di dinding jiwa. Alamak. Tentu lebih wah lagi, setidaknya ada dua bau di sini : melihat jam berdentang adalah sebuah kegiatan yang bagaimana ya? Impresionistik mungkin? Di dinding jiwa? Surealistik. Tetapi untuk lebih memadatkan barangkali Senartogok memangkas kata berdentang. Lebih intim dan langsung kepada soal. Aku melihat jam di dinding jiwa. Kemudian dilanjutkan sudah pukul 27 rupanya. Sebenarnya aku bependapat bahwa “rupanya” itu dapat diganti menjadi “ternyata” sebagai ungkapan bahwa si Aku itu baru saja sadar, setelah sebelumnya tidak. Akan tetapi, memang kalau boleh berasumsi dan berspekulasi, “rupanya” ini adalah menunjukkan setidaknya dua asosiasi yaitu : unsur bentuk dan unsur perasaan “baru sadar” tersebut. Di sini aku termenung sejenak. Tidak sepenuhnya salah, bahwa ia telah pada puncak kepenyairannya.

Lalu dengan pukul 27, memang aku yang tahu usia beliau jelas menangkap bahwa 27 ini tidak lain tidak bukan adalah usia beliau sendiri. Waktu yang menunjukkan angka 1-12 itu ia dobrak menjadi 27. Ini artinya jam dinding jiwa sang aku itu tak mengenal bataskah? Mungkin. Sebentar lagi senja, tetiba... . Kemudian “Aku” kembali mengingat waktunya kini, waktu yang ia hayati, ia kemudian mulai berpikir bahwa sebentar lagi senja (akan turun). Apa artinya senja turun bagi seorang Aku yang 27 ini? Sabar, pada larik selanjutnya Aku mengurai itu. Menyeruak perasaan resah, ya itu semacam kecemasan (angst) yang menderu Aku.

Namun jangan kecewa dulu, dalam suasana ini bukan cuma kecemasan itu yang hadir, tetapi serentak juga bahagia. Sekaligus bahagia ya,aku resah sekaligus bahagia. Eksistensi kehadiran beliau, merasa resah atas yang belum terjadi dan bahagia atas yang telah terjadi, begitu kalau kutilik dari aspek temporal Aku. (Sebagai tambahan pernah juga terlontar dari Senartogok bahwa kawan-kawan seumurannya sudah berkeluarga, sudah punya anak). Nah yang lebih mengejutkan lagi pada tiga larik terakhir
Bahkan di antara 
Ataupun diluar keduanya:
Aku lega!

Subhanallah, Sang “Aku” bukan pada kedua kehadiran resah dan bahagia itu, Sang“Aku” lepas,melompat, “Aku” melintas ke dimensi lain, sebut saja begitu. Aku lega ! ya tahukah kau apa itu lega? Memang Senartogok sedang berada di puncak kepenyairannya.

Bonus : (Gampang sebenarnya jika kau ingin seperti mereka, tinggal meninggalkan kolase, puisi, lagu, dan sepercik kebebasan ini, lalu ya bagian tersulit memang menceraikan kebenaran itu),

Bolehlah kusitir sekelumit tuturan Nietzsche : Barangsiapa yang ingin kebahagiaaan, maka percayalah ! Barangsiapa yang ingin kebenaran, maka carilah !