Ada Rindu Tiba Senja

Kamis, Desember 22, 2016 0 Comments A+ a-


berjalan aku di jalan bebatu kampus itb
langit cerah biru sekali sore itu
terkenang aku kepada kampung halaman
wanita berjilbab abu-abu yang kusebut Ibu
Ibu...udara sore ini teramat segar di sini
lengang dan sepi kecuali gemerisik daun
dan kesiur angin
tengah jalan kupandang langit
kulihat wajahmu tersenyum
awan putih bawah langit biru
sinar mentari gemuruh rindu

Bandung, 2016

Avec Clémence Poésy [klemÉ‘̃s pÉ”ezi]

Kamis, Desember 22, 2016 0 Comments A+ a-

Avec Clémence Poésy [klemÉ‘̃s pÉ”ezi]

Rambutmukah? Dedalu tangis tersisa sehabis badai tadi siang?
Gigimukah? Barisan panjang pohon kata terpancang tetap tepi puisi?
Je ne peux pas parler français. Lidahku kelu mengeja sengau antara air
Kini kasih telentang atas danau.
Seperti teratai lotus atau perahu yang pernah ada dahulu
Kini reruntuhan. Sebagian tenggelam, sebagian berserak di rumput.
Senjakalaku menjelang, sungguh petang berkawan maut.
Sisa hanya dua tanya, sebelum redup ini mata.
Uh, Kasih Puisi.

Bandung, 2016

Senandung Cinta J Alfred Prufrock

Minggu, Desember 18, 2016 0 Comments A+ a-

(Terjemahan Puisi The Love Song of J Alfred Prufrock karya T.S. Eliot)

Mari pergi, berdua kita,
Kala malam merebak melintang angkasa
Seperti pesakit telentang atas meja bedah: dibius ia;
Mari beranjak, menjejak sepi jalan setapak,
Racauan kalah
Dari malam-malam gelisah di hotel melati kelas rendah
Dan bar berserbuk gergaji tambah cangkang-tiram
Jalanan yang menjejak seperti dalih-berbelit
Dari maksud tersembunyi
Membawamu ke satu tanya penuh ragu
Oh, jangan kau tanyakan,”Apa gerangan?”
Mari lekas pergi dan selesaikan lawatan ini.

Di dalam bilik, sang wanita bolak-balik
Bertopik Michelangelo ia berbisik

Tentang Lelaki 23 Tahun yang Terperangkap dalam Tubuh Lelaki Kecil Berumur Lima di Pantai Identitas (Rumah Pasir)

Minggu, Desember 18, 2016 0 Comments A+ a-

Tentang Lelaki 23 Tahun yang Terperangkap dalam Tubuh Lelaki Kecil Berumur Lima di Pantai Identitas (Rumah Pasir)

Di usia 23 tahun, aku mendapati diriku lebih mirip Wilhelm Albert Włodzimierz Apolinary Kostrowicki alias Guillaume Apollianaire[1] ketimbang Søren Aabye Kierkegaard [2]. Perbandingan yang lirih sekaligus optimis. Menyandingkan diri dengan penulis buku puisi seagung Alcools[3], pemadah syair selejen Le pont mirabeau,[4] serta pelopor aliran kaligram[5] dalam dunia puisi. Membandingkan diri dengan Kierkegaard, manusia melankolis, bapak filsuf eksistensialis. Kierkegaard, meskipun di ujung, lari dari ikatan tunangan, setidaknya sudah menggenapkan lingkar cincin ke jari manis Regina Olsen[6]. Kierkegard lebih memilih menghamili filsafat ketimbang menikahi gadis Denmark itu. Tak tanggung, lahirlah anak Kierkegaard : Eksistensialisme[7].

Kenangan Masa Kecil

Minggu, Desember 18, 2016 0 Comments A+ a-

(Bersama Azdkia Yolanda Putri)

berlarian di harum pokok tanjung
sembunyikan nasib di balik sawit
bermandi-hujan merayakan segala
bersama wajah tulus-ceria

berkelereng ria, melompati tali,
pulang magrib, dimarahi, dan mengulangi :
ibadah lenyap dewasa kini

sungguh telah lupa kita cara bermain,
sibuk berlari, diburu mata panah masa depan, dari belakang
diracun bayang pekatnya takdir hitam

mengingat kenangan masa kecil seperti
mencari akar ilalang, yang putih dan manis
mengumpulkannya adalah menabur gula di atas bibir:
manis sebentar, dan ingin lebih,

tanjung kini habis ditebang
diganti sawit berdaun uang

tenang Putri,
tiap jiwa telah tumbuh
disirami rasa mulia

dari sebalik sini,
ia
akan tinggal tetap
akan selalu hidup


Bandung, 2015-2016

[Resensi Buku] Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering: Menghidupkan yang Terasa Banal

Minggu, Desember 18, 2016 0 Comments A+ a-


Resensi Buku Puisi Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering karya Hasan Aspahani.

Judul : Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering
Pengarang : Hasan Aspahani
Cetakan : Pertama, September 2016
Penerbit : GPU
Tebal : xx+177 hlm.

Tiga serangkai: lahir, hidup, dan mati, ialah simpul tempat filsuf dan penyair berhibuk mengurainya. Karya mereka tidak luput dari akal-akalan mengungkap perihal ini. Sejak Amir Hamzah, bahkan sejak jauh sebelum itu, sastrawan kita sudah melakukan perjalanan ini dalam sajak-sajak mereka.

[Resensi Buku] Cerita-cerita Telapak Tangan: Irama Daun Bambu Menari Bersama Pikiran

Minggu, Desember 18, 2016 1 Comments A+ a-


Judul               : Cerita-cerita Telapak Tangan
Pengarang       : Yasunari Kawabata
Penerjemah      : Nurul Hanafi
Penyunting      : Addin Negara
Sampul            : Amalina
Cetakan           : Pertama, November 2016
Tebal               : 332 hlm
Penerbit           : DIVA Press

“Pencerahan hanya bisa diraih lewat usaha sendiri.”

Membaca kumpulan cerpen ini, penulis tidak menemukan kerangka cerita Aristotelian. Pembukaan, pengenalan, klimaks, antiklimaks, leraian, dan penutup yang menjadi template penulisan cerpen umumnya. Kawabata tidak memakai acuan itu. Ia melukis dengan medium kata-kata. Kanvasnya kata-kata, kuasnya kata-kata, dan catnya pun kata-kata. Cerita-cerita pendek Kawabata lebih kepada lanskap alam tambah pergulatan psikologis manusia di sekitarnya ketimbang konflik-konflik fisik yang tegang dan alot. Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa Kawabata tidak luput bercerita tentang tatanan sosial, kelas, dan isu-isu perempuan.

[Resensi Buku] The Seven Good Years : Humor dari Konflik Israel-Palestina

Minggu, Desember 18, 2016 0 Comments A+ a-

Humor dari Konflik Israel-Palestina


Resensi Buku The Seven Good Years
Judul               : The Seven Good Years
Penulis             : Etgar Keret
Penerjemah      : Ade Kumalasari
Penerbit           : Bentang
Cetakan           : Pertama, Juni 2016
Tebal               : x+198 hlm.

“Di mana Anda berada ketika penyerangan terjadi?”
“Saya tidak terkena serangan. Saya hanya kebetulan berada di sini hari ini. Istri saya mau melahirkan.”
“Oh,”Katanya, tidak mencoba untuk menyembunyikan kekecewaannya, lalu memencet tombol setop di perekamnya. Mazal tov”

Apakah buku memoar-penulis Israel-keturunan Yahudi ini sudah lulus sensor ? Tidak tahu. Yang jelas buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini ialah memoar mungil Etgar Keret. Pada rentang waktu semenjak anaknya Lev lahir—bertepatan dengan serangan bom di Tel Aviv—hingga kematian ayahnya—yang sudah berhasil lolos dari holokos. Etgar Keret dengan lucu mengomentari perang-abadi, anti-Semit dan Yahudi-paranoid. Ia bak memberi sudut pandang lain bagi orang yang selama ini mendapatkan persepsi dari penulis yang pro kepada salah satu pihak pada perang Israel-Palestina. Keret menceritakan fragmen kehidupannya yang tinggal di daerah konflik. Tentu saja akan merembet ke ide perdamaian versi dia.