[Resensi Buku] Cerita-cerita Telapak Tangan: Irama Daun Bambu Menari Bersama Pikiran

Minggu, Desember 18, 2016 1 Comments A+ a-


Judul               : Cerita-cerita Telapak Tangan
Pengarang       : Yasunari Kawabata
Penerjemah      : Nurul Hanafi
Penyunting      : Addin Negara
Sampul            : Amalina
Cetakan           : Pertama, November 2016
Tebal               : 332 hlm
Penerbit           : DIVA Press

“Pencerahan hanya bisa diraih lewat usaha sendiri.”

Membaca kumpulan cerpen ini, penulis tidak menemukan kerangka cerita Aristotelian. Pembukaan, pengenalan, klimaks, antiklimaks, leraian, dan penutup yang menjadi template penulisan cerpen umumnya. Kawabata tidak memakai acuan itu. Ia melukis dengan medium kata-kata. Kanvasnya kata-kata, kuasnya kata-kata, dan catnya pun kata-kata. Cerita-cerita pendek Kawabata lebih kepada lanskap alam tambah pergulatan psikologis manusia di sekitarnya ketimbang konflik-konflik fisik yang tegang dan alot. Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa Kawabata tidak luput bercerita tentang tatanan sosial, kelas, dan isu-isu perempuan.

Kawabata muda aktif dalam gerakan sastra Shin Kankaku Ha (Aliran Persepsi Baru). Pada tahun 1925, Kawabata menyumbangkan dasar pemikiran untuk aliran ini dalam bentuk makalah yang berjudul Shin Shin Sakka no Shin Keikoo Kaisestsu (Kecenderungan Baru Pada Penulis Garda Depan) yang menekankan akan pentingnya segala sesuatu yang serba baru ; baru dalam persepsi, baru dalam ekspresi, baru dalam gaya yang mementingkan daya persepsi seorang penulis roman. Kawabata pun menekankan pentingnya “bahasa yang baru” dalam roman, yaitu bahasa yang secara langsung mencerminkan pikiran dan perasaan pada tingkat awal. Sehingga kadang-kadang tokoh-tokohnya atau juru kisah (narator) berkata dalam kalimat-kalimat yang tidak sempurna berupa potongan kalimat-kalimat yang akan lebih tepat melukiskan diri dan situasinya. (Ajip Rosidi: 1985)

Seperti ada bagian yang dibiarkan tidak selesai. Tidak sempurna. Rasa penulis ini erat kaitannya dengan kepercayaan Zen dan estetika Wabi Sabi di Jepang atau lebih dikenal The Beauty of Imperfectness (Keindahan dalam Ketidaksempurnaan). Ia tampil bukan sebagai kisah yang utuh lengkap dengan pesan moral. Ketimbang menulis pesan moral, Kawabata lebih suka mengakhiri ceritanya berupa coda. Coda yang umum dipakai Kawabata adalah sebuah lanskap alam. Seperti dalam cerpen “Arigato”—Terima Kasih (1925): “Ini adalah tahun yang menguntungkan untuk pohon kaki[1]. Musim gugur di gunung amatlah indah.” Atau seperti dalam cerpen “Keabadian”. “Warna petang mulai mengenai pohon-pohon yang lebih kecil di belakang. Langit berubah menjadi merah pucat. Terdengar suara laut.” (hal. 299)

Beberapa kritikus mengatakan Kawabata menulis sastra dengan sentuhan naturalisme. Selain itu ada juga yang bilang bahwa karyanya adalah lukisan, bahkan neo impresionisme a la Jepang. Karya Kawabata bermuatan sensual dan penuh detail serta menggunakan komposisi bahasa yang puitik. Kawabata berhenti bercerita manakala pembaca sudah mencapai puncak keingintahuannya. Gantung. Kawabata seperti menyerahkan kepada pembaca menemukan ujungnya sendiri. Seperti diktum Zen yang dikutip Kawabata dalam pidato peraihan hadiah Nobel Sastra tahun 1968, “Pencerahan mesti dicapai dengan usaha sendiri.” Hal ini mungkin juga menunjukkan gejala posmodernisme dalam karya sastra Kawabata. Ia tidak datang dengan narasi besar yang menunjukkan jalan. Karyanya hadir sebagai peta yang mesti ditafsir ulang.

Cep Subhan dalam suatu kesempatan menganalogikan cerpen Kawabata dengan sajian makanan. Pembaca mungkin tak akan menemukan cerita yang bisa dipesan lengkap dengan appetizer dan dessert, tapi itulah Kawabata. Ia ingin pembaca ikut berperan sebagai pemasak makanan seperti yang diinginkan. Ia ingin pembaca kreatif. Dengan kata lain, pada cerpen Kawabata, titik di akhir teks bukanlah penanda sebuah ujung, tetapi justru merupakan gerbang yang menandai sebuah awal dengan kemungkinan tak terbatas. Seperti dalam cerita “Pencuri Buah Gumi”, kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan uang lima puluh sen yang dipegang oleh sang wanita. Hanya adegan sang wanita menunggu si gadis pemberi buah gumi dalam perjalanan pulang. Atau dalam cerpen “Kapal dari Daun Bambu”, pembaca tidak diberi tahu apakah tunangan Akiko masih hidup atau sudah mati dalam perang. Namun, barangkali Kawabata tidak ingin berpusat kepada pertanyaan tersebut. Ia lebih suka menghadirkan suasana natur dan manusianya.

Secara umum, buku ini berkisah tentang kehidupan, kematian, cinta, kenangan, usia, Tuhan, kemanusiaan, dan alam. Tokoh-tokoh Kawabata mengalami hidup yang menjadi. Bila dikaitkan dengan eksistensialisme Jean Paul Sartre: manusia makhluk yang eksistensinya selalu bergerak. Ia menjadi dan terus-menerus menjadi sampai nanti eksistensinya beku ketika mati. Eksistensi manusia mendahului esensinya. Artinya manusia tidak mempunyai esensi awal layaknya makhluk selain manusia. Ia tidak hadir sebagai esensi yang menentukan eksistensinya. Seperti pada pensil yang ada sebagai alat tulis. Manusia melampaui itu. Ia hadir untuk menjadi. Menjadi apa pun.

Penyusunan tujuh puluh cerpen ini berdasarkan tahun terbitnya juga memberikan informasi tentang perkembangan cerpen Kawabata. Kawabata tampaknya amat rajin menulis perihal perempuan. Sebagian besar tokoh cerpennya adalah perempuan. Rasa penulis, ini tidak terjadi pada cerpen-cerpen Kawabata saja, pada novelnya juga. Seperti Daerah Salju, Rumah Perawan, Keindahan dan Kepiluan, Ibu Kota Lama, dan Deru Gunung. Nilai lebihnya, Kawabata begitu paham psikologi wanita. Seperti dalam cerpen “Tulang Belulang Tuhan”, “Kaca”, “Topeng Kematian”, dan “Wajah”. Juga Kawabata piawai menampilkan lanskap mooi indie sebagai latar belakang cerpennya seperti dalam “Kapal dari Daun Bambu” (1950).

Tema religius juga dapat kita jumpai di cerpen “Tuhan Itu Ada” dan “Vas yang Mudah Retak”. Terlihat kecerdasan Kawabata memainkan analogi seorang istri dengan sebuah vas porselen. Sesuatu yang ia cerap dari nukilan ayat Alkitab dan direproduksi lagi dalam bentuk cerpen. Tema-tema keluarga misalnya digarap Kawabata dalam “Lelaki yang Tidak Pernah Tersenyum” dan “Burung Kakesu”. Tentang becermin kepada keluarga burung atas tokoh utama yang keluarganya berantakan. Lalu tema tatanan sosial misalnya pada cerpen “Kakus Umum dan Kaca”. Cerpen yang memotret gejala sosial dan pertentangan tokoh-tokohnya. Kawabata bercerita tentang cinta misalnya dalam judul “Belalang dan Jangkrik Lonceng”. Tidak luput cita rasa humor Kawabata juga bisa kita cecap dalam “Insiden Topi” dan “Kakus Umum”. Cerpen tentang seorang pemuda yang kejatuhan topi dari atas jembatan. Kemudian kepasrahan total (fatalisme) tokoh Kawabata kepada kehidupan bisa disaksikan dalam cerpen “Topeng Kematian”, “Wajah”, “Menjelang Musim Gugur”, serta “Perkawinan Burung Pipit”. Cerpen terakhir dari kumcer ini: “Yang Terangkum dari Negeri Salju” sepertinya merupakan purwarupa dari novel karya agung Kawabata, Yukiguni (Daerah Salju). Terasa kematangan Kawabata dalam menulislukiskan kondisi psikologis dan suasana musim dingin di Jepang. Juga pengaturan alur serta keindahan bahasa yang mengagumkan.

Sepertinya ada benarnya tesis bahwa sastra tidak semata tentang esensi atau apa hal yang disampaikan, tetapi juga tentang bagaimana cara menyampaikannya. Cerpen-cerpen Kawabata dalam kumpulan ini memilih bahasa yang puitik. Penulis setuju bahwa Kawabata amat terpengaruh puisi klasik Jepang bentuk-bentuk haiku. Membaca Kawabata, penulis berani berkata bahwa pembaca tidak mesti mengerti apa yang Kawabata maksud dengan cerita itu. Dari kata-kata yang ia gunakan saja kita bisa menikmati keindahan. Ada semacam rasa yang dibangkitkan oleh cerpen Kawabata.

Bagi penulis, cerita Kawabata selain kemungkinan, juga adalah musik dari irama daun bambu yang diterpa angin yang mengajak pikiran pembacanya untuk menari. Entah apa pun bentuk tari itu. Bebas. Apakah walsa, chacha, Breakdance, atau tari payung.

[1] Pohon kesemek.
(pernah dimuat di basabasi.co  )

1 comments:

Write comments