[Resensi Buku] Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre

Kamis, Oktober 22, 2015 0 Comments A+ a-

Resensi Buku Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre

Judul                  : Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Penulis               : A. Setyo Wibowo dan Majalah Driyarkara
Penerbit             : Kanisius
Cetakan             : V, 2015
Tebal                 : 227hlm
Harga                : Rp

Untuk mengenang 100 tahun kematian filsuf besar eksistensialisme, Jean-Paul Sartre, beberapa tokoh intelektual dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menulis tentang beliau. Setelah dimuat di jurnal Driyarkara Th. XXVIII no.4/2006, kemudian Penerbit Kanisius menerbitkannya dalam bentuk buku. Dan ditambah dengan tulisan Ito-Prajna Nugroho dengan judul : “Diri dan ‘Ketiadaan’ dalam Filsafat Sartre : Memahami Kesalahpahaman Sartre atas Fenomenologi Husserl”.

Buku ini sejatinya adalah mencoba menjelaskan Sartre dengan berbagai perspektif. Perspektif itu mulai dari historis kehidupan Sartre, karya-karyanya serta kehidupan pribadinya. Tulisan keroyokan yang mencoba menjelaskan siapa dan apa Sartre ini menjadi buku yang sangat saya suka. Dengan bentuk dan struktur jurnal, tulisan di dalam buku ini terkesan ilmiah dan bernilai akademik.

Beberapa tulisan dalam buku ini adalah :

1.       Jean Paul Sartre oleh Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ
2.       Eksistensi Kontingen : Satu Sudut Pandang Membaca Kisah Hidup dan Pemikiran Jean-Paul Sartre oleh Dr. A. Setyo Wibowo
3.       Relasi Antar Manusia Menurut Jean Paul Sartre, Beberapa Catatan oleh Prof. Dr. Alex Lanur OFM
4.       La Literature Engagee : Menggagas Sastra yang membebaskan oleh J. Supriyono
5.       Ateisme Sartre : Menolak Tuhan, Mengiyakan Manusia oleh Dr. SP. Lili Tjahjadi
6.       Emosi, Bentuk Eksistensi Manusia dalam Ke-‘segera’-an (spontanitas) oleh Sayyidah Muniroh
7.       Relasi dengan Orang Lain dan Paham Kebebasan dalam Drama Sartre Huis Clos oleh Thomas  Hidya Tjaya
8.       ‘Diri dan ‘Keitadaan’ dalam Filsafat Sartre Memahami Kesalahpahaman Sartre atas Fenomenologi Husserl oleh Ito Prajna-Nugroho.

Meluruskan Neraka Adalah Orang Lain

Banyak hal menarik di dalam buku ini, seperti tulisan tentang pelurusan l’enfer c’est le autres Sartre yang acapkali disalahpahami oleh pembacanya. Thomas Hidya Tjaya mencoba meluruskan kutipan ini. Beredar kesan bahwa bagi Sartre, kehadiran orang lain merupakan sumber malapetaka bagi seorang subyek. Kehadiran orang lain, dengan tatapannya, sungguh membuat seseorang tidak bebas, cemas, khawatir, terutama dengan penilaian dan pandangan atas dirinya. Implikasinya, relasi manusia dengan yang lain selalu dilihat sebagai yang penuh racun, tidak ubahnya seperti di neraka. Thomas melalui pembahasan Drama Sartre Huis Clos mencoba menafsirkan lebih mendalam atas pandangan Sartre di atas. Menurut Thomas,  Sartre sebenarnya hendak memberikan gambaran ekstrem mengenai relasi yang mungkin terjadi antar manusia, yakni relasi yang saling mengobyekkan dan destruktif. Filsuf Perancis ini ingin menunjukkan bahwa kalau seseorang menempatkan dirinya dalam ketergantungan total pada orang lain, khususnya dalam memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri, orang itu sungguh-sungguh berada dalam sebuah situasi seperti di neraka. Situasi seperti ini merupakab bukti bahwa kebebasan orang tersebut telah ditolak. Pandangan Sartre mengenai relasi dengan orang lain ini merupakan konsekuensi dari pandangannya mengenai manusia sebagai kebebasan dan kesadaran mutlak, yang mampu memberikan makna dan mendasari tanggung jawab atas eksistensinya. Refleksi filosofis Sartre ini justru berkebalikan dengan kecenderungan dunia kapitalis yang sering memperlakukan manusia sekadar sebagai objek belaka, dan bukannya subyek yang bebas.

Selain bagian Neraka adalah Orang Lain yang menarik dari buku ini adalah kehidupan Sartre yang unik. Mulai dari sikap hidupnya yang berubah-ubah sampai dengan kisah cinta segibanyak-nya.

Sikap yang berubah-ubah

Sartre sering berubah sikapnya baik dalam politik, sikap terhadap wanita-wanitanya, sikap terhadap posisi-posisi filosofisnya sendiri. Dr. A. Setyo Wibowo bertanya adakah Dia selalu terombang-ambing? Ataukah dia melakukan perubahan mengikuti situasi, yang memang menuntut keluwesan sesuai dengan konsepnya tentang pemikiran yang selalu dalam/tergantung situasi? Ini pertanyaan yang sulit dijawab dengan tegas.

Contoh yang pertama menurut uraian Dr. A. Setyo Wibowo adalah perubahan sikap politiknya tentang NAZI Jerman.  Saat Sartre tinggal di Jerman (1933-1934) harusnya dia tahu bahwa saat itu Hitler sedang ‘membersihkan’ lawan politiknya. Hitler melalui mesin aryanisasi bidang sosial politik dan kultural. Tapi Sartre tidak melihat apa-apa. Ia sibuk belajar Husserl dan Heidegger dan menulis la Nausee. Sartre sama sekali tidak merasakan adanya sesuatu yang membahayakan sedang muncul. Bahkan pada detik-detik akhir Hitler menyerbu Perancis (1939), Sartre pun masih tidak percaya bahwa Hitler akan melakukan itu. Nantinya setelah Hitler memorak-morandakan Eropa, setelah semua itu terjadi, di Sorbonne Sartre membuat deklarasi untuk mengundang “rasa tanggung jawab politis para penulis guna mencegah terjadinya hal-hal (buruk) dalam sejarah”. Di sini kita berhadapan dengan dua Sartre yang berbeda ? Sartre pra PD II yang terlalu sibuk dengan “kebebasan individualnya” (sibuk menulis La Nausee dan mempelajari Husserl) dan Pasca PD II yang mulai melihat pentingnya “kebebasan sosial”, pentingya dimensi historis dalam aktivitas berpikir?

Kemudian sikap Sartre terhadap partai komunis. Tahun 1952 Sartre mendukung habis-habisan rezim diktatorial Stalin, dan baru pada tahun 1956, ketika URSS menyerbu Budapest, Sartre sadar telah mendukung rezim yang salah. Meski demikian, ia masih memuja komunisme. Tahun 1960 Sartre berkunjung ke Kuba, terpesona dengan Revolusi yang dipimpin Fidel Castro, lalu memuja-muja rezim Kuba. Tahun 1971 Sartre menyadari kesalahannya, dan memutuskan hubungannya dengan Lider Maximo itu.

Perubahan-perubahan posisi di bidang filsafat atau dalam sikap politik, kesadaran yang terlambat, semua itu sama sekali bukan untuk mengurangi kebesaran seorang pemikir. Pertanyannya adalah : apakah perubahan dan keterombang-ambingan itu berkaitan dengan visi Sartre yang memandang eksistensi sebagai sesuatu yang kontingen (yang bisa diubah-ubah begitu saja dengan ringan, bisa disikapi A lalu non-A tanpa konsekuensi yang berat) ?

La Literature Engagee : Menggagas Sastra yang Membebaskan.

“Thus, whether he is an essayist, a pamphleteer, a satirist, or a novelist, whether he speaks of individual passions or whether be attacks the social order, the writer, a free man adressing free men, has only one subject freedom.” (J.P. Sartre, Qu’est ce que la Litterature)

Sejauh ini, tidak ada yang menyangkal bahwa Sartre amat dipengaruhi oleh gagasan Karl Marx. Dalam What is Literature? Sartre menilai bahwa sastra kaum borjuis (dengan adagium art for art’s sake) berada di luar jangkauan kaum proletar. Apalagi teknik sastra cenderung dibatasi pada genre tertentu sehingga kurang leluasa.  Kendati sejumlah karya sastra yang simbolis dan surealis saat itu mengecam bentuk-bentuk sastra serta sikap kompromistis kaum borjuis, mereka sama sekali tidak mengubah struktur masyarakat.

Kebencian Sartre terhadap kemandulan sastra bagi perubahan sosial ia tuliskan dalam cerita pendek The Childhood of a Leader (1938). Boleh dikatakan bahwa, sebagaimana ditulis Caute, Sartre sedang menggemakan Marx : “para filsuf telah menafsirkan dunia belaka, sementara yang penting adalah mengubahnya.” Menurut LaCapra, Sartre terjun dan terlibat ke dalam ranah politik itu baru setelah perang. Sartre ante-bellum adalah Sartre yang menghayati hidup cenderung individualis dan apolitis.

Mencermati teori Sastra Sartre, kita mendapati upaya Sartre untuk menggabungkan filsafat eksistensialismenya dengan Marxisme. Dari sudut eksistensialisme, ia berbicara tentang kebebasan manusia untuk memberikan makna pada dunia sedangkan dari sisi Marxisme, ia menempatkan kaum proletar sebagai subyek literature of praxis. Sartre rindu untuk membebaskan kaum proletar sehingga mereka dapat menentukan sejarah dunia tidak lagi didominasi kaum borjuis. barangkali Sartre merindukan zaman ketika sastra dapat menggelorakan masyarakat Perancis sampai melahirkan Revolusi Prancis di akhir abad XVIII.

Sartre mengapresiasi Marxisme sebagai filsafat di Perancis pasca perang sedangkan eksistensialisme berada dalam margin filsafat tersebut. Penggabungan ini  memiliki pengaruh pada gagasan kebebasan yang selalu dibicarakan Sartre dalam filsafatnya. Ia tidak lagi hanya membebaskan kebebasan dalam taraf ontologis tetapi juga sampai dalam level praktis. Sartre, mengadaptasi Marxisme, mengubah konsep kebebasan : manusia tidak saja mencipta dunia melainkan dipengaruhi dunia.

Teori sastra Sartre harus diakui sebagai semacam resep bagi pengarang Sartre memberitahu mereka apa yang harus ditulis dan apa yang harus dilakukan.

Buku ini semacam biografi Sartre yang dikerjakan bersama-sama. Tidak luput kisah kasihnya dengan Simone de Beauvoir dan Bianca Lamblin dan beberapa nama menghiasi kehidupan filsuf besar ini. Keunikan hidupnya yang khas menembus tirai dan tabir-tabir moral di perancis tahun 1950an. Sartre dipuja sebagai intelektual yang sangat berpengaruh. Tidak heran proses pemakamannya dihadiri oleh 50ribuan orang.

Buku ini menjadi acuan penting bagi siapapun yang ingin mengenal Sartre. Baik kehidupan pribadinya maupun pandangan-pandangan filsafatnya. Selain itu semua, dibahas juga oleh Ito Prajna-Nugroho tentang kesalahpahaman Sartre atas fenomenologi Husserl. Ito Prajna-Nugroho mengatakan bahwa ada cacat epistemologis paa pembacaan Sartre atas fenomenologi Husserl. Sehingga eksistensialisme Sartre terlahir prematur dan oleh sebab itu eksistensialisme pada dirinya menuntut untuk dikritik, dirobohkan, dan kemudian dilampaui.