Filsfafat Jodoh Bagian Pertama

Selasa, Oktober 27, 2015 0 Comments A+ a-

jo·doh 1 n orang yg cocok menjadi suami atau istri; pasangan hidup; imbangan: berhati-hatilah dl memilih --; 2 n sesuatu yg cocok sehingga menjadi sepasang; pasangan: mana -- sepatu ini; 3 a cocok; tepat: ia telah meminum obat itu, tetapi tidak --;


TETAPI MAKNA TIDAK BERHENTI PADA KAMUS

Filsfafat Jodoh Bagian Pertama

Apa yang saya pikirkan pertama kali kala menulis tulisan ini? Tidak tahu. Yang jelas ada beberapa poin yang berputar dalam kepala saya saat mendengar kata jodoh. Salah satu idea random itu adalah apa hubungan jodoh dengan bodoh? Apakah dengan memikirkan jodoh kita bisa menjadi bodoh? Entahlah yang jelas jodoh tentu berkaitan dengan filsafat. Err?

Tulisan ini berjudulkan Filsafat Jodoh. Dengan seenaknya saya memadukan dua kata ini biar terdengar enak dan keren. Filsafat adalah sesuatu yang mesti kita pelajari dulu baru nanti kita definisikan sesuai komposisi dan selera masing-masing. Setidaknya begitulah kata Bung Hatta dalam pembukaannya dalam buku Alam Pikiran Yunani. Lalu bagaimana dengan jodoh? Apakah begitu juga? Sesuatu yang mesti kita kecap dahulu baru nanti kita artikan ? hmmm tentu saja terserah. Yang jelas tulisan ini tidak akan membawa kemana-kemana kecuali anda sebagai pembaca memutuskan untuk pergi ke mana-mana.


Jodoh kita batasi disini adalah pasangan hidup. Pasangan hidup kita batasi lagi adalah manusia. Mengutip KBBI, jodoh adalah orang yang cocok menjadi suami atau istri, pasangan hidup. Ada  dua terminologi yang perlu digarisbawahi, dicetak tebal, dan digaris miring disini : orang, cocok, menjadi, suami, istri. Untuk orang, kita tidak perlu berdebat lagi siapa saja yang disebut orang. Meskipun menurut saya orang bukanlah sesuatu yang final, menyitir Sartre, manusia adalah projek dirinya. Dan kaum moralis tentu tidak setuju bila sesosok orang yang menjadi pedofilia dan menyodomi puluhan anak dibawah umur digolongkan sebagai orang, dia itu predator atau setan. Dan sesosok orang yang membakar lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan di sebut orang. Mereka barangkali lebih mau menyebut mereka (yang kedua) sebagai setan atau iblis sekalian.

Jodoh. Oh. Seperti filsafat dia juga sedikit rumit. Jodoh tentang kecocokan, suami dan istri. Kecocokan apa itu? Ada yang bilang cocok itu sama, sepadan, seimbang, tidak berlainan, serasi dan memenuhi syarat. Uh belakangan ini selain itu : harus seiman. Apa itu iman? Waw tulisan ini memang penuh dengan pertanyaan. Iman adalah sesuatu yang diucapkan oleh lisan (oleh mulut melalui lidah, pita suara dan kawan-kawannya), dibenarkan oleh hati (bukan hepar : organ tubuh yang terletak di rongga perut sebelah kanan), dan diamalkan oleh perbuatan (alias dikerjakan).

Jodoh adalah pasangan hidup istri atau suami. Suami dan istri tidak dapat kita pungkiri mesti dilalui melalui tangga pernikahan. Pernikahan yang menjadi otoritas agama dan negara. Kita tidak bisa mengklaim Christian Sugiono, Zayn Malik, Sandra Dewi atau Dian Sastro sebagai istri atau suami kita tanpa terlebih dahulu melegalisirnya ke KUA atau penghulu. Ya,  Pasangan Sartre dan Beauvoir tidak bisa dibilang suami istri sehingga tidak cocok disebut dengan jodoh menurut pendefinisian KBBI.  Tetapi bukankah makna itu tidak berhenti dalam kamus? Makna itu adalah makna itu sendiri. Kata ini Cuma tanda. Makna bukan milik siapa-siapa. Ia etre en soi. Huh makin gak jelas saja.

OK baiklah. Jodoh bila difilsafatkan akan menjadi apa? Filsafat menurut etimologi itu berasal dari dua kata dari bahasa Yunani yakni Philein dan Sofis artinya cinta kebijaksanaan. Jadi lebih kurang filsafat jodoh adalah suatu aliran sok keren suatu paham yang membahas jodoh berdasarkan asas asas yang bukan apa-apa melainkan cinta kepada kebijaksanaan. (bukan berasaskan Pancasila kecuali Pancasila merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan).  Jika yang dicintai adalah kebijaksanaan lalu kapan mencintai pasangan? Nah makin liar ini pertanyaan. Mencintai bukan sesuatu yang determinatif, mencintai pasangan mungkin bentuk lain juga dari bentuk mencintai kebijaksanaan. Atau mencintai kebijaksanaan adalah bentuk lain dari mencintai pasangan.

Jodoh, kalau kamu apa yang kamu pikirkan tentang jodoh? Apakah sama dengan yang dipikirkan Ustadz Felix Siauw atau Darwis Tere Liye? Entahlah.

Yang jelas ada poin menarik yang dua tokoh ini lemparkan ke para fansnya di dunia fana kuadrat. Yaitu adalah memantaskan diri dan bersiap. Jangan pacaran. Pacaranlah setelah menikah. Sebuah ide yang sedikit brillian memang. Dengan konsep pacaran yang sudah terlegalisasi. Dengan wacana bermesraaan dengan pasangan adalah ibadah setelah dilegalisir hubungannya. Uh, indahnya.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Gak tahu ya. Maaf tulisan ini bukanlah sesuatu yang preskriptif dan solutif. Tulisan ini bersifat pandangan subjektif saja yang bisa jadi diambil hikmahnya bisa juga dibuang. Memang ada bagusnya Felix Siauw ini dan Tere Liye, mempersiapkan diri menjadi yang terbaik bagi pasangan adalah suatu hal yang punya romantisme tersendiri. Menahan diri hingga pada saat yang ditentukan adalah kenikmatan tersendiri. Apalagi ditambahi dengan dampak pahala yang bisa bikin masuk surga. Amboi. Fabiayya ala irobbikuma tukazzzibaan. Begini saja, ibarat puasa, menahan lapar dan haus, subhanallah akan terasa sangat nikmat saat berbuka. Saat minum es kelapa muda, atau cendol kolang-kaling. Atau es pisang ijo. Wah begitulah. Tapi ada kemungkinan rakus juga. Berbuka puasa ibarat balas dendam atas menahan. Begitu pula dengan pernikahan. Ada kemungkinan juga. Ujung-ujungnya kembali kepada orangnya juga. Sekuat apa ia memahami dan menjalin relasi dengan kebenaran yang ia yakini. Hehehe. Kierkegaard.

Pacaran setelah pernikahan, adakah konsep ini ? Saya pribadi kurang setuju, pacaran itu menurut boros saya khusus untuk orang yang belum menikah, kalau sudah menikah, namanya bukan pacaran lagi. Itu namanya suami istri, dan kemesraan. Itulah cinta. Ya pacaran ini anggap saja selevel di bawah cinta. Ah tidak juga kalau kau menganut relativisme. Semua serba relatif.

Kembali ke permasalah yang sebenarnya tidak jelas dimana. Jodoh, dengannya lah kamu nanti menjalani kehidupan rumah tangga (jika kalian membeli atau membangun rumah bertingkat)atau kehidupan berkeluarga. Memahami masalah ini tentu ada beberapa kata kunci yaitu niat, kerja keras dan tanggung jawab. Ya setidaknya 3 hal itulah yang dipentingkan dalam menjalani ini.

Jodoh pasangan hidup, jadi mesti kenal. Mesti sesuai dan mesti memenuhi syarat. Siapa yang menentukan itu semua? Dirimu. Siapa lagi. Apa dasarmu menentukan itu semua? Terserah. Bisa agama, bisa yang lain-lain. Tetapi apakah yang tidak diatur dalam agama? Semuanya sudah ada rules of the game-nya, sudah ada manualnya. Tinggal kamu mau jalanin atau engga. Tinggal mau patuh atau mau taat.

Nah sekarang kita bahas lagi jodoh dengan pacaran. Ya pacaran adalah salah satu bentuk penjajakan atas jodoh, tetapi beberapa ahli agama menyatakan bahwa pacaran adalah bentuk mendekati zina jadi haramlah hukumnya. Nah bagaimana? Saya tidak bisa kasih komentar tentang ini. Jangankan pemahaman yang dalam, ilmu yang sedikitpun  tak saya punya disini.

Yang jelas ya itu. Tidak yang jelas kecuali kau menjelaskan sendiri kepada dirimu.

Jodoh dimana kini kau berada ?

Carilah. Metodenya banyak. Salah satunya adalah mempersiapkan dirimu. Mengumpulkan informasi. Menyibukkan diri. Peganglah sesuatu yang ingin kau pegang. Sekali kau pegang, genggam dengan kuat, dengan sepenuh hati. Jangan kecewakan. Jika tidak yakin kau akan menikahi, lebih baik jangan berpacaran dengannya. Itu bisa membuat sakit dan luka di kemudian hari. Bisa buat kenang-kenangan yang buruk.

Bersambung ke bagian kedua