Filsafat Jodoh bagian kedua : Mendegar Keciap Burung dan Fungsi Waktu

Selasa, Oktober 27, 2015 0 Comments A+ a-

Apa artinya bersambung ? apakah sebuah kelanjutan kronologis atau hanya berkaitan? Entahlah. Yang jelas ini aku anggap sebagai sambungan dari Filsafat Jodoh bagian pertama.

Bagian kedua

Filsafat Jodoh : Mendegar  Keciap Burung dan Fungsi Waktu

Sore menjelang malam itu. Aku mengajukan satu pertanyaan kepada tiga pemikir ITB. Institut Tiang Bendera. Dialah Okie, Haris, dan Choirul.

Menurut kalian apa itu jodoh?

Choirul : Gak Valid, Terlalu Mengkuantifikasi
Dengan singkat dan sambil memainkan mouse dan keyboard (dalam rangka mengurus DotA), Choirul menjawab, “Gak Valid sih. Sesuai selera. Terlalu mengempiriskan dan mengkuantifikasi”.

Okie : Fungsi Waktu
Lalu aku beralih ke Okie. Dia menjawab bahwa jodoh itu adalah sesuatu yang dinamis dan bergerak. Disuatu saat mungkin kita berjodoh dan bisa jadi di suatu masa lain tidak. Dia menganggap jodoh itu sebagai sebuah kejadian atau kondisi yang dibentuk oleh diri dan faktor-faktor di luar diri. Misalnya dia memberi contoh bahwa saya dengan dia sekarang adalah jodoh. Sebab dibentuk oleh keinginan masuk teknik fisika itb dan kemudian diterima. Kemudian ketertarikan akan filsafat membuat titik temu dan itulah jodoh. Tetapi itu untuk saat ini. Belum tentu sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Saat diri sendiri dan faktor di luar diri sudah membentuk kesukaan lain bisa jadi kami tidak lagi berjodoh. Atau barangkali ketika kami sudah mulai tergabung dalam partai yang berbeda bisa jadi lawan. Itu berarti bukan tidak jodoh tetapi jodohnya sudah sampai disitu saja. Dan muncullah jodoh baru bagi diri saya dan dia. Dia menambahkan dengan kasus yang lebih historis yaitu kisah cinta seorang kawan misalnya. Andi dengan Ani. Andi suka Ani dan Ani suka Andi mereka itu cocok. Namun karena sesuatu hal mereka memutuskan untuk berpisah, putus, dengan alasan suatu sebab misalnya. Itu menurut Okie adalah bukan berarti tidak jodoh tetapi jodohnya sampai di situ saja. Bahkan ekstrimnya pasangan suami istri bisa dikatakan tidak jodoh bila suatu masa di waktu depan sang suami mulai merasa tidak cocok dengan istrinya, akan tetapi cocok dengan wanita lain. Dan perjodohan itu sampai disitu saja, dan bukan berarti tidak jodoh. Dia, jodoh itu dinamis. Dalam masa waktu tertentu. Fungsi waktu, Okie menyederhanakan.

Haris : Keciap Burung

Giliran Haris, matematikawan kelas mimpi itu. Dia menjawab dengan panjang lebar dengan analogi yang romantis. Keciap Burung.

Misalkan ada keciap burung saat ini di sini (markas tiben) tetapi hanya Haris yang mendengar. Tidak aku, tidak Okie, maupun Choirul, ya, hanya Haris. Keciap burung yang ‘menyingkapkan’ dirinya itu didengar oleh ‘telinga’ Haris. Dia lalu mencari dan mendapatkan keciap makin kuat dan jelas. Nah, saat keciap itu juga menemukan bahwa ada ketersingkapan lain yang menemukan ketersingkapan dirinya dan mencari. Ia juga melakukan hal serupa mencari dan menyingkapkan. Hingga bertemu dan itulah jodoh dalam kerangka filsafat keciap Haris.

Menarik. Dia menjelaskan ketika dia dahulu masuk tiben melalui keciap burung yang dia dengar, sehingga kemudian semakin kesini (waktu) ia merasa jodoh dengan tiben.

Lalu dia menganggap bahwa mencari dan menemukan itu bentuk materialnya dalam pasangan adalah meluangkan waktu, menyentuh atau membelai atau melayani ketersingkapan oleh adanya jodoh itu.

Ketika kutanyakan pertanyaan lanjutan bagaimana dengan kaitan dengan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik ? Dengan khusyuk Haris menjawab. Masalah itu adalah masalah ‘telinga’ itu. Kita mencari dan mendengar keciap itu selaras dan seumpama dengan ‘mengasah’ ‘telinga’juga. Yang kita lakukan dalam keseharian itu adalah ‘mengasah’ ‘telinga’ sendiri seraya membentuk frekuensi keciap. Apa yang kita perbuat yang kita kerjakan menjadi ‘telinga’. ‘Telinga’ itu juga  hanya akan mendengar frekuensi keciap yang prosesnya juga mirip dengan yang kita kerjakan. Artinya mendukung pernyataan ayat suci ini. Namun mengenai masalah kelanggengan, Haris berkomentar saat usaha ‘mencari dan mendengarkan’ ini terkikis atau berhenti, maka kelanggengan jodoh bisa hilang.

Selanjutnya aku mengadakan studi kasus. Misalkan ada seorang pemuda bernama Ahmad, dia adalah seorang Santri pesantren, Hafidz Qur’an, lalu lulus dan melanjutkan studi di Al-Azhar Mesir. Mungkinkah dia berjodoh dengan seorang artis Luna? Haris menjawab tenang. Bisa. Asal Luna ini menampakkan ketersingkapannya dengan palsu. Ia membentuk kerja yang menimbulkan frekuensi keciap yang bisa di dengar oleh ‘telinga’ Ahmad. Dan Ahmad mendengar serta mencari. Nah frekuensi keciap Luna ini bisa dirasakan akhirnya oleh Ahmad. Akan tetapi frekuensi keciap Ahmad tentu saja tidak bisa di dengar oleh Luna. Sehingga hubungan atau kelanggengan relasi mereka berpotensi singkat.

Saat kuajukan lagi pertanyaan jodoh itu ditangan Tuhan, Haris mulai bingung(apa gegara dia tidak punya ini?Tuhan.). Dengan demikian berarti bahwa jodoh itu sudah final. Sudah ada nama di atas sana. Haris bungkam. Ia juga mulai berpikir, dan berkomentar. Itu bukan sesuatu yang terlalu penting. Apa sikap kita terhadap keciap bisa kita tentukan sendiri. Mencari atau mengabaikan. Kita tidak akan tahu bahwa si ‘ada yang berkeciap’ yang kita hampiri itu adalah jodoh atau bukan. Yang bisa kita lakukan adalah memilih dan menentukan sikap. Mendengarkan dan mencari atau mengabaikan dan mulai mendengarkan keciap lain.

Kalau jodoh tak akan kemana. Itulah statement kedua saya kepada Haris. Ia berkomentar sama, “ya sikap kita lah yang menentukan. Apakah dengan statement itu kita pasrah dan mengabaikan semua keciap dan mengasah telinga untuk yang lain atau bagaimana.”

Kembali kepada Okie, dia berkomentar lagi bahwa jodoh tetap hal yang berubah, mengikuti entah itu waktu atau diri kita sendiri yang mengubahnya. Yang jelas jodoh itu adalah kecocokan pada suatu waktu tertentu. Dan bisa berkaitan dengan jodoh sebelumnya. Misal : Andi yang putus dengan Ani tadi mengubah sikap Andi yang awalnya terbuka dan ramah menjadi dingin dan pendiam. Justru dengan karakter baru ini lah Andi menemukan jodoh barunya misal Rina yang merasakan Andi adalah jodoh sesuai dan cocok baginya (dingin dan pendiam).

Senartogok : Tidak Ada

Kemudian di tengah pergumulan tidak jelas tersebut melintaslah Mahaguru Senartogok. Aku bertanya, “Jadi mahaguru, jodoh itu apa, siapa dan bagaimana sih?”. Seenaknya dia bilang jodoh itu gak ada. Aku makin bingung. Bagaimana tidak ada? Kenapa? Mesti dijelaskan dan disusun kerangkanya mengapa sampai pada kesimpulan jodoh tidak ada? Singkat dia jawab. Cuma menambah variabel saja. Aku langsung mafhum, dia memberikan waktu dan ruang buat kami untuk mendiskusikan lebih lanjut dan mengkritik ketidakadaaan jodoh menurut beliau.
Aku kemudian menghadirkan lagi dua sosok yang aku banyak menemukan kutipan tentang jodoh pada keduanya yaitu Tere Liye dan Felix Siauw. “Menurut mereka adalah begini Ris, jodoh itu tidak perlu dinikmati keciap-nya itu, tetapi cukup memantaskan diri. Dengan belajar yang tekun, sekolah yang baik, bekerja. Nah aku melontarkan pernyataan yang butuh konfirmasi oleh Haris. Apakah bentuk ini juga sama dengan ‘bekerja mengasah telinga’ sehingga mampu menangkap keciap-keciap ini? Cuma mereka membatasi metodologinya saja. Tidak boleh berpacaran dan bermesraan. Haris membenarkan. Mungkin demikian, ini masalah konstruksi sosial tentang moral. Begitu ungkapnya. Haris menekankan sekali lagi bahwa kita dapat menentukan sikap terhadap keciap-keciap yang kita dengar, baik itu dengan melarutkan diri dalam ketersingkapan keciap itu ataupun  dengan mengabaikannya. Ya benar. Bedanya dengan Tere Liye dan Felix Siauw mereka membatasi proses ‘mendengar’ itu. Mereka melarang pacaran. Entahlah Haris. Sepertinya dia menyerahkan kepada para pendengar keciap itu sendiri.

Jodoh yang dibatasi oleh Haris dan Okie adalah sangat umum. Tidak cuma menyangkut soal relasi hubungan manusia dengan lawan jenis, tetapi manusia juga dengan apa kecintaanya, baik sepakbola, hobi , penelitian atau bidang ilmu pengetahuan.

Namun bisa diterapkan pada relasi itu (pasangan hidup). Sebab ketika saya menguji dengan beberapa kasus pertanyaan, dia cukup kokoh. Ujung-ujungnya saya terpaksa mengutip Kierkegaard untuk semakin menguatkan kerangka filsafat keciap Haris.

Hakikat jodoh atau bukan itu bukan hal yang utama dan pertama, yang menjadi fokus adalah relasi kita dengan keciap-keciap itu adalah sikap atau tindakan yang sepenuhnya kita pilih dan bangun. Kita tidak pernah tahu itu jodoh atau bukan tetapi kita cerap keciap-keciap itu sebagai apa?

Bersambung ke bagian tiga