[Resensi Buku] Orang Lain Adalah Neraka. Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre

Selasa, Juni 02, 2015 2 Comments A+ a-



Resensi Buku

Judul                     : Orang Lain Adalah Neraka. Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Penulis                  : Wahyu Budi Nugroho
Penerbit                : Pustaka Pelajar
Cetakan                : I Januari 2013
Tebal                    : 171 hlm
Harga                   : Rp30.000,00

Sartre. Tokoh eksistensialisme dari Prancis ini memang dikenal sebagai sastrawan dan filsuf. Beberapa karyanya yang terkenal dapat dijumpai berupa novel dan esai seperti Being and Nothingness, Existensialism and Human Emotion, La Naussea dan lain-lain.

Buku ini menggarisbawahi kutipannya  : Hell is others. Orang lain adalah neraka.


Sesuai dengan keterangan pada kata pengantar buku ini. Ini adalah skripsi Wahyu yang semula berjudul Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre (studi konsep interaksi sosial dalam eksistensialisme Jean Paul Sartre).

Buku ini terdiri dari 6 Bab:
1.       Latar Belakang Kelahiran Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
2.       Epistemologi Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
3.       Pandangan Eksistensialisme Jean Paul Sartre atas Interaksi Sosial
4.       Kedudukan Konsep Interaksi Sosial Eksistensialisme Jean Paul Sartredalam Berbagai Paradigma Sosial
5.       Praksis dan Relevansi Konsep Interaksi Sosial Eksistensialisme Jean Paul Sartre dewasa ini
6.       Beberapa kritik atas konsep interaksi sosial eksistensialisme jean paul sartre : dari Aquinas, De Maistre, Iqbal hingga Syariati

Sebagai jabat tangan dengan ide dan arus pemikiran Sartre, buku ini cukup hangat. Wahyu membahas eksistensialisme Sartre dengan titik tolak sosiologi dan psikologi. Konsep Sartre tentang etre en soi, etre pour soi, mauvaise soi, meradikalkan perspektif mikrososiologi klasik, modern, kritis dan posmodern.

Pada bagian awal dibahas tentang asal muasal kelahiran filsafat Jean Paul Sartre. Beberapa kerangka pokoknya adalah yang pertama sejarah konsep “manusia-sentris” dari masa ke masa serta tokoh dan pola pemikirannya. Kedua adalah secuplik sketsa perjalanan hidup Sartre serta karya yang sudah ia hasilkan(semacam biografi mini). Ketiga, analisis konteks “ sosial-internal” perjalanan hidup Sartre. Keempat analisis konteks “sosio-eksternal” perjalanan hidup Sartre. Kelima, sekilas respons aliran filsafat eksistensialisme bercorak “teistik” dalam memandang “keberadaan” manusia dan kehidupannya.

Kemudian diulas epistemologi Filsafat Eksistensialisme Sartre : Fenomenologi sebagai sentral dalam filsafat eksistensialisme Sartre. 

Sartre tertarik terhadap fenomenologi ketika rekannya, Raymond Aron berkata dalam pertemuan di sebuah kafe, “Kau tahu sahabat kecilku, apabila kau seorang fenomenolog, kau dapat berbicara mengenai minuman ini dan itulah filsafat.” Itulah awalnya yang menjadi penyebab Sartre berangkat ke Berlin untuk mempelajari Fenomenologi Edmund Husserl.

Pada bagian tengah, dibicarakan dalil dasar Eksistensilaisme. Eksistensi mendahului esensi. Berbagai turunan dari dalil ini adalah “kebebasan”, “pilihan-bebas”, “absurditas”, etre en soi, etre pour soi,”kesadaran reflektif-non reflektif”, mauvaise soi, “objektivasi” (other is hell) serta “faktisitas”.

Kebebasan dan Pilihan
Dalil utama eksistensialisme, yakni “eksistensi mendahului esesnsi” bagi Sartre mengindikasikan ketiadaan Tuhan, oleh karenanya kabar baik bagi manusia adalah keberadaannya yang bebas sebebas-bebasnya di dunia ini, bahkan menurutnya manusia ini adalah kebebasan itu sendiri. Terlebih, dengan pernyataan Sartre bahwa pertama-tama manusia “ada”, dan ia bukanlah “apa” atau “siapa” sebelum memaknai dirinya sendiri, tak ada kuasa bagi orang lain atau masyarakat memaknai dirinya karena pada hakekatnya keberadaannya sui generic.

Dengan ketiadaan Tuhan, maka manusia tak memiliki patokan baku dalam penyusunan etika, nilai dan norma bagi dirinya, ia secara otonom memiliki pilihan bebas guna menentukan apa yang dianggapnya baik, dicita-citakan serta bagaimana seharusnya bertingkah laku. Dalam ranah spat kapitalismus, pemahaman yang demikian kiranya potensial menghindarkan individu pada bentuk-bentuk pencangkokan nilai dan norma oleh para pemilik nilai dan norma oleh para pemilik modal atau kapitalis. Dalil pertama eksistensialisme di atas faktual telah menunjukkan penolakannya yang keras akan one dimensional society, yakni masyarakat yang terseragamkan oleh kapitalis sehingga melenyapkan keontetikan masing-masing individu. Dalam ranah praksis, dalil tersebut mengisyaratkan pada masing-masing individu untuk tak sekonyong-konyong mempercayai bahwa manusia yang utuh adalah mereka yang mempunyai rumah elite, mobil BMW, beberapa stel jas Armani, sepatu Nike, dan sejenisnya sebagaimana dikonstruksikan oleh kapitalis melalui berbagai media film maupun iklan


Etre En Soi dan Etre Pour Soi
Pemikiran Sartre dikenal pula sebagai bentuk ontologi radikal dengan oposisi biner di dalamnya –essay on phenomenological ontology. Hal tersebut tampak melalui upaya Sartre mendikotomikan segala sesuatu ke dalam etre en soi dan etre pour soi. Bagi Sartre, etre en soi ‘berada dalam dirinya’ merupakan segala sesuatu yang tak memiliki kesadaran, sebagai misal kursi, meja, dan bangunan. Berbagai benda tersebut tak memiliki tujuan atas eksistensinya, dengan kata lain tujuan keberadaanya sepenuhnya ditentukan oleh pihak lain. Namun demikian, etre en soi, memiliki kelebihan yakni bahwa ia sempurna, ia tak memiliki celah atau kekosongan untuk dikritisi, ia sempurna sebagai kursi, meja, bangunan  dan sebagainya.

Berseberangan dengan etre en soi, bagi Sartre etre pour soi merupakan segala sesuatu yang berkesadaran, dalam hal ini manusia. Kesadaran yang dimiliki manusia mau tak mau menuntutnya untuk memaknai dan menentukan tujuan hidupnya sendiri—bukannya ditentukan pihak lain. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa etre pour soi memiliki kekurangan, yakni celah dan kekosongan yang ditandai dengan selalu munculnya berbagai keinginan pada diri manusia.

Menurut Sartre, pada hakikatnya manusia selalu ingin menjadi sempurna—tak memiliki celah dan kekosongan—serta tetap berkesadaran, yakni etre en soi-etre pour soi, namun yang demikian hanyalah sifat Tuhan semata. Oleh karena itu, secara tragis Sartre menyimpulkan ,”Human is useless passion!” (Manusia adalah hasrat kesia-siaan!”)

Terkait pengkajian atas one dimensional society, bilamana setiap individu memahami eksistensinya sebagai useless passion, ‘hasrat kesia-siaan’, kiranya hal tersebut bakal ‘menyadarkan’ bahwa berjubel keinginan yang dimilikinya pada produk-produk kapitalis merupakan suatu hal yang sia-sia dan tak berkesudahan. Dengan demikian, human as useless passion diharapkan mampu meredam budaya konsumerisme di era kapitalisme lanjut, individu tak lagi terjebak pada konsumsi berdasarkan “gaya hidup”, melainkan “kebutuhan hidup”



Mauvaise Foi

Mauvaise foi merupakan istilah yang digunakan Sartre untuk menunjukkan seseorang dengan “keyakinan yang buruk”. Eksistensialisme Sartre memberikan dua pilihan besar dalam kehidupan manusia, yakni hidup secara otentik atau hidup dengan mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’.
Contoh yang dekat adalah sebagai berikut. Ada seorang pemuda yang kerapkali ‘dijauhi’ oleh seorang wanita. Kemudian pada suatu waktu ketika ada wanita lain, yang sebenarnya dia ingin dekati tetapi tidak dilakukannya, sebab ia merasa pesimis atas pengalaman-pengalaman sebelumnya. Pemuda ini dikategorikan sartre menganut ‘Mauvaise foi’ atau ‘keyakinan yang buruk’. Barangkali ini bisa dianggap sikap pesisime. Seorang eksistensialis tidak punya sifat ini, ia memilih otentik dengan menganggap segala kemungkinan dapat terjadi. Jadi bila dia ingin dia akan lakukan.



Other Is Hell

Ide “Other is hell” (“Orang lain adalah neraka”) dalam eksistensialisme-Sartre terkait erat dengan konsepnya mengenai faktisitas. Menurut Sartre faktisitas merupakan fakta-fakta yang tak dapat dihindari manusia, seperti time(waktu), past(masa lalu), place(tempat), dan other(orang lain) ‘liyan’ Sartre menegaskan bahwa keberadaan liyan selalu mengancam eksistensi diri. Hal tersebut karena eksistensi liyan yang selalu mengobjekkan diri kita, oleh karenanya tak heran Sartre menganggap orang lain sebgai “neraka”.

Secara konkret dapat dimisalkan dengan kesendirian di sebuah taman. Saat aku duduk di kursi taman memandangi bunga yang beraneka warna, menyaksikan kupu-kupu dan kumbang beterbangan ke sana- kemari. Menghirup aroma tanah dan rumput. Ketika hal itu berlangsung, maka seluruh yang dalam jangkauan indrakumenjadi objekku. Namun ketika orang lain datang, situasi pun berbalik di mana akulah yang kemudian menjadi objek; aku tersipu malu, tertindas, orang tersebut telah merenggut ‘dunia’-ku.

Di era kontemporer, faktisitas adalah totalisasi kapitalisme yang telah mencengkram berbagai sendi kehidupan masyarakat. Melalui berbagai gelagatnya, tampak jelas bahwa kapitalisme dan berbagai pihak yang telah terjerat maupun terintegrasi di dalamnya mengobjekkan individu di luar in group-nya. Mereka membuat konstruksi mengenai kebaikan, kecantikan, kemajuan, kecanggihan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, individu yang tak memiliki kapasistas mental memadai dapat dipastikan dengan mudah terjerat ke dalam jaring penyeragamannya(kapitalis). Namun, tak demikian halnya dengan seorang eksistensialis, sebagai respons atas faktisitas tersebut ia akan segera mengalihkan perhatian, tak mengacuhkan, dan mengubah struktur tersebut sebagai “neraka”.


Beberapa Kritik atas Konsep Interaksi Sosial Eksistensialisme Jean Paul Sartre dari  Aquinas, , Iqbal hingga Syariati

“I have no religion, but if I were to choose one, it would be that of Shariati’s(Islam).”—Sartre

Thomas Aquinas

Seorang teis sekaligus agamawan berkata bahwa Manusia tidaklah ‘menciptakan’, tetapi ‘menemukan’.
Santo Thomas Aquinas berpendapat bahwa setiap patokan yang ada dalam masyarakat  pasti bersumber dari  nilai-nilai transendensi (ketuhanan). Misalnya nilai dan norma sosial pada hakikatnya diposisikan sebagai sesuatu yang universal. Hal itu dapat dimungkinkan mengingat ditemuinya “hukum universal” dalam setiap masyarakat di muka bumi. Contoh : larangan untuk menghilangkan nyawa orang lain, larangan untuk memperkosa, larangan untuk mencuri.
Dengan demikian, Aquinas menegaskan bahwa manusia tidaklah ‘menciptakan’ nilai dan normanya sendiri, dengan kata lain, manusia tidak berada pada “proses penciptaan yang terus menerus’ dan berulang-ulang pada dirinya sendiri”, melainkan sekadar ‘menemukan’ serta kembali ‘menemukan’ secara terus menerus dan berulang-ulang, tanpa henti.


Muhammad Iqbal

Berbagai pemikiran Iqbal dalam buah karyanya yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam menunjukkan beberapa sendi “kemiripan” Islam dengan konsep manusia dalam filsafat eksistensialisme Sartre. Senada dengan Sartre, hanya saja melalui titik tolak yang berbeda, Iqbal menunjukkan betapa Islam mengakui manusia sebagai makhluk yang individualis dan unik—otentik. Hal tersebut setidaknya merujuk pada kitab suci Alquran dimana hanya manusia dengan segenap keyakinannya menyatakan kesanggupannya memikul amanah Tuhan yang mana pada awalnya tak disanggupi langit dan bumi serta gunung. Hal ini menunjukkan perbedaan mendasar antara manusia dengan berbagai entitas lain ciptaan-Nya dimana kemiripan oposisi biner dengan eksistensialisme Sartre ditemui, yakni manusia sebagai etre pour soi, sedang langit-bumi dan gunung sebagai etre en soi.

Iqbal berseberangan dengan Sartre dalam konsep interaksi sosial-eksistensialisme. Sartre me’neraka’kan orang lain atau menyatakan bahwa orang lain adalah sebab kejatuhannya. Akan tetapi Iqbal menawarkan “Aku menang, Engkau menang, Aku berhasil, Engkau berhasil”. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan mudah berkat konsep “objektivasi” dalam Islam sebagaimana diutarakan oleh Kuntowijoyo,” Seorang muslim yang memberikan zakat mendapatkan keberuntungan berupa pahala, sedangkan orang nonmuslim yang menerimanya, juga mendapatkan kebahagiaan.”
Dengan demikian, diperoleh kesimpulan berbeda antara keduanya. Apabila Sartre melalui filsafat eksistensialisme-nya memberikan kesimpulan tragis bahwa ‘manusia adalah hasrat kesia-siaan’, maka Iqbal mendiktumkan sebuah harapan bahwa ‘manusia adalah makhluk yang berguna’

“Amatlah mustahil kiranya bahwa satu makhluk yang evolusinya telah meminta waktu berjuta-juta tahun itu harus dibuang begitu saja sebagai benda yang tiada berguna. Akan tetapi, hanya sebagai diri yang tetapdan terus menerus bersih saja ia dapat mempunyai makna dalam alam semesta itu”—Muhammad Iqbal.


Ali Syariati

“Hidup dijalani tanpa bobot bagai meloncat dari satu rumus ke rumus baru. Demikianlah yang digambarkan Sartre : Absurditas melekat pada hidup para ilmuwan yang hilang bobot kemanusiaanya serta bagi manusia yang hilang makna.”—Ali Syariati
Pernyataan Syariati di atas secara tegas dan jelas menyitir Sartre. Ia menganggap bahwa eksistensialisme merupakan filsafat yang ‘lesu’, sia-sia, tak seimbang, bahkan ‘tak waras’. Hal tersebut pulalalh yang dapat berimplikasi pada para pengikutnya kemudian. Di sisi lain, Syariati mendaulat pula eksistensialisme sebagai ‘filsafat kebingungan’ dimana seorang manusia merasakan kedekatan yang lebih intim dengan dirinya, namun keluarga dan dunianya makin terasa jauh. Lebih lanjut Syariati mengatakan bahwa eksistensialisme mengakui kematian, namun perasaan para pendukung paham ini bakal tetap hidup dan menimbang apa yang terjadi dengan kebutuhan spiritual dan transendennya. Kesadaran akan tak terpenuhinya kedua kebutuhan tersebut menyebabkannya terus berada dalam kubang keterasingan.

Oleh karenanya, guna memecahkan persoalan diatas, Syariati menekankan pentingnya “kesempurnaan” ketimbang “kenikmatan”. Menurutnya, kesempurnaan bertalian erat dengan berbagai bentuk kesulitan dan rintangan, sementara kenikmatan terikat pada ‘tempat’ dan ‘keberadaannya’. Namun di balik semua itu, kesempurnaan terikat pada dinamika gerak, ia senantiasa berjalan tanpa kenal henti. Kesempurnaan selalu menuntut manusia untuk terus mengembara sembari memperbaiki maknanya. Berseberangan dengannya, kenikmatan menghendaki perbaikan kualitas hidup dengan mengikat manusia pada tempat dan keberadaannya. Lebih jauh, Syariati menegaskan bahwa kesempurnaan adalah proses ‘menjadi’, sementara kenikmatan adalah proses ‘mengada’. Dengan demikian, kesimpulan akhir yang ditarik Syariati kemudian adalah “pencarian akan kesempurnaan”, yang mana lebih mendekatkan pengertiannya pada arah pengenalan diri manusia, ketimbang pola pikir “pencarian akan kenikmatan”.

Untuk menjadi seorang yang eksistensialis, tidak harus kenal apalagi paham dengan terminologi-terminologi “kebebasan”, “pilihan-bebas”, “absurditas”, etre en soi, etre pour soi,”kesadaran reflektif-non reflektif”, mauvaise soi, “objektivasi” serta “faktisitas”. Akan ketika seseorang tengah merasa gugup (nervous), malu, merasa terasing, merasa terkucil maka dia sudah tergolong eksistensialis menurut Sartre.

Secara umum buku ini mengurai filsafat eksistensialisme Sartre dengan bantuan tangan sosiologi. Uraian-uraian yang ringkas dengan kerangka jelas menjadi keunggulan buku ini. Selain itu struktur yang tidak terlalu rumit dengan adanya sub-bab sub-bab menjadikan buku ini enak dibaca. Namun dengan banyaknya tanda kutip untuk istilah dan tanda petik untuk kata bahasa Indonesia dengan makna yang konotasi membuat buku ini seharusnya ditopang glosarium yang lengkap. Inilah salah satu kekurangannya. Ketiadaan glosarium membuat paparannya menjadi kurang sempurna. Selain itu untuk menghindari jumlah tanda kutip dan petik (yang cukup mengganggu) alangkah lebih baik di cetak miring (sebagai variasi) saja beberapa kata tersebut.


Karya-karya Sartre

Filsafat

La Transcendance de l’ Ego ‘Transendensi Ego’ (1936); L’Etre et le Neant ’Ada dan Ketiadaan’(1943); L’Existensialisme est un Humanisme ’Eksistensi adalah Humanisme’ (1946); Questions de Methode ‘Persoalan-persoalan Metode’ (1957); Critique de la Raison Dialectique ‘ Kritik atas Rasio Dialektis’ (1960)

Sastra

La Nausee ‘Rasa Muak’ (1938); L’Age de Raison ‘Abad Pemikiran’ (1945); Les Chemins de la Liberte ‘Jalan-jalan Kebebasan’ (1944,1945,1946); Les Mots ‘Kata-kata’ (1963)

Drama


Les Mouches ‘Lalat-lalat’ (1943); Huis Clos ‘Pintu Tertutup’ (1945); Morts Sans Sepulture ‘Orang Mati Tanpa Terkubur’ (1946); La Putain Respectuese ‘Pelacur Terhormat’ (1946); Les Mains Sales ‘Tangan Kotor’ (1948); Le Diable et le Bon Dieu ‘Setan dan Allah yang Baik’ (1951);  Les Sequetres d’Altona ‘ Tahanan-tahanan dari Altona’ (1960)

2 comments

Write comments
23 Maret 2017 pukul 17.32 delete

Dari dulu saya tidak pernah suka "buku yang ditulis orang lain tentang pemikiran sartre (filsuf lain)" dan tidak akan pernah suka. Mereka (penulis) dengan bangga mengira bisa menyelami pemikiran sang jenius dengan mudahnya, kemudian menarik kesimpulan yang justru terkesan invalid dan penuh hipotesis, "pseudo-intellectual" sejati. Kita lihat saja judulnya "Orang lain adalah neraka". Padahal dalam drama No-Exit, Sarte jelas-jelas menuliskan "L'enfer, c'est les autres" (Hell is other people) dan artinya Neraka adalah orang lain. Kenapa judulnya dengan enteng diubah jadi "Orang lain adalah neraka". Secara penarikan term dan strukturisasi kalimat, jelas maknanya sudah beda. Silakan dinilai.

Reply
avatar
asra10
AUTHOR
26 Maret 2017 pukul 14.44 delete

Kalau saya, pembacaan terhadap Sartre, selalu sah-sah saja. Sepanjang tidak ada klaim yang mana yang lebih valid atas pembacaan tersebut. Mungkin persoalan term dan strukutrasi yang dimaksud akan bernilai benar bila diuji dalam kerangka ilmu sintaksis. Yang jelas, pembacaan baru selalu menjadi 'karya yang lain'. Disitu mungkin istilah dialektika eksis.

Reply
avatar