[Review Film] The Diving Bell and The Butterfly (2007)

Senin, Juni 01, 2015 0 Comments A+ a-

Review film The Diving Bell and The Butterfly.

Judul                   : The Diving Bell and the Butterfly (Le scaphandre et le papillon)
Sutradara            : Julian Schnabel
Tanggal Rilis        : 22 Mei 2007
Durasi                 : 112 menit
Genre                 : Drama, Biografi
Pemeran             : Mathieu Amalric; Emmanuelle Seigner;Marie-Josée Croze;Anne Consigny
 
” I decided to stop pitying myself. Other than my eye, two things aren’t paralyzed, my imagination and my memory.”-Jean-Dominique Bauby-

Film ini dibuka dengan kamera fokus-buram-fokus-buram yang bergantian. Awalnya saya merasa bingung dan agak pusing dengan pengambilan gambar model begini. Tetapi ternyata itulah yang memang diinginkan sutradara Julian Schnabel.
Melalui sudut pandang (point of view) tokoh utama, kita diajak merasakan apa yang ia temui. Scene pembuka itu ternyata adalah apa yang dilihat dan dirasa Jean-Dominique Bauby : realitas yang ingin disuguhkan sang sutradara kepada penonton. Jean-Do Bauby siuman di atas sebuah dipan rumah sakit di Prancis.

Jean-Do terkena Locked In Syndrome. Badannya lumpuh tetapi mentalnya masih utuh. Tubuhnya mati akan tetapi imajinasinya tetap hidup. Melalui kedipan mata kirinya ia bisa ‘mengganti’ dan ‘mengubah’ khayalan-khayalannya. Dari dirinya yang ‘terjebak’ dalamdiving bell  dalam laut yang dalam sampai dengan gambar kupu-kupu terbang di taman bunga. Julian Schnabel saya akui jago dalam melukiskan imajinasi Jean-Do. Memang Schnabel juga adalah seorang pelukis disamping profesinya sebagai sutradara.

Sinematografi The Diving Bell and The Butterfly berhasil digarap dengan sempurna oleh Janusz Kaminski. Intimidasi dan ketertekanan seorang Jean-Do diekspresikan jelas. Tokoh utama (Mathieu Almaric) hanya berakting kedipan mata-di atas kursi roda dan bibir monyong -- hampir sepanjang film . Tetapi ketokohannya begitu terasa.  Film yang disadur dari novel autobiografi Jean Do Bauby ini adalah kisah nyata seorang editor majalah fashion Elle di Paris. Kehidupannya berkecukupan, glamour, punya anak dan istri serta selingkuhan. Tetapi semuanya berubah saat Locked In Syndrome singgah padanya.

Novel ini tercipta dengan kedipan sebelah mata. Seorang Jean-Do yang tinggal punya sebelah kedipan mata (mata kirinya) tidak boleh dipandang sebelah mata.

Jean-Do adalah sosok yang tangguh, kokoh dan tabah meski sempat ingin mati pada awal cerita. Namun berkat bantuan terapisnya, Claude (Anne Consigny), dia mau melanjutkan hidup dan ‘menuliskan’ autobiografinya.

Awalnya Jean-Do hanya bisa ‘berkata’ ya dan tidak. Satu kedipan mata berarti ‘ya’ dan dua berarti ‘tidak’. Kemudian terapis menemukan cara supaya Jean-Do bisa ‘berbicara’. Metode itu seperti konfirmasi pertanyaan : Apakah huruf ini huruf pertama pembentuk katamu?(dibacakan seluruh abjad). Kemudian Apakah huruf ini huruf kedua pembentuk kata yang hendak kau ucapkan?(diulangi lagi hingga Jean-Do mengedipkan sekali matanya--yang berarti ya). Begitulah kira-kira algoritmanya. Huruf-huruf ini disusun berdasarkan abjad yang paling sering digunakan dalam percakapan Prancis

Tiap hari si terapis ‘mencari’ apa yang hendak diucapkan Jean-Do. Pembacaan susunan huruf, E, S, A, R, I, N, T, U, L, dst, menjadi scene yang kerapkali ditemui. Menambah durasi film dan memperkuat realitas bahwa Jean-Do sangatlah ‘lemah’. Sebab butuh waktu yang cukup lama hanya untuk mengucapkan Merci (terima kasih) jika dibandingkan dengan manusia yang normal.
Pada bagian akhir, ada scene favorit saya yaitu ketika istrinya, Celine (Emmanuelle Seigner), harus menyampaikan bahwa Jean-Do masih mencintai Ines, selingkuhanya.

Meskipun jiwa Jean-Do terperangkap dalam tubuhnya yang lumpuh (bahkan untuk mengakhiri hidupnya, bunuh diri pun ia tak mampu), ia tidak menyerah. Ia beradaptasi dengan depresi dan perasaan frustrasinya.

Stephen Hawking bisa disandingkan dengan Jean-Do dalam menegur ‘orang normal yang pesimis’. Mereka berdua bernasib hampir sama. Hawking dengan kursi roda hi-tech-nya dan Jean-Do dengan terapisnya sama-sama memberi tamsilan bahwa kekurangan bukan alasan untuk menyerah pada keadaan.

Bagi maniak film actiontwist ending dan romantis melankolis, film ini tentu tidak ‘seksi’. Tidak ada suspense, ketegangan dan intrik dalam film ini. Scoring musiknya pun sederhana (namun tetap menyentuh). Tetapi untuk penyuka drama, alur lambat dengan dialog sarat makna, tentu punya pesona tersendiri. Menonton film ini membutuhkan kesabaran. Kita akan memasuki dunia Jean-Do dengan ‘kehidupan’nya.

Saya teringat dengan novel Sampar karya Albert Camus (yang juga dari Prancis). Kota Oran yang tenang dan aman-aman saja tiba-tiba ‘dikunjungi’ wabah sampar yang merajalela. Kehidupan Jean-Do pun demikan. Hidupnya yang berkecukupan. Bahagia punya anak dan istri, mendadak terjebak dalam Locked In Syndrome. Entah apa penyebabnya. Takdir genetikkah? Hukuman atas menelantarkan anak dan istrinyakah? Ujian dan cobaankah? Tidak jelas. Absurd




Catatan tambahan : Konon, menurut Wikipedia. Pemeran Bauby awalnya akan diperankan oleh Johny Depp namun karena bentrok dengan syuting The Pirates of Carribean At The World Ends diagantikan  oleh Mathieu Almaric
Julian Schabel kerap mengangkat tema perjuangan melawan penderitaan lewat lukisan,sastra, yang berpangkal dari imajinasi dalam film-filmnya.