[Resensi Buku] Eksistensi Manusia

Kamis, Oktober 22, 2015 0 Comments A+ a-

Resensi Buku Eksistensi Manusia

Judul             : Eksistensi Manusia : Perspektif Tasawuf dan Filsafat Mengatasi Problema Eksistensial Manusia  Jalaluddin Rumi sampai Fillosof Kontemporer (Judul Asli : Existensialism in the Islamic and Western Educational Philosophies)
Penulis           : Prof. Dr. Bayraktar Bayrakli
Penerbit         : Perenial Press
Cetakan          : I,September 2000
Tebal              : 144hlm
Harga             :

Diperlukan jalan berliku untuk memecahkan masalah-masalah eksistensial manusia. Jika tak terpecahkan maka kan timbul “penderitaan dan penyakit eksistensial,” seperti hidup tak bermakna, terasing, hampa, frustrasi hidup yang tercekam rasa takut. Akhirnya hidup kita tidak menemukan apa-apa kecuali kehancuran.

Ini bukanlah permasalahan-permasalahan obyektif rasional. Anda tidak usah minta jawaban kepada siapapun , kecuali kepada para “Sufi dan filosof”. Buku ini menawarkan jawaban tuntas untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dalam perspektif tasawuf dan filsafat. Keduanya saling mengisi, untuk menunjukkan jalan yang “terang benderang”. Jalan mendaki lagi sulit dan penuh tantangan bagi manusia, menuju kesadaran makrifat dan hakekat.

Eksistensialisme, yakni suatu filsafat tentang krisis, lebih dekat dengan konsep khusus daripada konsep umum. Ia bekerja keras untuk menemukan makna eksistensi kita dan memperlihatkan suatu gaya hidup. Ini suatu masalah berkenaan dengan filosof Muslim dan Barat secara konsensus.

Pendekatan filosof barat, khususnya Sartre, berawal sebagai reaksi terhadap positivisme, materialisme dan perlawanan terhadap pragmatisme. Ia berlawanan dengan rasionalisme dan idealisme, karena menempatkan kehidupan melawan intelek. Menurut Sartre, pikiran tidak dapat memecahkan misteri dan problem-problem kehidupan. Sedangkan filosof Muslim memaparkan intelek sebagai kekuatan yang memiliki kapasitas memecahkan misteri dan struktur kompleks kehidupan. Karena itu, dua macam filosof yang berbeda tersebut tidak berbagi dalam pandangan yang sama, tentang hubungan antara kehidupan dan intelek.

Apa itu bebas? Jika Sartre mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Dan jika manusia bebas artinya tidak ada Tuhan dan jika ada tuhan manusia bebas. Filosof agama tentu memunculkan pertanyaan yang harus Sartre jawab, siapa yang mengutuk itu? Tentu masih bisa diperdebatkan dengan panjang. Apakah mesti tidak ada Tuhan manusia itu bebas? Atau justru dengan adanya Tuhan manusia itu bebas. Kebebasan manusia ditentukan fasanya menurut waktu. Boleh jadi bahwa dengan eksisnya Tuhan manusia itu sebetulnya dipersilakan bebas, bahkan untuk tidak mempercayai pencipta. Namun akhirnya Sartre yang tidak peduli apakah ada Tuhan atau tidak dan fokus kepada manusia adalah proyek dirinya. Pernyataan itu menjadi hal yang tren dan banyak diikuti oleh pemuda tahun 50an terutama di Perancis. Buku ini tidak terfokus dalam membahas eksistensi Tuhan, lebih kepada tentang eksistensi manusia. Manusia yang berada di dunia dengan cara berada yang khas dari benda lain. Dalil Eksistensi mendahului esensi eksistensalisme Sartre diamini buku ini. Pandangan tentang filosof muslim tentang adanya manusia dan keberadaannya juga dibahas dalam buku ini.

Eksistensialisme ateis dan eksistensialisme religius dipaparkan dengan gamblang di dalam buku ini. Pandangan beberapa tokoh seperti Kierkegaard, Heidegger, Sartre, Gabriel Marcel, Karl Jaspers, Rumi dan Ibn Sina dan Farabi turut mengambil peran dalam mengklarifikasi nilai-nilai eksistensialisme.

Eksistensialisme religius memasukkan Tuhan ke dalam relasi-relasi keberadaan manusia dengan yang lain. Mereka percaya bahwa Tuhan akan menunjukkan diri-Nya sendiri kepada manusia dalam suatu dimensi yang absolut dan universal. Inilah kepercayaan, yang membuat kita membedakan keimanan eksistensialis dan eksistensialisme ateis.

Kehendak untuk menidak atau menegasikan diri adalah bagian dari ciri-ciri manusiawi. Manusia telah berusaha menemukan suatu solusi terhadap semua kebutuhan ini melalui sejarah, dan salah satu solusi tersebut adalah Tuhan. Kepercayaan, yang mana di alam semesta ini manusia tidak dapat digantikan dengan yang lain, adalah gagasan mendasar dalam esensi agama-agama yang terorganisasi. Hubungan manusia dengan Tuhan yang metafisika yang kita sebut “Yang Esa” adalah hubungan tentang penghambaan dan kepatuhan. Eksistensialis religius mempertahankan bahwa kita akan menuju keimanan hidup kita dalam eksistensi Tuhan.

Hal ini dapat kita simpulkan, eksistensialis religius menempatkan nilai keyakinan sebagai jaminan kebebasan dan tingkat tertinggi relasi manusia, sedangkan eksistensialisme ateis mengganggap keyakinan kepada Tuhan menjadi biang kehancuran kebebasan.

Buku tipis ini merupakan salah satu buku yang menghadirkan eksistensialisme dengan dua kutub yang berbeda. Ateis dan Religius. Dengan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya menjadikan buku ini penting dan seru untuk dibaca oleh para pecinta atau oleh orang yang sekadar ingin tahu apa itu aliran eksistenisialisme dalam filsafat.

Dengan penerjemahan yang cukup baik, buku ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Beberapa dalil kitab suci Al-Quran bisa ditemui di dalam beberapa bagian buku ini. Penulis buku yang seorang pakar filsafat islam, teologi dan filsafat barat tidak terlihat kesulitan dalam menerangkan eksistensialisme versi ateisme dan religius.

Selain itu terdapat juga indeks yang sangat membantu menemukan terminologi khusus.

Kekurangan buku ini adalah bukunya susah didapat dan pembagian tema dan bab yang kurang terstruktur. Berbeda dengan buku-buku filsafat serupa yang membahas pemikiran suatu tokoh. Dijelaskan dengan gamblang kronologi dan urutannya. Namun didalam buku ini tidak demikian. Pembagian babnya kurang rapi.

Secara umum buku ini menyajikan pengetahuan-pengatahuan eksistensialisme yang pantas dan layak dibaca.