[Resensi Buku] Novel Orang Asing (1942)

Minggu, April 12, 2015 0 Comments A+ a-

Resensi Buku Novel Orang Asing (1942)

Judul                 : Orang Asing (Judul Asli : L’Etranger)
Penulis              : Albert Camus
Penerjemah       : Apsanti Djokosujatno
Penerbit            : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan            : ed.1 2013
Tebal                : x + 124 halaman
Harga               : Rp35.000

Sinopsis

Tokoh Utama Orang Asing adalah Meursault. Ia seorang keturunan Prancis yang tinggal di Aljazair. Dalam latar cerita ini, Aljazair masih merupakan daerah jajahan Prancis. Meursault mendapat kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Meursault berencana pulang untuk melihat ibunya dan meminta izin kepada majikannya untuk libur selama dua hari. Namun majikannya terlihat tidak menunjukkan rasa senang dan berbela sungkawa. Hal ini diketahui kemudian oleh Mersault bahwa majikannya tidak senang ia libur hari Kamis dan Jumat, karena dengan demikian Mersault libur empat hari.

Meursault tidak menunjukkan kesedihan hingga saat pemakaman ibunya. Hal ini dinilai oleh orang lain sebagai suatu tindakan yang aneh.  Meursault kemudian berkencan dengan seorang perempuan bernama Marie. Kencan tersebut hanya berselang sehari setelah pemakaman ibunya. Pada saat kencan, Mersault mengenakan dasi hitam yang dipertanyakan Marie apakah Mersault dalam keadaan berduka. Namun Mersault mengatakan bahwa ibunya baru meninggal kemarin dengan ekspresi datar. Mersault menganggap bahwa ibunya meninggal di hari Jumat atau hari apapun itu, itu bukanlah "salah "-nya, atau keinginannya, tetapi orang-orang sepertinya menganggap dia aneh.


Meursault berkenalan dengan Raymond, tetangganya, seorang pria yang tidak diketahui apa pekerjaannya, namun selalu berpakaian rapi. Sikap Mersault kepada Marie dan Raymond dianggap tidak biasa. Karena Marie dan Raymond ingin bersahabat dekat dengan Meursault, tapi respons Mersault tidak menunjukkan bahwa ia antusias atau senang, ia menganggap biasa saja.

Pada sore hari Marie datang menemui aku, dan bertanya apakah aku mau menikah dengannya. Aku berkata, bagiku hal itu sama saja, dan bahwa  kami dapat melakukannya jika dia menghendakinya. (h.43)

Demikian juga ketika ia ditawari oleh majikannya untuk menangani cabang usaha baru di Paris, Meursault tidak menanggapinya sebagai suatu kesempatan dan tantangan, tetapi ia biasa saja.

Ia (majikannya) lalu bertanya apakah aku tidak tertarik mengubah hidupku. Aku menjawab bahwa kita tidak akan pernah mengubah hidup kita, bahwa bagaimanapun semua sama nilainya, dan bahwa aku menyukai benar hidupku di sini. Ia tampak tidak senang, ia berkata bahwa aku selalu memberikan jawaban yang menyimpang, bahwa aku tidak mempunyai ambisi, dan semua itu amat mengecewakan dalam dunia usaha. (h.43).

Suatu hari Mersault, Raymond, dan Marrie pergi ke pantai. Perjalanan yang awalnya merupakan acara berlibur menjadi terganggu karena Raymond dicederai oleh orang Arab yang bermusuhan dengannya. Mersault sebenarnya tidak ada urusan dengan orang Arab tersebut. Ia hanya memegang pistol Raymond ketika Raymond berkelahi. Bersama Masson dan Mersault, Raymond kembali ke pesanggrahan untuk beristirahat karena luka sayatan dari pisau orang Arab tersebut.

Mersault sebenarnya ingin memperoleh ketenangan, ia kembali ke tempat perkelahian tersebut, karena disana ada mata air. Namun, Orang Arab tadi masih berada di sana. Situasi hawa panas dan peluh yang sangat deras mengucuri dahi dan pelipis Mersault. Ketika Mersault mendekat, orang Arab tersebut terancam dan mengeluarkan kembali pisaunya. Karena pisau tersebut berkilaut dan menyilaukan mata Mersault, ditambah hawa panas dan keringat yang mengenai matanya, mengakibatkan Mersault kehilangan kendali. Pistol yang tadinya dititipkan di sakunya, tak sengaja tertarik pemicunya. Orang Arab tersebut tertembak. Anehnya, Mersault tidak merasa panik. Ia masih menembak tubuh tak bergerak itu hingga empat kali lagi.

Tindakan Meursault ini membawanya ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati, tapi vonis hukuman mati justru didasarkan pada tindakannya yang tidak lazim saat kematian dan masa berkabung ibunya. Penuntut memanfaatkan itu untuk menggambarkan kepribadiannya yang buruk. Ia dianggap bukan orang baik karena mengirim ibunya ke panti wreda, tidak ingin melihat wajah ibunya yang meninggal, tidak sedih saat pemakaman ibunya, merokok, menerima tawaran kopi susu, dan tertidur saat menunggui jenazah ibunya, serta berkencan sehari setelah kematian ibunya. Meursault juga dianggap pembunuh yang kejam, tenang, jitu dan penuh perencanaan karena setelah satu kali tembakan, ia kembali menambah empat tembakan.

Komentar

Novel ini merupakan novel pertama Albert Camus. Begitu novel ini muncul, orang-orang langsung mengenal dan mengakui kepiawaian Albert Camus. Karya sastra ini kabarnya juga mendapat tepuk tangan kagum di Prancis sebab terdapat beberapa pembaharuan di dalamnya. Misalnya tokoh utama yang tidak berasl dari golongan borjuis.

Para kritikus yang menganalisa novel ini menyimpulkan bahwa ini adalah pemikiran Albert Camus tentang filsafatnya absurdisme. Tentang absurditas kehidupan dan dunia. Selain itu beberapa golongan juga menggolongkan Camus dalam penganut eksistensialisme, padahal Camus pernah membantah tentang itu. Ia mengatakan bahwa ia bukanlah seorang eksistensialis.

Meursault sebagai tokoh utama seringkali irrasional dalam mengambil keputusan-keputusannya. Ia dianggap asing oleh lingkungannya.

“Hari ini ibu meninggal.  Atau mungkin kemarin, aku tidak tahu.  Aku menerima telegram dari panti wreda, ‘Ibu meninggal. Dimakamkan besok.  Ikut berduka cita.’ Kata-kata itu tidak jelas. Mungkin ibu meninggal kemarin.”  Paragraf pembuka novel ini menghentak saya. Ini menunjukkan betapa kosongnya respons emosi Mersault atas kematian ibunya sendiri.  Ia menceritakannya seolah hanya masalah sepele ibarat kehilangan sandal jepit di masjid.

Meursault digambarkan sebagai sosok pasrah ekstrem yang menerima segala sesuatunya sebagai kewajaran.  Ia tidak berusaha untuk memaknai, apalagi memahami dunianya. Ketika menolak untuk melihat jasad ibunya untuk terakhir kali, misalnya.  Ia tidak bisa memberikan alasan yang jelas, saat ditanya oleh penjaga pintu yang menawarkan untuk membuka peti matinya “Mengapa?” Meursault  hanya menjawab “Saya tidak tahu.”
Terdapat metafora menarik ketika Meursault merasa panas saat upacara pemakaman ibunya. Melihat Meursault yang kepanasan, sang wakil perawat berbicara pada Meursault:

"Jika kita berjalan pelan-pelan, kita bisa terasing. Tetapi jika kita berjalan terlalu cepat, di dalam gereja kita akan merasa panas dingin." Ia benar. Tak ada jalan keluar. (h.17)

Hal ini ibarat menggambarkan mobilitas manusia. Jika mobilitasnya terlalu pelan, dalam artian lamban mengikuti keadaan normal, maka ada kemungkinan manusia itu akan diasingkan karena dinilai tidak mampu menyelaraskan diri dengan norma masyarakat. Jika manusia memiliki mobilitas terlalu tinggi atau banyak bergerak, maka cenderung dinilai bertindak tanpa banyak berpikir, seperti Meursault. Ia akan merasa panas dingin. Jadi, kemungkinan untuk diasingkan atau merasa tidak nyaman dengan kesepakatan umum (perasaan panas dingin di gereja). Manusia seperti tetap akan diasingkan kehidupan walaupun kita memilih berjalan cepat ataupun lambat, hidup ini tidak meninggalkan pilihan yang jelas. Hal inilah yang makin memperjelas absurditas, manusia mencari kejelasan di antara ketidakjelasan kehidupan ini. Bahwasanya 'tidak ada jalan keluar' dari absurdnya kehidupan ini.

Inti dari absurditas adalah mengenai dunia dan eksistensi manusia yang tidak memiliki tujuan dan makna yang rasional, dan itulah yang tergambar dari sikap Meursault. Irrasionalitas berikutnya terjadi ketika Meursault bertemu dengan Marie, mengajaknya berenang, menghabiskan waktu bersama, kemudian mengajaknya menonton bioskop pada malam harinya. Hal ini sangat irasional mengingat kematian ibunda Meursault baru saja kemarin. Skenario ini ditampilkan sebagai suatu keabsurditasan pribadi Meursault yang sangat bertentangan dengan konvensi umum.

Sebagai novel terjemahan, tidak terlalu mudah untuk memahami narasi dan dialognya. Butuh sedikit tenaga untuk mencerna isi novel ini. Alur cerita yang hampir datar dan minim suspensi, ditambah karakter Meursault yang datar dan minim ekspresi membutuhkan kesabaran lebih untuk menuntaskan novel tipis ini. Meskipun demikian bahasa yang digunakan cukup liris dan indah. Selain itu, Orang Asing merupakan perwujudan  pemikiran Albert Camus tentang filsafat absurd. Novel ini merupakan karya sastra sekaligus filsafat kata Prof. Benny H. Hoed, guru besar FIB UI.

Saya tidak menyarankan anak-anak dan remaja untuk membaca novel ini. Orang dewasa pun harus hati-hati dengan aliran absurdisme Camus. Bila terpengaruh maka jadilah Absurd. Tetapi bila sudah merasa punya pijakan yang kuat dan kokoh, Novel ini bisa menjadi pertimbangan untuk mengadu konsep-konsep hidup yang sudah ada di tempurung kepala masing-masing. Saya menyarankan untuk kaum pecinta kebijaksanaan untuk membaca novel ini, sebab disini banyak pergumulan tentang itu. Camus tidak berusaha untuk mendoktrin atau menyuntikkan dogma-dogmanya. Ia hanya memaparkan Meursault yang terasing dalam segala hal. Mersault tidak hanya terasing di Aljazair,tetapi juga asing terhadap kebudayaan, tata cara masyarakatnya, asing terhadap dunia, asing terhadap waktu, bahkan asing terhadap dirinya sendiri.

Mengingat itu saya teringat hadits nabi :

Berkata Rasulullah SAW : “Islam itu bermula dalam keadaan asing (gharib) dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu (ghuraba’).” (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, Kitabul Iman, 1/350, no. 208 (Dari Abu Hurairah). Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah, Kitabul Fitan, 11/485, no. 3976 (Dari Abu Harairah). Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, 34/25, no. 16094 (Dari 'Abdurrahman B. Sannah)).

Resensi ini hanya mengutip dari berbagai sumber.