[Resensi Buku] Novel Kooong (1975)

Minggu, April 12, 2015 0 Comments A+ a-

Resensi novel Kooong

Judul Buku          : KOOONG Kisah tentang Seekor Perkutut
Pengarang          : Iwan Simatupang
Penerbit              : Pustaka Jaya
Tebal                  : 99 Halaman
Terbitan              : Cetakan kedua, 2013
Harga                 : Rp17.600

Sinopsis

Pak Sastro mendapat serangkai ujian dalam hidupnya. Usai satu muncul satu lagi. Pasca ditinggal mati istrinya(karena bencana banjir), beliau wajib ikhlas anak semata wayangnya, Amat, tewas ditabrak kereta api langsir. Kemudian dalam keadaan dirundung duka, Pak Sastro membeli seekor perkutut di Pasar Senen, Jakarta, saat hari penguburan Amat. Anehnya, dia membeli perkutut yang tak bisa berbunyi kooong. Hanya perkutut gule. Meskipun begitu Pak Sastro telanjur cinta.



Suatu hari, perkutut Pak Sastro kabur dari sangkarnya. Sepertinya Pak Sastro lupa menguncinya setelah memberi makan dan menggantung sangkar itu dirumahnya.

Apa yang terjadi? Pak Sastro murung. Ia kehilangan sesuatu yang sudah sepuluh tahun bersamanya. Kekosongan yang dulu dirasanya kembali, padahal tidak ingin dia memanggul beban hitam berat itu bersama dirinya lagi.

Seluruh desa geger mendengar berita hilangnya perkutut Pak Sastro. Ada diantara mereka yang menawarkan agar Pak Sastro membeli perkutut baru. Namun bukan soal itu, Pak Sastro tentu sanggup beli perkutut lain, bahkan yang mahal sekalipun. Dia orang kaya. Hampir separuh desa adalah miliknya. Tetapi sanggupkah perkutut lain menggantikan kedudukan perkutut yang telah hilang?(meski tidak pernah memperdengarkan kooong walau barang sekali). Ujungnya semua perkutut yang ditawarkan kepada beliau, ditolak.

Beberapa penduduk desa menasehati Pak Sastro agar mau kawin lagi. Bila dia tetap berkeberatan kawin dengan seorang gadis , mereka akan mencarikan seorang janda yang usianya tidak jauh beda dengan Pak Sastro. Tapi, Pak Sastro tetap menolak. Katanya, mereka jangan terlalu memikirkan masa depan hartanya bila dia sudah tak ada lagi nanti. “Ajal adalah wewenang Tuhan. Jangan khawatir, juga hartaku ini nanti pasti akan dirawat Tuhan. Untuk tiap persoalan, Tuhan telah menyediakan jawabannya. ”

Pak Sastro makin larut dalam kemurungannya. Seisi desa ikut merasakan penderitaan Pak Sastro. Pak Lurah dan penduduk menyepakati untuk mengusulkan kepada Pak Sastro untuk berkelana sementara. Bepergian ke negeri-negeri orang, biar terang hatinya. Pak Sastro awalnya tidak setuju, namun, akhirnya ia mau. Ditinggalkannya pesan kepada Pak Lurah agar mengambil alih pengaturan seluruh harta-hartanya. Sawah, kebun, binatang ternak dan segala bidang kekayaan Pak Sastro.

Sepeninggal Pak Sastro, terjadilah bermacam peristiwa di desa. Aneka perubahan muncul. Sampai Pak Lurah marah karena banyak penduduk yang dititipkan menggarap lahan Pak Sastro korup. Pak Lurah memutuskan untuk meninggalkan desa mencari Pak Sastro. Begitu juga dengan penduduk yang takut Pak Sastro kembali, ikut mencari untuk mencegahnya pulang.

Komentar

Ajip Rosidi, beliaulah yang ngotot untuk menerbitkan naskah Kooong ini. Awalnya ia diminta oleh Yayasan Pustaka Taruna untuk mempertimbangkan sejumlah naskah yang hendak diterbitkan. Naskah itu berasal dari Sayembara Mengarang Roman Bacaan Remaja yang diselenggarakan IKAPI. Nah, naskah yang menang sudah diserahkan ke penerbit. Tetapi Ajip Rosidi harus mempertimbangkan naskah yang tersisa. Barangkali ada yang bisa diterbitkan.

Diantaranya adalah naskah Kooong, dengan penulis Kebo Kenanga(nama samaran). Ajip menyadari gaya penulisan ini mirip sekali dengan Iwan Simatupang. Pastilah Kebo Kenanga terpengaruh besar sekali dengan Iwan Simatupang. Walau demikian, ternyata Yayasan Pustaka Taruna tidak berhasil menemukan penerbit untuk roman ini.

Pada saat Ajip Rosidi menjadi ketua IKAPI tahun 1973, ia menemukan lagi naskah Kooong yang sebelumnya sudah ia kenal. Setelah dilacak, ternyata penulisnya bukan seseorang yang sangat terpengaruh dengan Iwan Simatupang, melainkan Iwan Simatupang Sendiri (pada saat itu Iwan sudah wafat. Beliau meninggal 4 Agustus 1970). Agar orang tidak salah baca (koong tidak dibaca ko-ong), padahal maksud Iwan adalah matope dari suara burung, dua “o” melambangkan suara panjang. Ajip mengubahnya menjadi Kooong.

Iwan Simatupang dianggap sebagai eksistensialis dalam khazanah sastra indonesia. Novel Kooong ini merupakan salah satu jejak eksistensialisme-nya. Secara gamblang eksistensi Pak Sastro diurai dalam pergulatannya dengan penderitaan. Individualitas, tanggung jawab, penciptaan kemungkinan, pencarian dipotret ke dalam novel ini.

Alur cerita yang rapi dengan bahasa khas Iwan yang segar membuat Kooong menjadi karya yang utuh dan kokoh. Konflik demi konflik yang disuguhkan Iwan tidak membuat bosan, bahkan membuat saya makin penasaran apa yang didapat Pak Sastro di akhir cerita. Lalu, ternyata dikupas juga sudut pandang perkutut terhadap kehidupan Pak Sastro. Perkutut yang kemudian berpikir arti sangkar baginya dan kehendaknya untuk dapat terbang seperti burung-burung lainnya.

Pak Sastro yang memutuskan untuk pergi dari desa barangkali adalah bentuk pengembaraan eksistensialnya. Ia keluar dari dirinya untuk mengambil tempat di tengah-tengah dunia dan sekitarnya. Tidak sia-sia, Pak Sastro menemukan kesinambungan dari dirinya. Ia bebas, merdeka dan terus mengembara.

Berikut adalah dialog bagian akhir novel :

“Kalau kami boleh bertanya, kau sendiri mau kemana seterusnya Pak Sastro?”
“Aku mau terus begini dulu. Katakanlah, mengembara. Katakalah aku dipesona secara dahsyat oleh alam kebebasan dan kemerdekaan.”
“Hm. Perkututku yang hilang itu, yang telah menghebohkan kita semua, tidak kooong. Atau mungkin sudah bisa kooong. Biarkan dia. Juga dia boleh meneruskan penghayatannya akan kebebasan dan kemerdekaannya”