[Resensi Novel] Ziarah (1969)

Selasa, September 08, 2015 0 Comments A+ a-

Resensi Buku Novel Ziarah

Hidup sajalah jangan banyak Cingcong

Judul                   : Ziarah

Penulis                : Iwan Simatupang

Penerbit              : Djambatan

Cetakan              : VI, 1997

Tebal                  : 142 hlm;21cm

Harga                 : Rp150.000,00

“Tentang Ziarah saudara, saya merasa kagum dan menganggap perlu menerbitkan segera...(Surat H.B Jassin pada Iwan Simatupang, (26/6/1963)”...karena akan membuka halaman baru pula dalam kesusasteraan Indonesia seperti halnya tempo hari dengan puisi Chairil Anwar.” (Surat H.B Jassin pada Iwan Simatupang 16/7/1963)

“Suatu novel sangat interesan dengan tema yang pada dasarnya sangat sederhana sekali, tetapi memerlukan pengetahuan psikologis dan intelek untuk dapat mengungkapkannya. Novel ini dapat dinakaman parodi atau satire.” (Gajus Siagian, 1963)


Di Kotapraja, seorang pelukis terkenal di seluruh negeri terkapar trauma. Ia ditinggal mati istrinya yang sangat ia cintai. Istrinya itu adalah dia yang dikawininya secara tiba-tiba. Suatu hari disaat Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya lukisnya yang memikat semua orang dijagat bumi ini. (Beberapa kritikus seni bilang bahwa dia adalah Nabi Seni Lukis masa depan) yang mengakibatkan ia memiliki banyak uang dan membuatnya bingung. Karena kebingungannya ini sang pelukis berniat bunuh diri dengan meloncat dari lantai hotel. Ketika terjun, dia menimpa seorang gadis cantik. Tanpa diduga pula sang pelukis langsung melakukan hubungan badan dengan si gadis di atas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang histeris dan akhirnya seorang brigadir polisi membawa mereka ke kantor catatan sipil dan mengawinkan mereka.

Pelukis merasa benar-benar kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati, pelukis pun langsung pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya tetapi tak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena pelukis tak tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada istrinya. Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat penguburan yang sah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat menjadi walikota setelah walikota pertama gantung diri karena tak bisa memecahkan masalah mengundang pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing) yang ikut menghadiri penguburan Istri pelukis.

Sampai akhirnya pengusaha penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan keputusan walikota akhirnya mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai, sang pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru membuat dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian pelukis memandangi keadaan sekitar yang penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut kemudian membakar gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan. Ziarah tanpa melihat makam istrinya.

Setelah itu hidup pelukis semakin tak jelas arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya di tikungan entah tikungan mana dan malam harinya di tuangkan arak ke perutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras. Hingga akhirnya datang opseter perkuburan yang meminta dia mengapur tembok perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa dia dicari.

Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan opseter perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga Walikota akan memberhentikan opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat pemberhentian kerja itu, Walikota malah mati sendiri karena kata-kata opseter tentang proporsi. Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri karena opseter pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja pada selembar kertas pada pegawainya.

Setelah beberapa hari pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari dia bergegas pulang sebelum 5 jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian mendatanginya dan ternyata pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa selain untuk kepentingan opseter sendiri, opseter ingin pelukis menziarahi istrinya yang sudah tiada itu. Keesokan harinya opseter ditemukan gantung diri. Pekuburan geger, tetapi hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan opseter berlangsung cepat. Setelah penguburan, pelukis bertemu maha guru dari opseter yang kemudian menceritakan riwayat opseter.

Pada akhirnya pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat istrinya.


Salah satu khasnya novel Iwan adalah tokohnya yang tidak bernama. Saya jadi ingat Tuhan, nama seseorang asal jawa itu. Foto KTP-nya beredar di internet. MUI turun tangan dengan menyarankan belaiau mengganti nama. Lalu muncul Syaithon di Palembang. Nah kalau Novel Ziarah Iwan nama tokohnya adalah tokoh kita, bekas pelukis, walikota, opseter pekuburan. Yang ada hanya profesinya. Mungkin ini ada hubungannya dengan Manusia adalah Proyek dirinya. Kata Sarte demikian. Manusia selalu berubah-ubah tergantung kepada apa yang ia kerjakan dan ia perbuat. Tidak ada pelabelan khusus pada tokoh-tokoh novel ini.

Iwan mengakui bahwa novelnya merupakan terapan Noveau Roman yang kelewat berani. Noveau roman sebuah bentuk sastra yag tumbuh dalam sastra prancis mutakhir dengan Allain Robbee-Gillet sebagai tokohnya.

Iwan menamakan novelnya dengan “novel esai” novel masa depan, novel tanpa pahlawan, tanpa tema, tanpa moral. (Dami N. Toda; Novel Baru Iwan Simatupang)

Penderitaan, kesunyian, kekosongan,kesepian dan kegelisahan akan pencarian makna hidup. Setelah manusia mengalami keterlemparan ia dihadapkan dengan sunyi, sepi, dan senyap. Akan tetapi dengan ruh kebebasan yang disematkan kepada manusia dia bisa memilih. Manusia dikutuk untuk bebas. Ia lahir membawa kebebasan itu. Dan setelah keterlemparan menemui kesunyian ia bertemu manusia yang juga membawa kesadaran. Disalah manusia harus sadar bahwa ada kesadaran lain pada orang lain.

Jalanilah hidupmu. Berperanglah dengan absurdnya hidup, memberontaklah kepada segala bentuk pengekangan. Gunakan kebebasan yang terbatas oleh kematian.

Iwan jago mengawinkan filsafat dengan novel. Kehidupan yang serba absurd ia potret dan kemasi ke cerita perwakilan tokohnya. Yang sebenarnya tokohnya itu adalah bisa siapa saja. Novelnya tidak biasa. Alur yang sorot-balik (Flashback) tetapi tidak membosankan. Memang butuh kesabaran untuk membaca novel Ziarah. Selain itu butuh pengetahuan juga untuk mencernanya. Meski demikian novel ini tidak berat dengan penuh istilah asing. Ia memaparkan kisah sang pelukis saja. Jadi ya intinya kenikmatan novel ini berbanding lurus dengan kesiapan kita untuk memaknainya.

Ziarah adalah novel yang anti-plot dan anti-karakter. Membahas tema kematian, pemberontakan dan kesadaran sosial. Tokoh yang terpencil, kesepian, dilanda tragedi, cenderung murung. Tokoh kita mengisyaratkan kepemilikan kolektif milik bersama.

Terhenyak dari semua ikatan kemasyarakatan, terlepas dari semua ikatan dan konvensi, semua kapal di belakangnya sudah terbakar. Manusia gelandangan pada hemat Iwan memiliki posisi dan status “manusia terbuka” mengunjuk segala penjuru, “fatum” mereka tidak kenal determinisme-determinisme. Makhluk dengan “kemungkinan pilihan”tak terbatas. (Dami N.Toda)

Penulis yang sedang menggemari eksistensialisme menemukan kesegaran baru dalam novel Ziarah. Seluruh bagian novel membuat penulis terkesan. Baru membacanya dua kali saat menulis resensi ini. Dalam proses itu, terus penulis menemukan hal baru dalam pengulangan membaca tersebut.

Pada saat pertama baca, banyak hal yang penulis belum paham. Belum maqomnya mungkin ya. Lalu baca lagi baru sedikit-sedikit mengerti.

Manusia mesti melawan penderitaan. Mesti melawan absurdnya dunia

Manusia seakan-akan serba salah, terkapar di tengah kemungkinan-kemungkinan ganda, di tengah kemungkinan “ada pilihan” dan “tidak ada pilihan” di “tengah panggilan untuk hidup bahagia” dan sekaligus juga “panggilan untuk hidup susah derita dan kematian”. Suatu kejamakan “naussea” (Sartre) ataupun “absurd”(Camus) yang menimbulkan istilah “persekongkolan(perkomplotan) yang parah” (la complicite fatale) dari Allain Robbe-Grillet (1963:70). Kesan tragis lebih dalam lagi oleh adanya kenyataan bahwa setelah diberi “akal” (ratio), ternyata manusia tidak dapat andalkan kemampuan(ilmu) akal budi tersebut untuk menyelamatkan diri.

Dalam Ziarah, kegelandangan fisik itu dibela atau diargumentasi oleh peristiwa anti rasionalisme dari kasus “mati”. Ketakpahaman dari kasus tersebut membenarkan moralitas tokoh kita(protagonis Ziarah) hidup dalam pilihan tembok pekuburan, indiferen terhadap status dan harta benda dunia yang berbising sementara di luarnya. Akal sehat (rasio) dinegasikan dengan kasus ketakpahaman yang menyata dalam hidup manusia. (Dami N. Toda)

Biografi Singkat Pengarang (diambil dari buku Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air)

Iwan Simatupang dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928, meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970, berpendidikan HBS Medan, Fakultas Kedokteran Universitas Airlanggadi Surabaya (1953, tidak tamat) dan tahun 1954-1958 memperdalam pengetahuan di Eropa (antropologi di Univeristas Leiden, drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris). Pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP di Sumatera Utara (1949), guru SMA Jalan Wijayakusumah di Surabaya (1950-1953), redaktur majalah Siasat(1954-1959), redaktur majalah Gajah Mada (1956-1959), redaktur harian Gotong Royong(1967-1970).
Esainya, “Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air”, memperoleh Hadiah Kedua majalah Sastra tahun 1963; novelnya Koong (1975), mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama Departemen P&K tahun 1975; dan tahun 1977 Iwan Simatupang memperoleh hadiah Sastra ASEAN. Karyanya yang lain : Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar (drama, 1960), RT Nol/RW Nol (drama, 1960), Petang di Taman (drama, 1966), Cactus dan Kemerdekaan (drama, 1969). Drama Iwan Simatupang ini dijadikan satu kumpulan dan diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul, Square Moon and  Three Other Short Play(dengan kata pengantar oleh Frans M. Parera, 1997), Merahnya Merah(novel, 1968), Ziarah (novel, 1969; diingriskan Harry Aveling dengan judul The Pilgrim, 1975), Kering (novel, 1972;diinggriskan Harry Aveling dengan judul Drought, 1978), Tegak Lurus dengan Langit (kumpulan cerpen, 1982; diedit oleh Dami N. Toda), Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966 (1968; diedit dan diberi pengantar oleh Frans M. Parera), Ziarah Malam: Sajak-sajak 1952-1967 (kumpulan sajak, 1993; diedit oleh Oyon Sofyan dan S. Sjamsoerizalz Dar). Selain itu, tiga buah esainya dimuat dalam Satyagraha Hoerip, editor, Sejumlah Masalah Sastra (kritik dan esai, 1982).
Studi mengenai karya Iwan Simatupang diantaranya : Dami N. Toda, Novel Baru Iwan Simatupang, Jakarta, 1980, Faruk HT, Merahnya Merah Iwan Simatupang: Sebuah Tinjauan Secara Strukturalisme-genetik, Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1981, V.M. Nilawati Hadisantosa, Absurdity and Revolt in Albert Camus’s The Stranger and Iwan Simatupang’s Ziarah, Skripsi Sarjana, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1982, Korrie Layun Rampan, editor, Iwan Simatupang, Pembaharu  Sastra Indonesia, Jakarta 1985, J.Prapta Diharja, Gaya Iwan Simatupang dalam Ziarah. Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra UI, Jakarta 1985, Okke K.S. Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta, 1990, dan Kurnia JR, Inspirasi ? Nonsen ! Novel-novel Iwan Simatupang, Magelang, 1998.

Iwan Simatupang dianggap sebagai tokoh “Angkatan 70” di bidang prosa.