[Resensi Buku] Antologi Puisi Isyarat oleh Kuntowijoyo (1974)

Rabu, September 09, 2015 0 Comments A+ a-

Resensi Buku

Antologi Puisi Isyarat oleh Kuntowijoyo

Judul                   : Isyarat. (Sajak-sajak 1974)

Penulis                : Kuntowijoyo

Penerbit              : Pustaka Jaya

Cetakan              : I, 1976

Tebal                  : 84 hlm

Harga                 : Lupa

Dalam “Maklumat Sastra Profetik”-nya Pak Kunto menjelaskan: “Keinginan saya dengan sastra ialah sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas “objektif” dan universal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih.”


Apa yang dinyatakan oleh Pak Kuntowijoyo di atas adalah sebuah pilihan di tengah aneka ragam pilihan yang ada di dunia ini. Jadi, jika orang lain boleh memilih paham yang lain, kenapa Pak Kuntowijoyo tidak boleh memilih suatu pilihan yang lahir dari kejujuran hati nuraninya? Selagi ia memilih dan mewujudkan pilihannya tanpa maksud memaksa dan merugikan orang lain, itu sah saja dan bebas dengan pilihannya itu. Apa lagi, sastra itu untuk ibadah, untuk pencerahan dan kemanusiaan. Tentu tidak ada orang lain yang berhak menghalanginya. Kalau sekadar tidak setuju, silakan! Sebagaimana Pak Kuntowijoyo tidak ingin membredel paham orang lain yang berbeda dengannya.

Pandangan-pandangan yang lain yang berbeda bisa melakukan dialog dengan pandangan Pak Kuntowijoyo, juga dengan pandangan-pandangan lain karena perjalanan kebudayaan adalah dialog kreatif tak kunjung berhenti.

Kenapa sastra sebagai ibadah? Menurut Pal Kuntowijoyo, Islam yang utuh itu harus meliputi seluruh muamalahnya. Pak Kuntowijoyo berangkat dari firman Allah dalam al-Qur’an: “Masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan)” (Q.S. 2:208). Pengarang yang shalat dengan rajin, zakat dengan ajeg, haji dengan uang halal, tetapi pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah, menurut Pak Kuntowijoyo, Islamnya belum kaffah.

Pandangan itu bisa dirujuk dengan tauhid, meskipun dalam maklumatnya Pak Kuntowijoyo lebih sering menyebut iman, kaffah, profetik dan lain-lain. Tauhid di sini, tidak saja menyembah satu-satunya Dzat Tuhan, satu-satunya Pencipta alam semesta, yaitu Allah. Lebih dari itu, tauhid bermakna menomorsatukan nilai-nilai yang dari Allah. Alasannya, karena manusia itu milik Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Pak Kuntowijoyo tidak pernah merasa memiliki dirinya sendiri karena itu ia harus muslim (menyerah, damai) kepada Allah.

Buku Isyarat adalah kumpulan 72 sajak yang beliau tulis selama bermukim di Amerika, yang sebahagian besar belum pernah dimuat dalam majalah. Dalam sajak-sajaknya ini, terasa benar ia banyak mempersoalkan hidup dan kehadiran manusia dari segi filosofis, bahkan jika melukiskan keadaan kotapun ia berusaha mencari dan melihat latar belakang yang lebih jauh lagi.

Mendapati kenyataan bahwa Pak Kuntowijoyo tak hanya berkreasi dengan cerpen sedahsyat “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, “Sepotong Kayu untuk Tuhan” tetapi juga merambah ke ranah puisi, ya baru kutahu setelah membaca buku ini.

Dari 72 puisi yang ada, kehadiran yang transenden –yang biasanya lekat pada tema-tema cerpen Kuntowijoyo– hanya hinggap di beberapa puisi-puisinya seperti puisinya berjudul “Bangun-Bangun” cerita tentang Engkau yang bicara pada awan, pada manusia, pada Pak Kunto. Aku suka kutipan ini:

“Tiba-tiba Engkau campakkan isyarat:

Bangun-bangun”

Atau puisinya yang berjudul “Perjalanan ke Langit” yang dibuka dengan kalimat semenarik ini:

“Bagi yang merindukan

Tuhan menyediakan

kereta cahaya ke langit”

Sedang yang lain, seperti puisi berjudul “Vagina” memiliki keunikan dari segi tema.

VAGINA

Lewat
celah ini
engkau mengintip
kehidupan.
Samar-samar
dari balik sepi
bisik malam
menembangkan bumi.
Engkau tidak paham
mengapa laut tidak bertepi
padahal engkau berlayar setiap hari.
Tutup kelopak matamu
bulan mengambang
di balik semak-semak.
Menantimu.
Misteri itu
gugur
satu-satu
setiba engkau di sana
merebahkan diri.”


Tema yang lain, seperti seks seperti pada puisi “Zina” dan “Perempuan Tak Setia” juga menarik, lalu Pak Kunto juga bicara cukup sering tentang rahim, kelahiran, dan perkawinan. Semua seliweran di buku ini, dibalut dengan filosofi beraliran sufi. Yang suka puisi bolehlah baca Isyarat. Sekian