[Resensi Novel] Impian Pamanku karya Dostoevsky

Selasa, Januari 31, 2017 0 Comments A+ a-

Resensi Novel Impian Pamanku karya Dostoevsky
"Karnaval Psikologi Sosial"




Judul               : Impian Pamanku
Penulis             : Fyodor Dostoevsky
Penerjemah      : Sigit Djatmiko dan  Pitoresmi Pujiningsih
Penyunting      : Adhe
Desain isi dan sampul : @timoergurita
Penerbit           : Octopus Publishing House
Cetakan           : Pertama, 2016
Tebal               : 284 hlm.

Mikhail Bakhtin mendiktum Dostoevsky menciptakan sebuah genre sastra baru: novel polifonik. Tahun 1963, Bakhtin menerbitkan buku penelitiannya tentang karya-karya Dostoevsky: “Problems of Dostoevsky’s Poetics”. Di buku itulah kemudian dikenal istilah poliglosia atau polivalen atau polifonik.

Genre ini tidak berhubungan dengan tema, bentuk, maupun isi novel. Genre polifonik bukan semata-mata kategori untuk membedakan jenis-jenis sastra seperti tragedi, komedi, lirik, atau novel. Polifonik bagi Bakhtin lebih kepada cara mengonsepsikan realitas yang memberikan kebebasan kepada watak-watak individu. Pada novel polifonik, ‘suara’ tokoh tidak berada di bawah wibawa pengarang. Mereka justru mampu memberontak pengarang dengan pluralitas suara dan kesadaran yang bebas.

Dostoevsky dikenal ahli menyelami relung batin manusia. Tampak dalam Impian Pamanku, Dostoevsky memunculkan tokoh yang kentara pergulatan psikologisnya. Relung batin manusia, oleh Dostoevsky, tidak digetarkan menjadi suara yang tunggal atau monokromatis, tetapi suara yang polifonik, yang plural.

Novel Impian Pamanku bukan magnum opus Dostoevsky. Impian Pamanku tidak setenar” Crime and Punishment”, “The Brothers Karamazov”, atau novel yang dianggap sebagai novel eksistensialis pertama: “Notes from Underground.” Namun novel ini layak dibaca bagi pembaca yang menyukai “pertunjukan indah”.

Pertunjukan indah pada sebuah teks novel biasanya dipicu oleh kepiawaian pengarang dalam “menyutradarai” cerita, menetapkan karakter membagi-bagi peran tokoh, serta jatah konflik. Dostoevsky tidak demikian, ia menciptakan karnaval, semacam iring-iringan psikologis masyarakat. Dostoevsky menuliskan novel Impian Pamanku sebagai potret masyarakat St. Peterburg masa itu.

Marya Moskaleva, wanita terpandang di Mordasov, adalah perempuan yang dominan, tangguh dan ambisius. Suatu ketika, demi memperoleh status sosial,  ia berencana menikahkan anaknya, Zena, dengan Count K yang kaya, tetapi sudah uzur. Sebenarnya, Zena sudah punya kekasih. Tetapi gegara hubungan mereka tidak direstui Marya, kedua pasangan ini berhubungan melalui surat. Hubungan gelap via berkirim surat ini suatu ketika menjadi gosip yang menyebar di Murdasov, sehingga mengancam nama baik Marya. Namun dengan kelihaiannya, gosip itu lenyap, seperti ditelan angin. Marya lantas memisahkan Zena dengan kekasihnya. Sang Kekasih pun jatuh sakit karena mendapati cintanya kandas.

Marya yang ambisius  dan dominan juga mengusir Afansy Matveich, ayah Zena, suami Marya sendiri. Afanasy Matveich diasingkan ke kebun, berjarak dua mil dari rumahnya. Afanasy Matveich ditugaskan Marya mengontrol budak pekerja kebunnya.

Marya ahli bersiasat. Culas. Ia mengarang cerita bahwa Count K telah meminang putrinya, Zena, menjadi istri Count. Marya lalu membujuk-rayu Count K dengan alasan yang terdengar logis.

Sebelumnya, Zena sudah dilamar oleh Mozglyakov, pria yang tergila-gila kepada Zena. Ia ingin menikahi Zena. Namun Zena belum menerima lamaran tersebut. Ia butuh waktu memikirkan itu semua.

Impian Pamanku adalah karnival psikologis tokoh. Tokoh sebagai subjek dengan mulut sendiri, bukan corong ide Dostoevsky. Mereka tidak berdiri di belakang Dostoevsky. Tetapi sejajar, di samping Dostoevsky. Tokoh lantas hadir tanpa panggung, tanpa pembagian peran sebagai pemain atau penonton. Setiap subjek bergabung sebagai peserta aktif. Seperti karnaval. Karenanya, pengarang atau pembaca tidak pula dapat mengobjektifikasi berbagai peristiwa, tetapi justru menjadi peserta dialog sehingga oposisi dialogis tidak mengenal akhir.

“Knowledge is Power”, kutipan Francis Bacon yang terkenal ini rasanya relevan dengan konidisi masyarakat Mordasov, bahkan masyarakat kita kini. Jika di Mordasov pengetahuan menyamar dalam bentuk gosip, maka di masyarakat kita itulah informasi. Marya yang menguasai gosip mempunyai kuasa yang kuat di Mordasov. Masyarakat Mordasov kadung suka dan terlibat dalam dunia gosip. Dewasa kini juga, sepertinya gosip yang diidentikkan dengan informasi ini masih digandrungi masyarakat. Lihat betapa menjamurnya jenis acara TV berisi gosip. Terjadi banjir informasi, apalagi di dunia maya. Informasi direproduksi terus menerus tanpa henti. Hal ini menyebabkan manusia kehilangan kedalaman dalam proses menghayati kehidupannya.

Sekilas, Impian Pamanku mirip dengan sinetron di saluran tivi kita. Tentu bukan soal dangkal dan miskin mutunya. Kesamaan novel ini dengan sinetron kejar tayang tersebut adalah soal tema yang diangkat. Tema-tema keculasan manusia untuk mendapatkan status sosial, perebutan laki-laki atau perempuan. Adapula para pemancing di air keruh, seperti tokoh yang memeras Marya begitu mendapatkan bocoran surat cinta Zena dengan kekasihnya. Karnaval ini juga memperlihatkan masyarakat yang kehilangan jatidiri, sehingga  terjadi perebutan status sosial.

Isu Zena mengingatkan kita kepada Siti Nurbaya. Pernikahan paksa. Perempuan tidak punya kuasa untuk menentukan pilihannya. Zena dijodohkan Marya dengan Count K, dengan harapan Zena akan mendapat status sosial yang lebih tinggi. Count K lelaki tua yang lemah, tua dan pikun.

Novel ini komikal, sehingga membacanya menjadi lebih nyaman dan tidak membosankan. Pembaca akan diseret sampai akhir oleh karakter-karakter novel yang beragam. Pergulatan kisah cinta serta perkembangan psikologis tokoh-tokoh novel ini menarik untuk diikuti. Setiap tokoh dikuliti kondisi psikologisnya. Tokoh-tokohnya diterpa tragedi sekaligus juga komedi-komedi.

Membaca novel ini serasa menelanjangi batin manusia. Sosok Marya yang dominan, tangguh, banyak bicara, culas dan ambisius memiliki sisi lain yang tidak bisa dilihat sebagai hitam putih semata. Zena dikorbankan demi ambisi ibunya. Tetapi bukan hanya Zena saja, tetapi juga Afanasy, suaminya, Vasya, kekasih Zena dan Mozglyakov pengagum Zena, bahkan Marya mengorbankan dirinya sendiri.

Lantas kerapuhan lelaki dihadapan cinta dengan kuat ditampilkan Dostoevsky di tokoh Vasya: pacar Zena, Afanasy Matveich: ayah Zena, dan Pavel Alexandrovich Mozglyakov.

Kisah cinta yang diceritakan Dostoyevsky ini ibarat bola kaki yang bergulir ke sana ke mari sebelum akhirnya tercipta gol dan peluit berbunyi. Kisah cinta menjadi layak untuk diperjuangkan namun tidak juga dengan melakukan tindakan-tindakan culas, yang berbuah makin rumitnya kisah itu. Justru perjuangan yang putih, menerima takdir apapun di depan, semacam konsekunsi atas segala pilihan dalam mem-perjuangkannya.