[Resensi Buku] Membeli Batang Pancing Untuk Kakekku

Selasa, Januari 31, 2017 0 Comments A+ a-

Resensi Buku Membeli Batang Pancing Untuk Kakekku
“Narasi Fiksi Gao Xingjian”


Judul               : Membeli Batang Pancing untuk Kakekku
Penulis             : Gao Xingjian
Penerjemah      : An Ismanto
Penyunting      : Tia Setiadi
Penerbit           : BASABASI
Cetakan           : I, November 2016
Tebal               : 148 hlm.

“Sastra tidak peduli dengan politik, tapi murni persoalan yang individual. Ia adalah kegembiraan intelek yang berpadu dengan observasi, tinjauan terhadap apa yang sudah dialami, kenangan dan perasaan, atau kilasan keadaan pikiran. Sastra melangkaui ideologi, batas-batas nasional, dan kesadaran rasial. Sastra Tiongkok pada abad XX berulangkali diletihkan dan hampir-hampir tercekik dikarenakan politik mendikte sastra: baik revolusi  dalam sastra maupun sastra revolusioner keduanya menjatuhkan hukuman mati kepada sastra yang individual. Serangan terhadap budaya tradisional Tiongkok atas nama revolusi berakhir dengan  pembakaran buku.”

“Membumihanguskan sastra adalah retorika Revolusi Kebudayaan. Sastra tak mati dan penulis tak binasa. Setiap penulis memiliki tempatnya sendiri di rak buku dan dia hidup sepanjang mempunyai pembaca.”

Dua paragraf di atas dikutip dari pidato Gao Xingjian kala dianugerahi hadiah Nobel Sastra tahun 2000. Dari sini kita bisa melihat pandangan Gao dalam menulis. Ia adalah individualis yang bergulat dengan kerja menulis, tanpa harus mengekor kepada motif ideologis ataupun politis.

Kepenulisan Gao Xingjian adalah usaha meninggalkan fiksi tradisional dengan memburu praktik bahasa naratif.  Gao mencoba meninggalkan bahasa naratif  maha tahu dari narator spesifik. Dengan demikian, posisi cerita dan plot menjadi kurang penting, akan tetapi justru cara narator membawakan cerita menjadi fokus yang baru.

Dalam Eseinya “Seni Fiksi”, Gao menemukan fenomena menarik bahwa bahasa apapun di dunia ini mempunyai tiga kata ganti orang dasar, yaitu aku, kau, dan ia. Tidak ada pilihan lain. Ketiga kata ganti orang ini memang memiliki bentuk jamak kami/kita, kalian, mereka. Namun, ini adalah sebuah kata-kata publik atau sebuah bentuk ujaran politik dalam sebuah kolektif, dan penulis fiksi tidak menjalankan peran jubir publik.

Dalam fiksi harus ada sebuah pilihan diantara ketiga kata ganti tersebut, bahkan jika narasi itu dari sudut pandang seorang tokoh spesifik. Sebab mustahil bagi individu dan kata umum tak spesifik melakukan narasi. Itulah keterbasan dalam narasi fiksi.

Evolusi fiksi dari pengisahan cerita kemudian bergeser ke penciptaan tokoh dan karakter. Pergeseran dari variasi plot ke potret tokoh yang menjadikan plot sebagai hal sekunder dan penciptaan tokoh dengan karakter kuat berhasil mereproduksi keberagaman manusia yang  penuh semangat. Sehingga plot melemah untuk memberikan jalan bagi pelukisan lingkungan dan konteks kehidupan. Seperti dalam Dostoevsky, kepribadian tokoh makin kompleks, skizofrenik dan depresif. Atau dalam Madame Bovary, Gustave Flaubert, dunia batin tokoh yang kontradiktif tecermin dari banyak sudut. Namun karena masih belum memisahkan diri dari plot, karya-karya ini tetap fiksi tradisional : hanya ada pergeseran tekanan dari plot ke penciptaan dan potret para tokoh.

Gaya minimalis Gao Xingjian terpengaruh oleh nouveau roman Prancis tahun 1950-an. Angkatan ini menulis fiksi posmodern. Mereka mengubah fiksi menjadi diskusi intelektual dengan mendekonstruksi narator dan memutar balik cerita, plot serta tokoh. Fiksi diracik menjadi sebuah suguhan teks tentang konsep-konsep dan permainan intelektual. Dasawarsa 1950-an, salah satu penulis nouveau roman Prancis, Michael Butor, menulis novel dengan kata ganti orang kedua: kau. Kau dapat merupakan protagonis atau pembaca.

Searoma dengan itu, Gao mengakui dalam cerpen “Membeli Batang Pancing untuk Kakekku”, narator orang pertama: aku, tenggelam dari masa kini ke dalam ingatan, yang membangkitkan semua bentuk asosiasi yang tak bisa dibedakan dari mimpi dan merangsang pikiran batin (inner mind) untuk berbicara dalam mimpi. Aku menjadi dua, yang membuat kau menjadi ada; maka kau dan aku dapat terlibat dalam dialog. Semua ini terjadi dalam aliran narasi.

Di awal karir kepenulisannya, penerbit mengatakan bahwa karya Gao tidak akan dapat dimengerti oleh siapapun, kata-kata itulah yang kemudian memicu Gao untuk menelisik lebih dalam tentang alam novel dan fiksi.

Novelnya Gunung Jiwa, pemenang hadiah nobel, sebagian terinspirasi dari diagnosis kanker paru-paru yang dideritanya tahun 1983 serentak dengan dia diancam dan ditangkap karena tulisannya yang dianggap kontra revolusi. Sebagai reaksi, Gao meninggalkan Beijing dan memulai pengembaraan selama 10 bulan ke Provinsi Sichuan, melacak jejak sungai Yangtze dari sumber hingga ke muaranya. Meskipun pengecekan selanjutnya membuktikan dia tidak menderita kanker, kepastian tentang dekatnya kematiannya dan komitmennya kepada ide individualitas terekam pada novel Gunung Jiwa.

Gao meninggalkan China pada tahun 1986. Setelah pembantaian Tianamen 1989, Gao mengundurkan diri dari Partai Komunis China yang terlibat dalam tragedi itu. Gao memilih exile ke Perancis.

Selain sebagai penulis, Gao juga dikenal sebagai dramawan. Ia dramawan yang banyak terpengaruh oleh Samuel Beckett. Gao bahkan adalah pionir drama absurd di China.

Dalam dunia penulisan Gao terinspirasi dari Joyce, Proust, dan Faulkner. Pencariannya terhadap bahasa naratif yang sastra sebagai suara individu total dan murni menjadikan ia diganjar nobel tahun 2000. Ia merupakan orang China pertama yang menerima hadiah nobel sastra.

Pada Cerpen “Kuil”, Gao menghadirkan ingatan tokoh tentang bulan madu yang indah. Dibayangi dengan kebahagiaan serta beberapa kegagalan. Di “Kram”, seorang perenang terserang keram hampir tenggelam. Ia lantas berenang melawan pasang laut untuk kembali ke daratan. Buru-buru ia kembali ke hotelnya untuk menceritakan bahwa ia baru saja lolos dari maut. Menemukan tak ada seorang yang tertarik, dia kembali ke pantai, tempat dia mengamati tiga pengunjung lain, dua lelaki dan seorang wanita. Manakala lelaki berlari menuju pantai, sang gadis tetap pada pasir, bertopang pada kruknya. Dengan plot yang minim, Gao konsentrasi menampilkan kontras emosi, perenang yang gegabah, dan gadis cacat yang kesepian

Cerpen “Kecelakaan” menyajikan detail kecelakaan sepeda dengan sebuah bus. Sang Ayah dengan anak kecil membonceng sepedanya di jalanan yang ramai. Bertabrakan dengan bus, lalu reaksi kerumunan pasca itu. Gao mengekalkan momen waktu yang terjadi sangat cepat dalam narasi fiksi. Perasaan dan ketegangan para saksi mata dalam sekejap ruang waktu diperas ke dalam cerita. Gao tidak berhenti di sana, ia lantas melebarkan kemungkinannya: hidup sebagai bahan baku penciptaan karya seni yang indah.

Judul “Membeli Batang Pancing untuk Kakekku” dibingkai dengan rasa ingin tahu sebagai perjalan nostalgia delusi. Gao menjungkir-balikkan waktu dan tempat, jukstaposisi, surealisme dan aliran kesadaran, fragmen suara naratif yang bercakap dengan dirinya sendiri.

Cerpen “Seketika” adalah kisah surealis seseorang yang mandi sinar matahari diseret lamunanannya ke banjir pasang dan sayap burung camar, permainan jalanan anak kecil dan perselingkuhan senja hari. “Seketika” menjadi eksperimen tentang keserentakan yang berjalan sebagai modernitas dengan potongan narasi dan lompatan, citra yang aneh, dan badut absurd Beckett. Pada bab terakhir buku tertera esei Gao tentang fiksi, semacam kredo penulisan cerpen-cerpennya.

Cerpen-cerpen Gao Xingjian adalah lukisan impresionistis. Ingatan, mimpi, dan pencerapan inderawi diramu sedemikian rupa dengan pencitraan yang sangat peka dan sudut pandang yang berganti ganti untuk menyiasati kilasan-kilasan.
(Pernah dimuat di basabasi.co 4 Februari 2017)