[Resensi Buku] Geography of Faith

Selasa, Januari 31, 2017 0 Comments A+ a-

Resensi Buku Geography of Faith

Judul               : The Geography of Faith: Pencarian Tuhan di Tempat-tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai Yerusalem
Penulis             : Eric Weiner
Penerjemah      : Lulu Fitri Rahman
Penyunting      : Zahra Hanifa
Penerbit           : Penerbit Qanita
Cetakan           : I, September 2016
Tebal               : 500 hlm

“Jika kau menginginkan kebahagiaan maka percayalah. Jika kau menginginkan kebenaran maka carilah”—Friedrich Nietzsche—

Ada sentilan, yang berupa kritik, kepada kaum yang berhibuk ibadah ritual: “Sibuk bertuhan lupa beragama”. Sentilan ini tampaknya memisahkan antara bertuhan dan beragama. Seolah “bertuhan” adalah “relasi vertikal”(manusia dengan Tuhan) yang kaku dan terpisah sedangkan “beragama” sebagai relasi horizontal (manusia dengan makhluk Tuhan lain) yang ajek dan otonom.

Sentilan ini muncul dari fenomena manusia yang taat beribadah namun tidak saleh sosial. Contohnya adalah sosok Haji Soleh dalam cerpen A.A. Navis: Robohnya Surau Kami. Haji Soleh hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri dan lupa kewajibannya kepada orang-orang sekitar. Akhirnya, ia dimasukkan Tuhan ke neraka.

Eric, penulis buku ini semestinya paham dengan ungkapan bahwa di rumah sakit dokter bertarung dengan malaikat dalam memperebutkan nyawa seorang pasien (tentu dokter dibantu dengan rekan-rekannya perawat). Namun Eric tetap alergi terhadap rumah sakit.  Bahkan meskipun ia lahir dari keluarga dokter (ayahnya seorang dokter). Tapi siapa sangka dari ruang UGD-lah Eric mendapat ide yang mengilhami penulisan buku ini. Saat memeriksakan kesehatannya, seorang suster berujar kepada Eric, “Sudahkah kau menemukan Tuhanmu?”. Sebuah pertanyaan spesifik yang personal. Tidak berbunyi seperti ini : Sudahkah kau menemukan Tuhan? Ada kata ganti kepemilikan –mu, Tuhan khusus Eric. Ia mulai memikirkan pertanyaan ini.

Walhasil pertanyaan ini membuat Eric mengunjungi Kathmandu (Nepal), China, Istanbul, sampai Yerussalem. Catatan dari perjalan tersebut lantas ia kumpulkan menjadi buku setebal 500 halaman ini. Sebuah memoar pengembaraan spiritualitas. Pengembaraan dalam artian benar-benar berpindah tempat secara geografis dan aliran kepercayaan.

Buku ini lebih kepada catatan perjalanan yang subjektif ketimbang kajian akademis tentang agama atau buku yang membahas metafisika atau teologi agama-agama. Kita mengenal buku-buku tentang agama seperti The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature tahun 1902 karya William James, Religion in the Making tahun 1926 karya A.N Whitehead. Akan tetapi kedua buku tersebut merupakan kajian studi agama dan manusia serta dilakukan dari dalam kamar dan perpustakaan. Sementara itu, buku Eric ini adalah jenis buku traveller dengan sentuhan spiritualitas.

Manusia Modern yang Rindu Tuhan

Di tengah arus kehidupan modern, saat teknologi dan sains berkembang sangat cepat, manusia kembali merindukan Tuhan. Manusia mulai menyadari kehadiran lubang kosong pada dirinya. Ketersadaran tersebut menimbulkan upaya-upaya manusia untuk mengisi lubang itu dengan sesuatu yang transendental, dengan sesuatu yang tak tergapai: Tuhan.  Abad Modern ini juga menggempur iman lama yang sedang ongkang-ongkang kaki. Iman jenis ini dirasa menakutkan. Iman yang kaku mesti dilenturkan dengan dogma yang rasional dan dialektis. Artinya iman bukan sebuah paket yang final dan keras. Iman yang dibutuhkan adalah yang fleksibel dan mengenal dialektika dengan rasio manusia.

Tambah lagi fenomena kaum radikal yang membingungkan: beragama tetapi menimbulkan kekacauan. Agama yang secara etimologi berasal dari kata a dan gama yang berarti tidak kacau justru menjadi sebaliknya. Dengan demikan agama gagal memenuhi esensinya. Lantas fenomena kegelisahan ini oleh Eric dicoba selesaikan dengan perjalanan. Perjalanan menemukan dan memenuhi kerinduannya kepada Tuhan.

Perjalanan Eric dimulai dengan mengenal Sufisme. Eric memilih sufisme ketimbang Islam secara keseluruhan karena Eric ingin menyelami yang partikular. Sufisme sendiri adalah pusat mistik Islam dengan orang-orang yang mengalami ekstase spiritual. Eric mengikuti kamp Sufi di California. Melihat jejak Hazrat Inayat Khan, musisi India yang membawa sufisme ke Amerika tahun 1910. Karena tidak puas, Eric lantas berangkat ke Istanbul (Turki) negeri tempat Rumi menyebarkan sufisme bersama murid-muridnya.

Selepas Sufisme, Eric bertolak ke Kathmandu, Nepal. Bermeditasi bersama kaum Buddhis. Kemudian ke Bronx Selatan, Amerika, beribadah bersama Fransiskan. Lantas ke Vegas berkenalan dengan Raelisme, agama berbasis UFO yang terbesar (sebab masih banyak agama dengan basis UFO). Raelisme adalah agama yang percaya bahwa manusia diciptakan oleh makhluk angkasa luar yang disebut Elohim. Kemudian bersentuhan dengan Taoisme di gunung Wu Dang, China, mengikuti ritual agama penyihir Wicca di Amerika, menyadari kekhusyukan ritual menjadi hewan bersama Syamanisme dan mengikuti ritual Kabbalah, di Israel, yang menjadi keyakinan turun temurunnya.

Tuhan dan Agama

Kebenaran religius berkecambah dari pengetahuan yang kita peroleh tatkala operasi-operasi inderawi dan intelektual kita yang biasa-biasa saja ini berada pada puncak kepekaannya (Alfred North: Whitehead dalam Religion in the Making). Dalam bahasa lainnya: Hidayah hanya dapat diperoleh atas izin Allah (Islam) atau pencerahan hanya bisa diperoleh dari usaha sendiri (Zen) atau Pintu hati hanya dapat dibuka dari dalam (Buddhism). Keadaan emosi tertentu ini berhubungan juga dengan kondisi fisik atau biologis manusia untuk berfokus memahami topik religius.

Bagi peneliti agama William James dan Friedrich Scheilmacher agama memberi penekanan kuat pada segi perasaan dari pengalaman religius. Sementara Emile Durkheim dan Max Weber mendeskripsikan agama lewat kata kunci ritus, institusi, dan kesaksian iman.

Sementara itu, Tuhan ialah fungsi dalam dunia yang membuat kehendak-kehendak kita terarah. Bahkan lebih ringkas, Rainer Maria Rilke, penyair besar dari Jerman mengungkapkan Tuhan adalah arah. Kita terarah kepada tujuan yang kita sadari sebagai tujuan yang tidak berpihak (imparsial) pada kepentingan kita sendiri. Tuhan ialah elemen dalam kehidupan yang memungkinkan proporsi atau putusan tak hanya menjangkau fakta eksistensial, tetapi lebih jauh  lagi menjangkau nilai eksistensi. Artinya, Tuhan ialah elemen yang memungkinkan kita mengupayakan tidak hanya apa yang bernilai bagi diri sendiri, tetapi juga hal-hal yang bernilai bagi orang lain. Tuhan juga anasir yang memungkinkan apa yang bernilai bagi orang lain menjadi sekaligus apa yang bernilai bagi diri kita sendiri.

Penerjemahan buku ini penting untuk diapresiasi. Buku-buku perjalanan spiritual jarang dan hampir tidak tersedia di Indonesia (disamping berseri-seri Naked Traveller). Buku ini terbit dalam bahasa Inggris tahun 2011. Meskipun sudah lima tahun berselang buku ini tetap relevan dibaca. Jeda tersebut bukan alasan untuk tidak membacanya. Keterlambatan pengalih-bahasaan itu terbayar dengan hasil terjemahan yang apik, luwes, dan asik dibaca. Bahasa komunikatif dan gaya tutur Eric membuat buku ini tidak kaku tetapi justru fleksibel layaknya diari. Pembaca akan dibuat ketagihan. Kover yang cantik, imut dan kekinian (lukisan jalan raya dengan atribut-atribut simbol agama di tepi jalannya dan warna-warna pastel) membuat buku ini tambah menarik.

Rasanya, dengan situasi beragama yang diramaikan oleh konflik-konflik yang melibatkan ormas agama di Indonesia, rasanya kita perlu membaca buku ini. Buku yang menuliskan ulang perjalanan anak manusia menemukan faith, menemukan iman, tanpa harus bertengkar-tempur. Sebab menurut Eric agama yang baik mestinya membuat derajat manusia lebih tinggi.

“Bagi orang yang tidak percaya, sebanyak apapun bukti, akan tetap tidak percaya. Bagi orang yang percaya, tidak perlu bukti.”—Santo Agustinus—