[Resensi Buku] Antologi Puisi Tepi Waktu Tepi Salju Soni Farid Maulana

Kamis, Oktober 22, 2015 0 Comments A+ a-

Resensi Buku Antologi Puisi Tepi Waktu Tepi Salju

Judul                  : Tepi Waktu Tepis Salju
Penulis                : Soni Farid Maulana
Penerbit              : Kelir
Cetakan               : I, Februari 2004
Tebal                   : x+100 hlm
Harga                  : Rp

Tepi waktu tepi salju merupakan variasi tema antologi puisi cinta, kesepian, kesunyian, dan juga persoalan sosial-politik yang diseleksi dan dihimpun dari sejumlah antologi puisi Soni yang telah terbit selama ini.

Soni Farid Maulana lahir di Tasikmalaya pada 19 Februari 1962 dari pasangan R. Sarah Solihati dan Yuyu Sulaeman. Setamatnya SMA Pancasila-Tasikmalaya (1982) melanjutkan kuliah di Jurusan Teater ASTI (STSI) Bandung.

Sejumlah puisi yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia telah membawanya pergi ke beberapa negara di Asia Tenggara dan Eropa. Antara lain diundang mengikuti South East Asian Writers Conference di Quezon City Filipina, dan Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda (1999). Yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi di KBRI di Paris, Perancis. Selain itu pada tahun 2002 mengikuti pula forum puisi Internasional Indonesia di Bandung, yang diprakarsai oleh Rendra.


Sajak-sajaknya yang ditulis dalam bahasa Indonesia untuk pertama kalinya dipublikasikan di “Lembaran Pertemuan Kecil” asuhan penyair Saini KM di Harian Pikiran Rakyat. Setelah itu kemudian tersebar di  majalah Sastra Horison, Cak, Republika, Media Indonesia, Kompas, Jurnal Puisi, Koran Tempo, dll. Puisi-puisinya sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Berthold Damshausser ke bahasa Jerman, A Teeuw dan Linda Voute ke Bahasa Belanda dan Ian Campbell dan Harry Aveling ke Bahasa Inggris.

Adapun kumpulan puisinya yang telah terbit adalah : Selepas Kata (Pustaka Latifah, 2004); Variasi Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004).
Pada buku tepi waktu tepi salju ini dipilih puisi 1983-2004. Testimoni dari Rendra dan Dr. Bambang Sugiharto dan Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri turut menyertai antologi ini.

Rendra
Pendalaman Soni terhadap pengalaman pribadinya sendiri, membuat sajak-sajaknya menarik untuk direnungkan. Sejumlah karyanya menunjukkan penguasaan metafora dan plastisitas bahasa, serta temanya menunjukkan kesetiaan dan kesadaran akan kehidupan. Sajak-sajak yang ditulisnya pun terus berkembang, menunjukkan kemajuan.

Dr. Bambang Sugiharto
Pilihan diksi Soni memang tidak aneh-aneh, bahkan biasa saja. Namun cara ia memadukan dalam sebuah kalimat-kendati struktur dan sintaksisnya biasa saja-seringkali membawa efek imajinatif dan konseptual yang tidak biasa, bahkan sering mengejutkan. Saya kira itulah kekuatan Soni : kesahajaan yang menggigit, mengejutkan, dan kelembutan yang menyingkap bahkan membongkar.

Berikut ini puisi yang saya sukai diantara beberapa yang dimuat dalam antologi Tepi Waktu Tepi Salju

Angin Kaliurang

aku terpejam dalam pelukan malammu
biar dalam biar likat kau gali sumur rindu
dalam gelap aku mengenal sinar matamu
lebih menggetarkan dari bulan diatas kuburan *)

angin yang turun dari tetangkai cemara
mendesir, memainkan helai demi helai rambutmu
arsiran tanganmu yang hangat dan lembut
mendenyutkan alir darahku yang nyaris beku

di kulkas kesepian. Kau tahu, setiap kecup
bibir mawarmu di tiap lekuk tubuhku mengisah
puncak tercapai : merekah gairah semekar mawar

di arus nafasku  : bikin ajal cemburu menatapmu
malam di sini mengurai makna
taman kau dan aku dalam hakikat cinta
1996

*)dalam puisinya Malam Lebaran penyair Sitor Situmorang menulis larik bulan di atas kuburan

Sonet ini, mungkin terlalu berlebihan, tetapi harus jujur mengingatkanku kepada Sapardi, Acep Zamzam, Joko Pinurbo dan Rendra. Angin yang turun memainkan helai rambut adalah cita rasa yang selezat Acep Zamzam. Arsiran tanganmu yang hangat dan lembut potongan metafora yang sedahsyat Sapardi. Dalam gelap aku mengenal sinar matamu lebih menggetarkan serasa sedalam Sapardi dan Rendra. Puisi ini menggunakan komposisi yang pas menurutku. Baik rima dalam dan rima luar tertata rapi. Di kulkas kesepian, aku langsung teringat kepada Joko Pinurbo. Memang Soni Farid Maulana boleh dikata adalah penyair yang sedang berkembang. Ia mulai menemukan dirinya sendiri. Dengan tidak berlebihan dan lebay dia memuisikan angin kaliurang dengan indah dan bertaut logis larik demi larik. Dan saat ia menggunakan bulan di atas kuburan, tidak malu-malu Soni menambahkan catatan-catatan pada puisinya.


Surat
bersurat-suratan dengan angin
dengan kediaman batu-batu yang sunyi. Beribu kamus
tak menulis apa makna kehadiran kita ?
ada atau pun meniada
tetap saja rahasia. Kekal. Membenam kita dalam tanya
1983

Dalam puisi surat. Apa artinya bersurat-suratan dengan angin dengan kediaman batu-batu yang sunyi. Beribu kamus tak menulis apa makna kehadiran kita ? ada atau pun meniada tetap saja rahasia. Kekal. Membenam kita dalam tanya. Apakah ini ejawantahan kesepian yang begitu padat? Tentang seorang kekasih yang mencari makna dan arti keberduaan yang senantiasa rahasia dan selalu menimbulkan tanya. Dengan kembali bersuratan dengan angin di kediaman batu-batu yang sunyi, Soni bertanya.

Tepi Waktu Tepi Salju
sesenyap batu
di dasar kali yang beku

maut membayang
di hatiku. “ Hangatkan

tubuhmu dengan segentong
anggur,” katanya, sebelum

jam kehilangan bunyi
di tepi waktu, di
tepi salju              
1999

Puisi ini menjadi judul antologi. Ini semacam kontemplasi mendalam atas diri. Atas kematian yang sebelumnya kita wajib hidup. Mungkin mati adalah bekunya eksistensi. (disinggung dengan adanya salju). Akan tetapi sebelum itu hangatkan dirimu. Teruskan proyeksi diri dengan menjadi cair, cairkan eksistensi dengan hangat dari segentong anggur. Yang memabukkan dan menghangatkan. Sebelum jam kehilangan bunyi karena eksistensinya beku.

Antologi puisi Soni Farid Maulana ini menjadi pilihan bacaan puisi-puisi cinta, kesepian, kerinduan dan kesunyian. Selamat merasa !