[Resensi Buku] Enigma Wajah Orang Lain (2015)

Selasa, September 08, 2015 0 Comments A+ a-

Resensi Buku Enigma Wajah Orang Lain
Eksistensialisme Religius
Judul                  : Enigma Wajah Orang Lain(Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas)
Penulis               : Thomas Hidya Tjaya
Penerbit             : KPG
Cetakan              : I, Februari 2015
Tebal                  :vi+172hlm;13 cmx19 cm
Harga                 : Pinjaman Dari Syaikh Fauzan Al Anwari

Romo Magnis mengatakan bahwa Levinas berusaha berfilsafat dengan kosakata yang belum digunakan manusia, ia berfilsafat tentang sesuatu yang sesungguhnya tak dapat dikatakan atau dituliskan. Alhasil, Levinas berputar-putar menggunakan terminus yang sesungguhnya tak memadai melainkan sekadar “mendekati”. Namun tukas Romo Magnis, bila kita tekun mengikuti alur pemikirannya, kita akan segera mengetahui maksud Levinas.(Wahyu Budi Nugroho) http://kolomsosiologi.blogspot.co.id/2014/05/mengeja-eksistensialisme-emmanuel.html)

Dalam buku Enigma Wajah Orang Lain Levinas menjelaskan tentang kesadaran dan wajah. Beberapa tema dalam buku ini berkaitan dengan relasi subjek objek. Seperti contoh yang dikemukakan oleh Levianas bahwa manusia mengungkapkan dirinya berbeda pada saat ada wajah orang lain atau tidak ada wajah orang lain. Wajah yang dimaksud disini bukanlah wajah muka yang terdiri mata pipi hidung mata dan kening. Atau permukaan kepala bagian depan. Akan tetapi wajah adalah kehadiran kesadaran orang lain. Manusia akan merasa perlu menampakkan dirinya yang berbeda bila ada wajah orang lain. Misalnya manusia bila sendiri dalam kamarnya ia bisa saja menari tidak karuan, telanjang dan berekspresi semaunya. Namun bila ada kesadaran yang hadir disana selain dia, maka dia akan menampakkan sesuatu yang berbeda. Yang bisa jadi merupakan kehendak dari yang lain itu. Dia akan berusaha menampakkan atau mewujudkannya.


Penggalan novel All Quiet menjelaskan itu semua. Pada saat seorang tentara yang dalam “kepala”nya bila nanti ada musuh yang berlari atau meloncat ke lobang persembunyiannya, ia akan langsung menusuk musuhnya sampai mati. Agar ia tidak ketahuan dan menyelamatkan dirinya. Apapun yang terjadi. Jadi kesadaran yang ia tahu tentang wajah musuhnya mesti dia bunuh. Akan tetapi ketika si musuh benar-benar melompat kesana dengan luka dimana-mana. Darah mengucur, wajah yang lainlah yang hadir kepada si tentara kita tadi, dia tidak jadi membunuh. Dia malahan merasa iba. Kehadiran orang lain itu menjadikan kesadarannya untuk membantu orang itu. Kehadiran orang itu dengan kondisi realitasnya menimbulkan kasihan sehingga si tentara membantunya. Dia merawat luka dan membalutnya.

Mirip dengan Hell is Others-nya Sartre, eksistensialisme Levinas ini menganggap kesadaran lain membuat diri menampakkan sesuatu yang lain pula. Akan tetapi Levinas tidak menafikan bahwa orang lain adalah sebab kejatuhan dirinya.

Levinas juga mengatakan bahwa Wajah Manusia Sebagai Jejak tak Terbatas. Inilah yang membedakan humanimenya dengan humanisme ateis Sartre. Sartre bilang Tuhan tidak ada , jadi manusia bebas mutlak. Ia bebas memilih dan bertindak ketika berhadapan dengan dunia. Sementara Humanisme Levinas adalah Humanisme religius. Wajah manusia sebagai jejak yang tak terbatas. Manusia bertanggung jawab terhadap orang lain. Bukan karena rasa simpatik yang tiba-tiba akan tetapi memang karena objektifikasi manusia yang memang bertanggung jawab kepada orang lain (others). Inilah hakikat humanisme Levinas. (beberapa ahli juga bilang bahwa Levinas ini termasuk Eksistensialisme religius).

Ketika manusia tega saling membunuh demi ideologi dan ajaran tertentu, Levinas berkomentar bahwa manusia itu sudah kehilangan wajahnya.

Emanuel Levinas juga bicara masalah etika. Etika pertama-tama bukan menyangkut teori  mengenai baik buruknya tindakan tertentu. Bukan juga boleh dan tidaknya hal yang dilakukan oleh manusia. Etika merupakan relasi yang lahir dari pertemuan konkret dengan orang lain yang memiliki wajah. Ethichal yang Levinas maksud adalah ethics of stranger. Yaitu etika yang membuat kita bersedia dipertanyakan, diusik, diganggu oleh orang-orang yang tidak kita kenal, dan bahkan bersedia untuk bertanggung jawab terhadap mereka. Kalau etika yang didengungkan ternyata hanya untuk mengabdi kelompok yang telah kita kenal dengan baik dan kepentingan tertentu pula, itu hanyalah etika semu belaka. Orientasi semacam ini juga merupakan transendensi semu, karena pada akhirnya kita sesungguhnya hanya mencari dan mengabdi kepentingan diri kita sendiri. Itulah tanda bahwa kita telah dikelabui moralitas.

-Kekejaman NAZI terhadap orang Yahudi. Korban sekitar 6 juta orang

-Pembantaian 2 juta orang di Kamboja oleh rezim Khmer Merah 1975-1979

-Kejahatan Genosida di Rwanda 1994. Pembantaian 800ribu suku Tutsi oleh pihak Hutu

-Tragedi G30S /PKI 1965 diperkirakan jumlah korban 2 juta orang

-Tragedi Tanjung Priok 1984

-Tragedi Mei 1998

Bagi yang mengamati dari luar, efeknya mungkin tidak terlalu tragis. Namun bagi keluarga atau orang-orangyang mengenal korban secara dekat, peristiwa-peristiwa jenis ini ibarat mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.

Bagi Emmanuel Levinas (1906-1995) filsuf Perancis yang kehilangan hampir semua anggota keluarganya di tangan NAZI, ingatan tentang Holocaust dan Shoah bagai tumor tak tersembuhkan. Waktu boleh berlalu, namun ingatan akan hal itu selalu menimbulkan kepedihan dan vertigoyan gsama parahnya. Waktu tidak selalu berdaya menyembuhkan, apalagi untuk peristiwa semacam ini.
Mengapa manusia lain dapat dipandang begitu rendah dan dianggap ‘lain’ (other) begitu saja? Apakah dasar keberlainan (otherness) ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang antara lain berkecamuk dalam diri Levinas. Keluarga dan orang-orang dekat dengan korban tentunya akan mengajukan pertanyaan yang serupa.

Levinas mempelajari fenomenologi. Fenomenologi membantu kita mendalami berbagai fenomena dalam kehidupan sehari hari memahami bagaimana kita berinteraksi dengan fenomena tersebut, serta menyadari bagaiman fenomena tersebut mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak entah kita sadari ataupun tidak. Levinas menempatkan dirinya sebagai orang pertama (Aku dan The I) yang berhadapan dengan berbagai macam hal atau fenomena di depannya meja, kursi, rumah, pohon, manusia, pasar, sekolah dan sebagainya. Dalam perjalanan hidup sehari-hari kita biasanya menempatkan diri sebagai aku-aku yang berteman dan berhadapan dengan berbagai macam orang, benda dan peristiwa dalam hidup. Dalam hal ini semua yang ada di sekeliling kita (yang didalam filsafat disebut sebagai pengada-pengada atau beings) bersifat lain (others) daripada diri kita karena semuanya bukanlah bagian dari diri kita. Karena itu, secara umum semua hal atau pengada yang di luar orang yang mengamatinya dapat disebut sebagai yang lain(other).

Meskipun ada berbagai fenomena di luar dirinya, Levinas menyadari bahwa kita tidak memperlakukan semua fenomena itu dengan cara yang sama. Misalnya kita jarang memperhatikan kursi dan meja kita dengan seksama. Kecuali kursi atau meja tersebut mengalami kerusakan.

Cara berinteraksi kita dengan orang-orang pada dasarnya tergantung pada cara pandang kita terhdadap mereka dan pada apa yang kita perlukan.

Wajah : Keseluruhan cara orang lain memperlihatkan dirinya pada kita (the face atau le visage).
Wajah manusia bukanlah sekadar fenomen, melainkan sebuah enigma. Sebuah fenomen, seperti batu, rumah, pohon, pasar, atau kota, merupakan bagian dari tatanan realitas yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan secara keseluruhan sedangkan enigma memuat unsur-unsur yang melampaui sejak usaha obyektivasi dan penangakapan akal budi kita. Wajah orang lain tidak dapat begitu saja ditangkap seperti objek pengetahuan manusia lainnya.

Orang tidak sama dengan meja, kursi, dan pohon. Kita cenderung bertindak bebas meski ada pohon atau meja. Tetapi bila ada orang lain, kita respons dengan mungkin memperbaiki posisi duduk, merapikan rambut, mengecek resleting, memasang senyum atau memperlihatkan sikap yang berkenan.

Kita bisa mengabaikan kaki meja yang patah namun tidak untuk orang lain yang kakinya patah dan butuh bantuan dan pertolongan.

Dalam memandang dan memperlakukan orang lain kita sudah lebih sering menggunakan kategori-kategori pemikiran yang sudah kita miliki (praanggap) : bahwa mereka berasal dari suku bangsa ini, menganut agama itu, memiliki sifat-sifat demikian, dsb. Akibatnya kita tertutup terhadap apa yang dapat dan mungkin tersingkap dari kehadiran orang lain tersebut. Kelekatan kita pada gagasan yang kita miliki mengenai orang lain seringkali membuat kita gagal memperlakukan mereka sebagai manusia.

BAB I Riwayat hidup Levinas, Latar belakang filsafatnya dan orientasi pemikirannya

BAB II Etika. Sebagai relasi yang lahir dari pertemuan konkret dengan orang lain. Relasi etis terjadi ketika saya merasa terusik oleh kehadiran orang lain ketika kenyamanan dan kebebasan saya dipertimbangkan oleh orang lain ketik kenikmatan hidup saya diinterupsi olehnya.

BAB III Penggalan novel All Quiet on the Western Front karya  Erich Maria Remarque

BAB IV Subjektifitas Manusia

BAB V Signifikasi Wajah Orang Lain sebagai Yang Tak Terbatas (The Infinite)

“Wajah tidak hanya mengusik saya akan tetapi mengajarkan sesuatu yaitu meningkatkan tanggung jawab”.


Itulah kira-kira sekilas gambaran tentang buku Enigma Wajah Orang Lain ini. Buku ini bagus untuk pemula yang ingin mendalami filsafat eksistensialisme. Bahasanya  ringan dan mudah dipahami. Selain itu penggunaan kutipan novel sebagai medium memudahkan untuk memahami enigma Emmanuel Levinas. Sekian