[Resensi Buku] Kering (1972)

Rabu, September 09, 2015 1 Comments A+ a-


Resensi Buku Novel Kering

Hidup Mesti Terus Meski Misterius

Judul                  : Kering
Penulis               : Iwan Simatupang
Penerbit             : CV HAJI MASAGUNG
Cetakan             : IV,1989
Tebal                 : 168hlm;21cm
Harga                 : Rp150.000,00

Novel ini bercerita tentang seorang mahasiswa berotak cemerlang, atas kehendaknya sendiri meninggalkan bangku kuliah. Ia tidak puas dengan sistem dan materi pendidikan yang diterimanya. Pergi bertransmigrasi, juga atas kemauannya sendiri.

Kemarau yang sangat panjang mendatangkan kesengsaraan bagi seluruh penduduk. Rumput-rumput merunduk layu, satu persatu mata air kering. Satu demi satu enduduk meninggalkan desa pemukiman yang hampir mati itu. Satu-satunya yang masih tinggal hanya Tokoh kita. Tapi akhirnya ia kalah dengan musim dan terlempar ke kehidupan kota. Sampai akhirnya Tokoh kita satu kali menerima harta warisan yang banyak dari kematian teman dekatnya. Uang itu lalu ia gunakan untuk membangun satu kota transmigrasi. (http://www.goodreads.com/book/show/3005671-kering)


Tokoh utama adalah tokoh kita yang hidup menggelandang.  Menjadi manusia ubermensch. Tokoh kita adalah awalnya mahasiswa. Setelah itu kemudian dia menjadi mantan mahasiswa karena mengundurkan diri dari kampusnya. Ia ikut program transmigrasi. Ia memilih hidup menggelandang dan tidak terikat dengan aturan-aturan formal hidup.

Dalam prinsipnya hidup jalan terus, bekas mahasiswa yang cerdas itu tidak lagi memedulikan eksistensinya. Bahkan dia lupa eksistensi sosialnya. Namun demikian, ketika sahabatnya Si Gemuk Pendek mati tertembak, tokoh kita tetap meneteskan air mata. Barangkali Iwan menunjukkan bahwa segelandang-gelandang apapun manusia, nilai-nilai universal tetap lekat dalam dirinya. Rasa riang dan sedih tetap lengket pada eksistensi manusia. Tidak peduli apakah dia seorang kaya atau miskin.

Alur cerita Kering adalah sorot balik (flashback). Beberapa kritikus mengatakan bahwa di awal novel Iwan memadatkan ide-idenya dalam kalimat. Sehingga di awal sudah mulai kelihatan konflik utama novel.

Keunikan tokoh dan penokohan : tokoh tanpa nama, tanpa identitas. Yang ada hanyalah pekerjaannya. Iwan menandai tokohnya dengan mahasiswa, mantan mahasiswa dll. Tokoh utama bisa menjadi siapa saja yang dibayangkan oleh pembaca. Ia adalah perwujudan ide Iwan yang menjalankan ide baru lagi. Tokoh utamanya bukan tokoh darah-daging, bukan tokoh organis. Seperti saya bilang, dia tokoh ide, milik bersama dan kolektif. Salah satu ciri inilah yang menjadikan novel Iwan Simatupang  dinamakan sebagai novel baru.

Gaya bahasa dan diksi Iwan juga khas. Kalimat-kalimatnya tidak muncul dengan gelas yang penuh. Dia tidak mendoktrin. Dia menawarkan alternatif kemungkinan kepada pembaca. Dalam hal pesan dia hanya menggambarkan alias menceritaka penderitaan tokoh utama dan cara dia melewati dan menjalani itu. Beberapa kalimat terkesan berantakan dan menggunakan ejaan yang tidak baku. Begitulah gaya bahasanya. Mungkin dengan adanya sisipan filsafat dalam novel Kering menjadikannya bahasa yang kadang mesti dibaca dua kali atau lebih.

Seperti biasa. Ciri novel Iwan yang tidak memberi nama pada tokoh utama. Sebutan untuk beliau adalah tokoh kita. Dalil manusia adalah proyek dirinya sepertinya dipegang teguh oleh Iwan. Profesi menjadi penunjuk tokoh novel Iwan.

Carilah kebenaran. Jalani Hidup Mesti Terus Meski Misterius

Tokoh kita yang menggelandang meninggalkan studinya di universitas untuk hal yang tidak masuk akal. Dia transmigrasi. Ah absurd. Barangkali dia memang mempercayai bahwa dia ingin kebenaran bukan kebahagiaan. Jika ingin kebahagiaan maka percayalah jika ingin kebenaran maka carilah.

Sama dengan novel-novel beliau sebelumnya, merahnya merah dan ziarah. Kelebihan dalam kebaruan novel dalam kesusastraan Indonesia. Gaya yang dipengaruhi oleh eksistensialisme Perancis.
Tokoh kita yang selalu menggelandang penuh dengan sepi, terhenyak, terlempar. Namun begitu ia tetap meyakini sesuatu yang ia rasa itu adalah proses panjang perjalanannya mencari makna hidup yang absurd. Ternyata memang benar novel ini mirip dengan Sampar dan Orang Asing, tokoh-tokohnya terasing bagi dunia. Namun dengan kedekatan budaya novel Iwan Simatupang lebih mengena dibanding novel Albert Camus tersebut. Pasalnya dari kebiasaan adat perliaku saja sudah dekat dan lebih dapat dipahami alur dan perasaan para tokohnya

Seperti novel Ziarah, saya terkesan dengan bahasa novel Iwan, meskipun tipis, 160-an halaman tetapi tidak justru  menjadikan novel ini enteng. Akan tetapi bila dibandingkan dengan novel filsafat Dunia Sophie, Kering lebih segar. Kita tidak perlu bolak-balik kamus untuk mencari arti istilah-istilah sebab di Kering tidak banyak istilah. Kalau novel Dunia Sophie seperti diktat resume filsafat barat Kering adalah kisah hidup yang jauh lebih filsafat. Pasalnya memotret langsung kehiduapn Tokoh Kita sendiri. Konfliknya meskipun datar-loncat-datar-loncat membuat kita tetap harus fokus dalam menyelesaikannya.

Keingintahuan saya apa sebenarnya yang hendak disampaikan oleh Iwan. Apakah ia hanya sekadar menulis novel untuk menciptakan gaya baru? Apakah Iwan menulis novel untuk membuktikan bahwa karyanya tidaklah terlalu dipengaruhi kebudayaan barat. Buktinya tokoh-tokoh yang ia gunakan bukanlah tokoh borjuis, melainkan gelandangan : Bekas mahasiswa.

Ya manusia adalah proyek dirinya. Makanya aku setuju manusia tidak perlu dinilai sebelum ia mati sebab proyek belum selesai. Pada saat hidup manusia baru pantas diberi saran saja. Bolehlah sedikit kritik. Selain itu identitas bukanlah sebuah kemanunggalan aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Begitu lirik lagu Tegar mantan pengamen yang berubah menjadi penyanyi di industri musik itu. Jangan-jangan dia pernah mempelajari eksistensialisme. Nah seperti kata Sartre untuk menjadi eksistensialis orang tidak perlu menamatkan teori-teori tentang etre pour soi, etre en soi, faktisitas, mauvaise foi, cukup dengan merasa malu, merasa canggung dihadapan orang lain, merasa iri itu sudah menandakan bahwa anda adalah seorang eksistensialis.


Referensi : Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Filsafat Depok 2011,Tika Sylvia Utami. Ketidaktunggalan Identitas dalam Novel Kering Iwan Simatupang, Tinjauan Berdasarkan Eksistensialisme Jean Paul Sartre.

1 comments:

Write comments