meracau saat malam hari

Jumat, September 04, 2015 0 Comments A+ a-

Bermula dari secangkir kopi, percakapan membentang sepanjang malam. Apa yang tidak bermula selain Dia? Aku dan mereka adalah dunia. Dan Dialah pemiliknya. Semua yang ada dan tidak ada termasuk dalam daftar invetaris singgasana-Nya. 

Apa yang kurang dari kita manusia?


Itulah ketiadaan, kita selalu mengharap bahwa kita ada. Kita selalu berpikir bagaimana berada, bagaimana cara berada dan dipandang sebagai orang yang berada. Mengapa kita mesti mengada? Mungkin sudah takdirnya. Tapi apa itu takdir? Sudahlah aku seharusnya tidak banyak bertanya jika ingin bahagia. Karena kata orang bijak Jika ingin mencapai kebahagiaan, percayalah. Namun jika ingin kebenaran maka carilah. Apakah kebahagian berlainan dengan kebenaran? Sepertinya memang demikian. Dia adalah dua mata kaki yang saling menatap mata angin berlawanan. Atau sama sekali tidak menatap. Ingin kutambahi sedikit, jika hendak kebenaran, maka bertanyalah.

Kepada siapa aku bercakap. Siapa kami? Kalau kuhitung sebagai manusia. Malam itu hanya ada satu. Dialah aku. Akulah Dia.

Dan

Aku tak ingin menyerah, sedikitpun kepada diam. Biar ditimpa bara, biar dibakar api. Aku ini kesunyian yang dalam dan jauh. Aku tidak ingin jatuh. Aku ingin terbang. Biar rindu menguliti wajahku, biar kosong menyerang perasaanku, biar apa saja. Aku ini sepi, sepi yang mengalir, aku ini senyap senyap yang mengendap. 

Aku tak ingin menyerah, sedikitpun sekecil apapun. Biar disambar lelah, biar dililit bisu. Aku ingin lebih, aku ingin lari. Aku tak mau sampai. Ku hanya ingin gapai. Aku tak mau usai. Biar lunglai biar mati. Aku ingin abadi.

Aku adalah kesunyian, yang membentang dari firdaus ke jahannam.

Aku irama kesepian yang menggema dari baghdad ke kutub utara.

Aku melodi rindu yang berkejaran dari tangga neraka ke birama surga.

Aku lebih cepat daripada cahaya lebih kuat daripada emas.

Aku adalah segala dan semua.

Aku sendiri serbadiri serbaabadi.