[Resensi Buku] Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering: Menghidupkan yang Terasa Banal

Minggu, Desember 18, 2016 0 Comments A+ a-


Resensi Buku Puisi Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering karya Hasan Aspahani.

Judul : Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering
Pengarang : Hasan Aspahani
Cetakan : Pertama, September 2016
Penerbit : GPU
Tebal : xx+177 hlm.

Tiga serangkai: lahir, hidup, dan mati, ialah simpul tempat filsuf dan penyair berhibuk mengurainya. Karya mereka tidak luput dari akal-akalan mengungkap perihal ini. Sejak Amir Hamzah, bahkan sejak jauh sebelum itu, sastrawan kita sudah melakukan perjalanan ini dalam sajak-sajak mereka.

Menulis puisi sebagai reproduksi realitas punya beberapa tantangan. Setidaknya tentang bagaimana cara menampilkan harmoni antara ide dan suasana. Puisi adalah penggunaan tak terbatas bahasa yang serba terbatas; pemberdayaan energi magis kalimat dan pesona tak terduga kata-kata dalam rangka merumuskan kedalaman dan misteri pengalaman batin manusia. Mutlak dibutuhkan keterampilan bermain “di antara”. Harmoni antara penjelasan dan pelukisan, antara cerita dan isyarat. Apabila puisi cenderung menjelaskan, ia akan jatuh kepada harfiah konseptual. Sedangkan apabila puisi berisi pelukisan, maka ia hanya dapat hadir sebagai suasana yang transparan. Tetapi juga, bila puisi penuh isyarat, puisi akan jadi gelap dan tak terbaca. Sekali waktu Bambang Sugiharto pernah beropini demikian tentang puisi.

Wacana yang berkembang di masyarakat kita tentang puisi salah satunya adalah bahwa puisi wajib membicarakan konsep-konsep besar. Puisi adalah suara kebenaran. Sehingga dengan demikian puisi menanggung beban sosiologis. Lantas puisi menjelma menjadi celoteh moral, corong paham politik dan filsafat, serta tidak jarang menjadi ajang masturbasi estetika. Padahal khittah-nya, puisi itu personal, khusus, sekaligus intim.

Anindhita S. Thayf dalam resensi buku Puisi Sitor Situmorang(Menunggu Si Anak Hilang) berpendapat bahwa di era modern kini, puisi kalah bersaing dengan ragam bacaan lain. Rasanya, dengan menyaksikan jumlah buku puisi yang terbit dan dicetak ulang, puisi tidak kalah bersaing. Terburu-buru jika menyimpulkan demikian. Puisi hadir di tengah-tengah kita. Sebut saja buku puisi Hasan Aspahani ini disamping beberapa nama seperti Laksmi Pamuntjak yang menerbitkan buku puisinya, atau nama-nama baru seperti M Aan Mansyur, yang sukses membawa puisi ke ranah populer lewat Tidak Ada New York Hari Ini-nya yang disisip ke film fenomenal AADC. Bahkan buku puisi ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Norman Erikson Pasaribu, Ni Made Purnamasari, Mario F Lawi,  Esha Tegar Putra. Kemudian Arvianti Armand, penyair muda dengan buku Puisi tentang Ruangnya, belum lagi dengan dicetak ulangnya beberapa nama lama yang sudah mapan seperti Sapardi D.D, Joko Pinurbo (yang setidaknya tahun ini menerbitkan 3 buku puisi), Rendra, dan Wiji Thukul. Penulis best seller macam Tere Liye juga menerbitkan buku puisinya : Dikatakan atau Tidak Dikatakan Tetap Saja Itu Cinta. Dengan demikian puisi masih menjadi bacaan yang akrab dan diminati oleh pembaca di Indonesia.

Meski, barangkali masih menjalar opini di masyarakat bahwa puisi kita belum merakyat. Puisi menggunakan bahasa tinggi dan berindah-indah. Lebay dan galau. Gelap dan susah dimengerti. Gejala ini tampaknya mudah ditepis dengan mengatakan bahwa puisi soal perasaan. Puisi lebih kepada pembangkitkan perasaan tertentu dari pembaca ketimbang transfer pemahaman makna di dalamnya. Tentang bagaimana mengungkapkan realitas dengan yang jalan lain. Itulah khas puisi. 

Tiga Serangkai : Lahir, Hidup, dan Mati

Manusia terlempar ke dunia tanpa dibekali sesuatu. Itulah diktum Heidegger tentang eksistensi manusia. Manusia mesti mencari sendiri apa pertanyaan sekaligus jawaban yang terpapar dari dan kepadanya. Melalui karya sastra, manusia mencoba mengungkap realitas dan mencipta kemungkinan baru, realitas baru. Dalam dunianya, kematian lantas menjadi peristiwa pasti bagi manusia. Kematian adalah faktisitas bagi eksistensi manusia, ujar Heidegger. Nah, dalam penantian kematian itu, manusia lantas bermain dengan bahasa, dengan struktur, dengan makna, dengan bunyi dan segala kemungkinannya untuk membangkitkan rasa sekaligus merepresentasikan realitas. Hasan Aspahani dalam buku ini menggunakan bahasa, bereksperimen dengannya, sehingga gejala hidup dapat ditafsir ulang. Perihal yang mana yang sakral dan yang mana yang profan menjadi dipertanyakan kembali. Hasan mencoba menawarkan pembaca puisinya tafsiran atas keseharian kita. Juga tentang relasi kebutuhan hidup kita dengan peristiwa-peristiwa sakral dan profan tersebut.

Ada kutipan yang menarik dalam bahasa Inggris.  Life is from B to D. From Birth to Death. It is a “C”. It is a Choice. Hidup adalah dari B ke D. Lahir ke Mati. Hidup ialah Pilihan. Bila dialihbahasakan dengan sedikit improvisasi. Hidup adalah dari K ke M. Kelahiran ke Mati. Itulah L: Langkah. Langkah bisa berarti gerak yang identik dengan pilihan. Einstein juga mengatakan bahwa hidup seperti mengayuh sepeda. Mesti tetap terus agar melaju dan tidak jatuh

Tidak lupa Hasan juga menyisipkan kelakar di dalamnya. Hasan berkelakar dengan kematian. Misalnya dalam puisi Seperti Mandi yang Terakhir Kali. “Dia akhirnya bisa juga menidurkan diri.” Hasan lincah dan cekatan memainkan tidur dan mati sebagai dua hal yang mirip. Lantas ritus menyelenggarakan jenazah, yang akrab ditelinga kita sebagai proses memandikan mayat, mengafani, menyolatkan, dan menguburkan ia seret ke bahasa puitiknya. Dengan pengalaman batin, Hasan dapat menuliskan menu khusus pada sebuah restoran berupa kematian yang telah lama dipesan. 


Sekali Berarti, Sesudah Itu Mati

Sejalan pergulatan Hasan dengan hidup, maka lahirlah puisi-puisi seperti Sarjana Pengangguran yang kesulitan menemu hidup yang ideal(puisi Ketika Presiden Mengumumkan Nama-nama Menteri di Kabinet Baru). Puisi tentang mukim atau daerah dalam Sungai yang Mengaliri Negeri Kami. Kemudian Kebimbangan menempuh jalan hidup dan tema keluarga dalam puisi ‘Rapsodi Pembunuh Lembu.’ Lalu puisi tentang puisi dalam ‘Petani Puisi.’ Lantas ditutup dengan ‘Biografitti’, sebuah puisi tentang riwayat hidup. Goenawan Mohamad mengatakan puisi Hasan Aspahani menghidupkan apa yang biasanya terasa banal. Puisi Hasan hadir dalam dunia persajakan Indonesia dengan kata-kata sehari-hari yang tidak lazim terlibat dalam puisi umunya. Ngapain, as skop, pose, postulat, bahkan ada juga kata bahasa asing: travel bag, home delivery serta mencomot kebudayaan Industri: Spiderman dan situs yahoo. Tentu kata-kata itu adalah jalan lain bagi puisi hujan, embun, anggur dan rembulan.
Selanjutnya, usai membaca buku ini, Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering. Tiba masanya puisi untuk dibaca dan direnungi. Puisi mengisi ruang kosong antara hidup dan mati. Melalui Puisi Hasan Aspahani kita bertamasya lewat keindahan bahasa untuk melihat kemungkinan lain dari bentuk-bentuk kehidupan. Sekali berarti sesudah itu mati.

(pernah dimuat di harian jawapos 4 Desember 2016)