Senandung Cinta J Alfred Prufrock

Minggu, Desember 18, 2016 0 Comments A+ a-

(Terjemahan Puisi The Love Song of J Alfred Prufrock karya T.S. Eliot)

Mari pergi, berdua kita,
Kala malam merebak melintang angkasa
Seperti pesakit telentang atas meja bedah: dibius ia;
Mari beranjak, menjejak sepi jalan setapak,
Racauan kalah
Dari malam-malam gelisah di hotel melati kelas rendah
Dan bar berserbuk gergaji tambah cangkang-tiram
Jalanan yang menjejak seperti dalih-berbelit
Dari maksud tersembunyi
Membawamu ke satu tanya penuh ragu
Oh, jangan kau tanyakan,”Apa gerangan?”
Mari lekas pergi dan selesaikan lawatan ini.

Di dalam bilik, sang wanita bolak-balik
Bertopik Michelangelo ia berbisik

Kabut kuning menyeka punggungnya di jendela kaca,
Asap kuning mengusap moncongnya di jendela kaca,
Menjilatkan lidahnya ke penjuru malam,
Bersitahan pada kolam yang terus terkuras,
Biarkan hantam punggungnya: jelaga jatuh dari cerobong,
Tergelincir di teras, tetiba meloncat
Dan menemu kini: lirih malam Oktober ,
Mengeliuk sekitar rumah, lantas terlelap pulas.

Dan tentu akan tiba masa
Bagi asap kuning yang mengalun sepanjang jalan,
Menyeka punggungnya pada jendela kaca;
Akan tiba masa, akan datang waktu
’Tuk persiapkan paras bertemu rupa yang kau jumpa;
Akan tiba masanya merusak dan mencipta,
Dan masa kerja juga musim menyemai
Yang angkat-henyakkan tanya di atas piringmu;
Waktu bagimu, juga bagiku,
Dan bagi ratusan kebimbangan
Dan pandangan juga ramalan,
Di hadapan sajian sarapan.

Di dalam bilik, sang wanita bolak-balik
Bertopik Micheangelo ia berbisik

Dan tentu akan tiba waktu
Untuk meragu, ”beranikah aku ?” dan,“beranikah aku?”
Waktunya kembali dan turuni tangga,
Dengan sepetak botak di tengah kepala
[Mereka ‘kan berkata: “Betapa menipis rambutnya”]
Mantel pagiku—kerahnya menghimpit hingga dagu
Dasiku mewah dan sederhana, namun dikait peniti biasa—
[Mereka ‘kan berkata: “Namun betapa kurus lengan dan kakinya!”]
Beranikah aku
Menentang semesta?
Demi putusan dan tinjauan yang sekejap jumpalitan.

Aku telah mengenal mereka, kenal mereka semua:
Telah kenal malam, pagi, petang,
Dengan sendok kopi, ini hidup telah aku timbang;
Kenal aku pada suara sekarat seperti sakaratul maut
Di balik musik dari bilik jauh.
            Jadi bagaimana mesti kuduga?

Dan telah aku kenal sang mata, kenal mereka semuanya—
Mata yang memakumu pada metafora,
Dan ketika aku terperangkap, ditancap pasak,
Ketika aku terpaku dan menggeliat di dinding,
Lalu bagaimana mesti kumulai
Untuk ludahkan segala sisa hari-hari dan jalan-jalanku?
                        Dan bagaimana mesti kuduga?          

Dan aku telah kenal lengan-lengan itu, kenal mereka semuanya—
Lengan bergelang, putih dan polos
[Tapi di bawah cahaya lampu: dibingkai rambut cokelat terang!]
Apa harum dari gaun
Yang membuatku melantur-tertegun?
Lengan yang terkapar atas meja, juga tersaput selendang
            Dan mestikah aku menduga?
            Dan bagaimana mesti kumulai?

Mestikah kuungkap, telah pergi aku pada petang hari melintasi jalan sempit
Dan menyaksikan asap merabung dari pipa cerutu
Lelaki kesepian tak bermantel, bertelekan pada jendela
Mestinya aku sepasang cakar usang
Lintang-pukang di dasar laut tenang.

Dan sang senja, sang malam, terlelap tenteram!
Dibelai jemari panjang,
Lelap…lelah…atau sekedar berpura,
Telentang ia di lantai, di sisi kita berdua.
Mestikah aku, selepas kudapan kue, teh, dan es batu,
Sanggup memaksa masa menuju mercu?
Namun meski telah meratap aku, berpantang, puasa, serta berdoa tersedu,
Meskipun sudah kusaksikan kepala ini (rontok dan botak) diseret ke atas piring,
Aku bukan nabi dan ini bukan soal;
Telah kulihat masa jayaku terang-redup,
Dan telah kusaksikan pelayan baka meraih mantelku dan terbahak
Dan sekilas, aku cemas.

Dan akankah itu bernilai, pada akhirnya,
Setelah cangkir, selai jeruk, teh,
Di antara porselen, di antara secuap dua pembicaraan kita,
Akankah itu berharga,
Menyusutkan masalah bersama senyuman,
Memejalkan semesta menjelma bola
Demi geleserkan ia menuju tanya penuh ragu,
Demi berkata: “Akulah Lazarus, bangkit dari kematian,
Bangkit untuk wahyukan kalian, mesti kukabari kalian semua”—
Bila seseorang, letakkan bantal di belakang kepalanya
            Katakanlah : “Bukanlah itu yang aku maksud.
            Bukan, sama sekali bukan

Dan akankah itu bernilai, pada akhirnya
Akankah itu bernilai,
Selepas surya tenggelam dan pekarangan dan jalan setapak,
Selepas roman, setelah cangkir teh, dan rok yang menghela sepanjang lantai—
Dan ini, dan banyak lagi?—
Tak mungkin ‘tuk ungkapkan yang kumaksud!
Tapi seolah-olah lentera-ajaib lemparkan ragam gelisah pada layar:
Akankah ini bernilai
Bila sesorang, meletakkan bantal atau melempar selendang,
Dan berpaling pada tingkap, berkatalah :
            “Bukan itu,
            Sama sekali bukan itu”

Tidak! Aku bukan Pangeran Hamlet, tak juga bermaksud jadi dia;
Aku pelayan Tuhan, orang yang akan,
Melakon alur, memulai satu dua adegan,
Menasihati sang pangeran; tanpa keraguan,
Penuh hormat, senang diperalat,
Bijak, teliti, juga cermat;
Sarat ucap melangit, namun acap teledor;
Terkadang, tentunya konyol—
Terkadang tolol.

Aku menua… bertambah tua..
Mestinya kubalun bawah celana.

Mestikah kucampakkan rambutku di belakang ? Bernyalikah aku mengunyah persik?
Mestinya kukenakan celana flanel putih, dan berjalan menyusur pantai.
Telah kudengar putri duyung bersenandung, ke sesamanya

Rasaku, takkan bernyanyi mereka untukku.

Telah kupandang-lekat mereka melaut-mengombak
Menyisir rambut putih dari punggung-ombak yang terempas
Ketika angin mendesir, air menghitam, buih memutih
Kita tinggal-tetap di bilik lautan
Dikerumuni gadis laut bertatah ganggang merah dan cokelat
Hingga suara-suara manusia membangunkan kita, kita tenggelam.