[Resensi Film] Stranger Than Fiction

Minggu, Desember 06, 2015 1 Comments A+ a-

Eksistensialisme dalam Film Stranger Than Fiction : Kierkegaard, Sartre, Camus, dan Senartogok

Sutradara          : Marc Forster
Artis                : Will Ferrell; Maggie Gyllenhaal; Dustin Hoffman; Queen Latifah; Emma Thompson
Produksi            : Mandate Pictures
Distributed by    : Columbia Pictures
Tanggal Rilis     : 10 November 2006
Durasi                : 113 menit

Kabarnya, Marc Forster (sutrada berkebangsaan Jerman) ini juga menyutradarai film Finding Neverland (2004) , The Kite Runner (2007), dan Quantum of Solace (2008). Kali ini filmnya bercerita tentang dunia Harold yang menjadi karakter utama sebuah novel. Harold yang hidupnya bagai robot kemudian sadar bahwa  ada narasi yang menjelaskan rutinitasnya selayaknya narasi novel.


Harold merasa ‘narasi’ ini mendikte hidupnya. Bahkan puncaknya saat ia dikatakan ‘sebentar lagi mati’, Harold tidak terima. Ia berontak. Ia ingin menemui penulis takdirnya tersebut dan protes. Intinya Harold tidak terima dengan Karen Eifel sang penulis cerita fiksi. Pergulatan Harold dengan dirinya menjadi menarik sebab Harold ingin memberontak pada sesuatu yang ada di luar alamnya(Harold di alam fiksi dan Karen di alam nyata). Namun ternyata ada dialektika antara mereka, sebab alam yang dimaksud ternyata tidak sedeterminis itu.

Sartre : Eksitensi Mendahului Esensi
Sartre mendiktum bahwa dalil pokok eksistensialisme adalah eksistensi mendahului esensi. Apa maksud beliau?

Types of being (tipe berada) manusia berbeda dengan benda-benda lain. Manusia : etre-pour-soi sedangkan benda lain : etre-en-soi. Apa artinya? Manusia ada bagi dirinya, sedangkan benda lain ada dalam dirinya. Manusialah yang bereksistensi. Dia eksis dahulu baru esensinya berkembang dan bertumbuh sesuai penghayatannya terhadap kehidupan. Berbeda dengan pensil misalnya. Esensi pensil ada dahulu sebagai alat untuk menulis, baru kemudian dia eksis sebagai alat tulis. Manusia hidup berkesadaran. Ia adalah proyek bagi dirinya. Eksistensinya atau ada manusia itu bukan sesuatu yang penuh atau selesai. Ia hanya selesai ketika dia mati dan eksistensinya beku saat itu.

Menonton film Stranger Than Fiction membuat saya berpikir sejenak tentang eksistensi Harold sang tokoh utama. Sebagai karakter utama dalam sebuah novel, ia eksis sebagai manusia. Akan tetapi manusia yang dimaksud bukanlah manusia yang punya free will. Ia dikontrol sepenuhnya oleh sang penulis Karen Eiffel (determinisme). Ia sudah ditentukan esensinya oleh Karen Eiffel sang penulis sosiopath. Eksiskah Harold sebagai manusia? Tidak tahu.

Wilayah Eksistensi Kierkegaard
Kierkegaard, pencetus eksistensialisme menyatakan bahwa ada 3 wilayah eksistensi (stages on life’s way) yaitu tahap aesthetic, ethic, dan religious.

Wilayah aesthetic
Estetis maksudnya adalah tanpa merujuk kepada baik buruk (good and evil). Yang terjadi hanya sensasi pemenuhan keinginan atau hasrat spontan (immediacy). Kalau terpenuhi maka akan terjadi kepuasan (satisfaction) dan bila tidak sebaliknya (dissatifaction). Misalnya ketika si Harold ingin menggosok gigi, ia akan menggosok gigi tanpa peduli itu baik atau buruk.

Wilayah ethical
Tindakan yang dipilih dipengaruhi oleh baik buruk, rasio dan suara hati sebagai refleksi kategori utama dalam mendefinisikan eksistensinya.

Wilayah religious
Good and evil sudah tidak memenuhi lagi dalam kategori pilihannya. Yang bernilai hanya relasi dengan ilahi, dengan kebenaran objektif. Apa pilihan yang diambil sudah manunggal dengan kebenaran. Barangkali kalau boleh disimplifikasi. Meleburnya relasi subjek dengan kebenaran dan kebenaran subjektif maupun kebenaran objektif tersebut.

Untuk berhijrah dari suatu wilayah eksistensi ke wilayah eksistensi lain, Kierkegaard mengungkap bahwa manusia harus melakukan lompatan. Sebab wilayah atau tahapan tersebut tidak terperiode begitu saja. Ia ditentukan oleh kesadaran juga.

Di film ini, dapat dilihat bahwa wilayah eksistensi Harold melewati yang tiga ini. Di awal-awal film  penulis menangkap bahwa Harold yang serbateratur dan sangat presisi menghayati wilayah estetik. Kemudian semakin ke tengah film, Harold melompat ke wilayah etik, disaat ia mulai mempertimbangkan bagaimana seharusnya ia memilih. Standar good end evil mulai ia gunakan dalam bertindak. Kemudian pada bagian akhir film, saat Harold sudah membaca draft novel (yang adalah takdirnya), Harold melompat lagi ke wilayah religius. Carpe diem, seize the day, raihlah hari ini. Harold menjadi berani, seluruh tindakannya meluruh dalam relasi kebenaran objektif.

Absurditas Camus
Camus pernah mengungkap (Dostoevsky), “Jika hidup sudah tidak bermakna layaknya sisifus, pantaskah untuk tetap dijalani?”

Bagi Camus, absurditas kehidupan tidak hadir dengan sendirinya, ia hadir-menyerua melalui rutinitas yang selalu dilakoni manusia. Pada awalnya, manusia merasa apa yang dilakukannya begitu berharga dan bermakna, namun lambat-laun, setelah ia melakukannya secara terus-menerus dan berulang-ulang, timbul kejenuhan pada dirinya. Kejenuhan ini, apabila terus berlanjut, nantinya bakan melahirkan absurditas. Satu hal penting yang kiranya tidak patut diluputkan dalam pengkajian tersebut adalah setiap usaha manusia yang akan selalu berhadapan dengan “dinding-dinding absurditas”, yakni kematian dari manusia itu sendiri. Dalam Mite Sisifus, Camus berkata, (Wahyu Budi Nugroho : http://kolomsosiologi.blogspot.co.id/2011/06/sedikit-tentang-absurditas.html)

“Semua kehidupan manusia beserta hasratnya yang hangat, aktivitasnya dengan berbagai prestasi, semua keindahan yang telah ia saksikan, semua cinta yang telah ia berikan dan terima, semua akan berakhir dengan kematian. Setiap peristiwa dan setiap detik yang ia jalani semakin mendekatkannya pada kematian. Bayang-bayang kematian bisa muncul melalui apa saja. Ia adalah bagian dari semua kesenangan kita, ia tunjukkan kesia-siaan dari aktivitas kita. Inilah perasaan absurd itu.

Mengalami rutinitas, Harold lambat laun sadar, lama kelamaan ia mengalami kejenuhan. Ada momen disaat ia diberi tahu bahwa ia akan mati dalam waktu dekat. Bayang-bayang kematian menghantui Harold, sampai ia mencari sumber suara dalam pikirannya dan bertemu sang penulis. Absurd memang. Harold akhirnya mengalami proses dialektis antara dirinya dengan Karen Eiffel sebagai penulis takdirnya. Tragik-tragik yang Harold alami menjadi pengalaman yang sangat berharga baginya. Hingga akhirnya Harold menghayati kehidupan itu secara penuh. Ia sudah tidak peduli lagi pada kematan yang memang “dinding absurditas” a la Camus dan Faktisitas a la Sartre (Heidegger juga).

Eksistensialis Mentok Senartogok
Mengutip term pemberian kawan Okie, dalam sebuah perbincangan singkat (bakda kuliah Instrumentasi dan Kontrol Industri). Senartogok adalah wujud eksistensialisme mentok. Apa maksud Okie? Menurut penjelasannya (yang agak kabur itu) Senartogok itu mewujudkan konflik, atau apapun perseteruan di luar dirinya menjadi bagian dirinya. Misalnya ketika ada konflik lahan di Rembang atau Papua, Senartogok mencipta lagu dan mengarang puisi. Di saat ada penindasan di tanah seberang tiba-tiba Senartogok mendakwahkan diri yang mesti berkehendak dan hidup sepenuhnya.

Nah, Apa kaitannya dengan film Stranger Than Fiction ? Pada sebuah diskusi kecil sehabis nobar film ini, satu pertanyaan yang dilontarkan beliau. Jadi apa yang Stranger Than Fiction? Ya hidup itu sendiri. Kemudian ia mengusulkan sebuah tragik, bagaimana jika nama Harold itu adalah nama kita? Coba ganti tokoh Harold dengan nama kita, apa yang akan kita lakukan? Apakah akan menyerupai eksistensi Harold? Huh...sulit untuk dijawab.

Ada keterkaitan dengan eksistensialisme Kierkegaard, bahwasanya baiknya manusia yang bergumul dengan dirinya itu melompat ke wilayah religious, eksistensi puncak. Kehidupan itu sendiri jauh lebih strange daripada fiction. Melakukan penghayatan kehidupan, bersyukur,mengingat hal-hal kecil dan beberapa yang belum terselesaikan meskipun kematian sudah menjadi sebuah kefaktaan (faktisitas, manusia Ada menuju kematian). Itulah pesan dari Senartogok.


diolah dari berbagai sumber.

1 comments:

Write comments
Walls
AUTHOR
29 Maret 2023 pukul 20.52 delete

Penjelasan yg bagus tentang eksistensi manusia berkehidupan dimana terposisikan kesadaran manusia adalah utamanya..film nya juga good👍🏻

Reply
avatar