Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif : Sebuah Cocoklogi Ekstrem

Rabu, Desember 23, 2015 0 Comments A+ a-

Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif : Sebuah Cocoklogi Ekstrem

“ Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.”-Nietzsche-

Apa itu postmodernisme?

Sebuah anekdot lucu berpendapat. Postmodernisme adalah ketika kau bermain bola di lapangan dan terserah mau membuat gol ke gawang siapa(sebab modernisme hanya menginginkan kau untuk membuat gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan).


Jangan dikacaukan dengan : Bermain bola di lapangan tapi terserah ingin memainkan apa. Entah itu menulis puisi, bermain skak atau sholat dhuha. Sekilas begitulah postmodernisme.

Barangkali ada lagi anekdot menarik. Jika modernisme mengartikan postmodernisme, maka modernisme akan berkata : dia (postmodernisme) terdiri atas 2 akar kata post, modern (isme tidak dimasukkan). Post berarti setelah dan modern berarti modern. Postmodernisme berarti isme setelah modern.  Sementara postmodernisme sendiri dapat memperkenalkan diri : “Saya adalah kata yang tersusun atas huruf-huruf p,o,s,t,m,d,e,r,n,i,. Atau, Saya adalah apapun yang kau pikirkan tentang Saya, sekaligus apa yang tidak kau pikirkan tentang Saya.”

Sudah jelas bukan?

Biar sedikit bingung. Agar supaya tidak terlalu bercanda, mari kita menyimak beberapa pandangan dari berbagai sumber berikut, dibawah ini :

Lyotard dan Geldner : Postmodernisme merupakan lawan dari modernismeyang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Postmodern adalah pemutusan secara total dari modernisme.

Derrida, Foucault dan Baudrillard : Postmodern adalah bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori.

David Graffin : Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme.

Giddens : Postmodern adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak.

Habermas : Postmodernisme merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.

Jacques Derrida

Beliau dapat disebut seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi. Derrida konon dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme—sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa—Semua kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar bahasa. Derrida juga dikabarkan sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21.  Beberapa kata kunci filsafatnya yang terpenting adalah dekonstruksi dan differance.



Dekonstruksi

Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkanbahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat.

Differance

Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to- self)—yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran. Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri. Inilah pengertian“tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika tentang tanda.

Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu. Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran.Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap sebagaimakna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance. Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-difference, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa tulisan lebih unggul ketimbang ujaran.

Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya. Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), dimana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak dibelakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya. Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebasdengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.

Postmodern dan Positivisme

Nietzsche adalah tokoh postmodern yang temasuk pengkritik pandangan positivisme August Comte. Menurut Comte, subyek (manusia-red) mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual, dapat diindra, positif dan eksak. Akan tetapi menurut Nietzsche, manusia tidak tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. (ST. Sunardi,1999:67-68). Banyak pernyataan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa mengetahui. Fakta kebenaran itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi dan dan perspektif. Maka dengan dengan sendirinya tidak ada kebenaran universal yang tunggal. Penafsiran itu tidak itu tidak menghasilkan makna final, yang ada hanyalah pluralitas. (ST.Sunardi,1999:180) sehingga bagi Nietzsche, kebenaran adalah suatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup.Tanggapan Terhadap Postmodern Konsepsi epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan persoalan yang cukup mendasar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap orangmempunyai sudut pandang dan perspektif sendiri-sendiri (berbeda-beda). Dalam perpektif,subjek-subjek tertentu bisa dianggap benar, namun bisa jadi keliru bagi perspektif subjek yang lain. Jika pada masa Modern, manusia mengingkari agama oleh karena pengaruh rasionalitas, namun pada masa Postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas. Pada postmodern ini bermunculan agama-agama baru buatan manusia (–isme) yang merupakan hasil sinkretisme dan pluralisme. Tidak ada kebenaran absolut dalam agama apapun atau mungkin bahkan dalam kitab suci apapun, yang ada adalah kebenaran relatif, kebenaran menurut masing-masing yang memandangnya, sehingga manusia di sini sebagai hakim penentu kebenaran, dan bukan Tuhan yang menjadi penentu kebenaran melalui Kitab Suci yang diwahyukannya.

Derrida, melalui teori Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi menolak kemapanan, menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang ‘kreatif’ seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan mentafsirkan suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi. Fenomena postmodernisme ini memunculkan berbagai macam persoalan tentang peran iman dan agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenarantunggal dan sistem mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativkan, demikian juga agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia berada dalam kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh kepada ekstrim.

Mekanika Kuantum

Mekanika kuantum lahir atas keisengan-keisengan. Segelintir manusia mengamati fenomena atom dan sub-atom sehingga muncullah spekulasi seperti : mengukur berarti mengganggu. Mengukur berarti menciptakan benda dll.

Mekanika Newton diruntuhkan Einstein lalu determinasi Laplace diruntuhkan Born-Heisenberg lewat Interpretasi Copenhagen.

Ada yang menarik apabila mekanika kita klasifikasikan. Dia seolah akan menjadi tiga dalam satu : Mekanika Newtonian, Mekanika Relativistik, dan Mekanika Kuantum.

Mekanika Newtonian berpangku pada beberapa hukum Newton. Hukum Newton tentang gerak dan gravitasi. Mekanika Relativistik bergantung pada kerangka relativitas umum dan khusus. Sedangkan Mekanika Kuantum berspekulasi pada kemungkinan dan fungsi gelombang Schrodinger.

Beberapa diktum dari mekanika kuantum :

1. Tidak ada realitas selama ‘ia’ belum diukur.
2. Tidak ada pengukuran yang dapat menghasilkan nilai yang pasti.(Asas ketidakpastian Heisenberg).
3. Segalanya adalah fungsi probabilitas. Seseorang boleh menyatakan sebuah objek sebagai apa saja tetapi harus bertanggung jawab terhadap tingkat kemungkinan objek tersebut (Fungsi gelombang Schrodinger).

Dunia tidak lagi seperti yang dipikirkan oleh Newton, yaitu dunia yang mekanis dan dapat diramalkan. Teori Kuantum berpendapat bahwa kita tidak bisa memprediksi gerakan ataupun relasi partikel-partikel atom ataupun sub-atom yang kita amati. Paling-paling, kita hanya dapat memprediksinya sampai tahap probabilitas.

Dunia ternyata lebih indah. Apa yang kita lihat bukanlah dunia yang sebenarnya, apa yang kita rasa adalah bukan yang sebenarnya, sebab dalam yang sebenarnya selalu terkandung komponen imajiner yang mengandung tidak sebenarnya.

Jodoh Objektif

Tentang jodoh yang tidak bisa dijelaskan secara sains dan objektif. Jika pun hanya bisa dibuat analisis-analisis yang singkat yang mencoba meraba apa yang terjadi sebenarnya. Jangan-jangan istilah jodohnya itu adalah tidak berjodoh merupakan sebuah penjelasan juga.

Ada kalimat bertuliskan, Al-Haqqu Minallah. Lalu apa kaitannya dengan jodoh? Saya akan mencoba mencocoklogikan secara radikal melalui tulisan ini. Kebenaran itu datangnya dari Allah. Saya berkeyakinan bahwa kebenaran ilahi, kebenaran objektif itu : tiada akses, tiada jalan menuju ke sana. Tiada kesempatan untuk mengkonfirmasi kebenaran ilahi. Akan tetapi, ada semacam alternatif : kebenaran subjektif. Mengutip sang melankoli garis abadi Soren Aabye Kierkegaard, hakikat kebenaran objektif itu tidaklah menjadi hal yang utama. Yang utama adalah relasi dengan kebenaran subjektif sendiri. Seberapa kuat ia digenggam dan dipeluk. Nah dengan jodoh, adakah jodoh objektif, jodoh yang memang ditakdirkan dari surga, diutus untuk dirimu wahai pembaca yang khusyuk ? tidak ada akses, tidak ada jalan dan semacam alat konfirmasi tentang itu. Pada ujungnya, ya, jodoh subjektif-lah yang ada dan seberapa intim dan seberapa kuat kau mempertahankannya.

Tentang filsafat jodoh, sedikit pendapat-pendapatnya ada di sini.




2 Puisi Untuk Suplemen

Giliran

Ada yang datang ada yang pergi
Ada yang hilang ada yang mengganti
Narasi menjadi metanarasi
Sementara Tuhan masih tetap sendiri

Bandung, 2015

puisi mekanika kuantum erwin schrodinger

Aku kini kucing dalam kardus
Dan kau adalah materi radioaktif meluruh di sekitarku
Pilihanku cuma menunggu

Sesiapa Tuhan siap membuka
Aku ada atau tiada

Bandung, 2015


Diolah dari berbagai sumber, mohon maaf bagi yang merasa tulisannya saya copas, sila dicopas lagi kalau tidak setuju.