Resensi Novel Genesis

Kamis, Januari 14, 2016 0 Comments A+ a-

Resensi Novel Genesis

Judul                     : Genesis
Penulis                 : Ratih Kumala
Penerbit              : INSISTPress
Cetakan               : I, Juni 2005
Tebal                     : vii+203 hlm; 15x21 cm
Harga                    : Gratis. Pemberian Jaja Suharja Lampung



Bung Jaja Suharja adalah orang yang memberikan novel Genesis ini kepada saya. Awalnya saya minta buku cerpen Iwan Simatupang Tegak Lurus dengan Langit, akan tetapi kata beliau buku itu sudah tidak ada di Perpustakaan Lampung. Jadilah ia mengirimkan buku ini. Karena tabula rasa saya belum punya, buku Genesis yang merupakan novel kedua inilah yang saya baca.


Genesis. Seperti nama sebuah grup band rock 80-an. Aku tidak tahu apa artinya, yang jelas, ini adalah prerogatif penulis untuk menjuduli karyanya apa. Oh ya aku sempat menggugling genesis itu lebih kurang adalah daur penciptaan dan pembinasaan.

Genesis  menceritakan tentang pergumulan seorang perempuan dengan kehidupan. Pawestri namanya. Pawestri  tumbuh dalam keluarga katolik yang taat. Saat beranjak dewasa, usia 19 tahun ia jatuh cinta kepada seorang lelaki. Lelaki inilah yang kemudian menjadi sumber malapetaka baginya, sumber konflik novel ini. Lelaki ini menghamilinya sebelum mereka menikah dan pergi meninggalkan Pawestri begitu saja. Mengetahui kehamilan anaknya sang ayah murka. Ia menganggap peristiwa ini sebagai aib yang menimpa keluarga. Ia tidak bisa menerima kenyataan. Pawestri dicoret sebagai anak oleh ayahnya, ia diusir dari rumah. Bukan hanya dicoret Pawestri dihapus sebagai anggota keluarga, ia seakan tidak pernah ada oleh ayahnya.

Ibu Pawestri juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mesti tunduk pada suaminya yang keras itu. Ia hanya menanggungkan pedih dalam diamnya.  Kepergian Pawestri menambah luka hati sang ibu. Seperti bakteri makin menggerogoti dan mengunyah luka itu hingga bertambah dalam. Hingga jiwanya terganggu. Ia selalu menganggap Pawestri ada di rumah itu. Hadir diantara mereka. Ibunya di bawa ke rumah sakit jiwa.

Pawestri yang diusir itu tinggal di sebuah rumah kost. Ia masih mempertahankan jabang bayinya. Ia punya pilihan untuk aborsi tapi tidak ia lakukan.

Melalui sebuah iklan ia berhasil menemukan seseorang untuk melahirkan bayinya dengan bantuan dukun. Seorang wanita, Sawitri menawarkan rahimnya bagi janin itu dan berkat bantuan sang dukun, pemindahan itu berhasil. Setelah melahirkan anak itu diberi nama Noah.

Setelah janin itu terpisah dari tubuhnya, Pawestri mesti memilih kehidupannya. Ia bergulat dengan pilihan hidup dan kesalahan masa lalu memburunya dari belakang.

Untuk meredam itu Pawestri memutuskan untuk menyerahkan hidupnya pada Tuhan saja. Ia ingin menjadi abdi yang abadi.

Melalui perjuangan yang panjang Pawestri akhirnya menjelma menjadi seorang biarawati atau suster. Setelah beberapa tahun berkaul, Sr. Maria Faustina, nama pembabtisannya, ia diutus ke Ambon.

Dengan kaul kemurnian aku telah berjanji hidup murni tidak menikah demi kerajaan Allah. Aku telah dibebaskan dari kekerasan hati, dari keinginan tak teratur untuk memiliki orang lain, dari ketakutan mederita, dari iri hati dan dengki, dari ketakutan dan kesepian, agar aku bisa mengabdi total dan memiliki sikap lepas bebas dan penyangkalan diri
Tapi tubuhku berkata lain ! (Ratih Kumala : 2005)

Di Ambon waktu itu sedang tersulut konflik atas nama agama. Maria Faustina mesti awas terhadap hal-hal kecil yang dapat saja merenggut nyawanya. Kedatangannya sebagai seorang suster tentu lekat dengan identitas yang kentara. Namun dengan kekuatan tekad ia bisa meyakinkan dirinya.

Pergulatan hidup Suster Faustina tidak berhenti di sini, malah inilah menjadi titik kritisnya. Peristiwa penyerbuan perkampungan muslim oleh orang-orang kristen membuat ia kembali mempertanyakan, dimanakah Tuhan? Mengapa Ia membiarkan hal ini terjadi?

Matanya terbelalak menyaksikan kesadisan terjadi. Dan dengan demikian ia serasa dilanda gempa keimanan. Kemudian Suster Faustina yang terjebak di permukiman muslim itu menyelamatkan seorang bocah. Dan kemudian bertemu dengan rombongan bantuan kemanuiaan kapal srigunting

Akan tetapi terjadi lagi pergulatan dalam dirinya bahwa demi menaiki kapal itu ia mesti menanggalkan seluruh identitasnya sebagai biarawati. Ia mesti mengganti bajunya, melepas kalung rosarionya. Suster Faustina tidak punya pilihan lain.

Dan di dalam kapal inilah akhirnya Faustina mengakhiri proyek eksistensialnya.

Novel ini mempunyai daya filosofis yang kuat. Berbasis realitas yang dimunculkan dipertontonkan pula kemenjadian Pawestri menghadapi kebebasan eksistensialnya. Pergulatan iman, interaksi spiritualnya, kemanusiaan, keterusan ia dalam menjalani hidup. Ketabahan dan kekuatannya dalam takdir. Pawestri mesti ‘berhadapan’ dengan laki-laki. Lelaki yang pergi meninggalkan dia dan Ayah yang mengusirnya.

Laki-laki angkuh itu lalu pergi entah ke mana, meninggalkan aku yang tengah berbadan dua. Pada saat yang sama diusir pula aku dari rumah. Aku bukan lagi anak, jelas bukan isteri orang. Aku hanyalah: perempuan. (Kumala, 2005: 11)

Pawestri mencapai badai pengarungan spiritualnya seperti tertunjuk dalam monolog berikut :

Jangan Kau reka sebuah skenario yang membuatku jatuh tak percaya pada-Mu Tuhanku…
Telah lama aku menaruh curiga, dan tak cukupkah hukuman yang diberikan kepada manusia?

Bukankah Kau telah dengan sengaja menciptakan kami manusia sebagai boneka mainan-Mu dan menjanjikan Surga atau Neraka bagi mereka yang mengimani-Mu dan yang tidak mengimani-Mu? (Kumala, 2005: 124)

Jika Kau benar ada, lindungi aku… (Kumala, 2005: 125)

Alur novel ini maju-mundur.  Awal novel dibuka dengan kisah Pawestri sebagai Suster Faustina yang mengunjungi sang Ibu di Rumah Sakit Jiwa di Jakarta. Kemudian mundur ke masa lalu Pawestri dan maju lagi sampai akhir hayatnya. Dengan teknik penceritaan yang seperti puzzle berserak. Lama-kelamaan pembaca akan dapat menerima kepingan dan potongan informasi tentang kisah Pawestri itu. Gaya bahasa yang mengalir dengan lepas, tidak terlalu tinggi tidak pula terlalu banyak cakap, dan mudah dipahami. Sepertinya penguasaan penulis tehadap tema ini sangat mendalam sebab ia cukup banyak mengeksplorasai bahasa-bahasa keagaamaan dan penyisipan kisah-kisah yang dinukil dari kitab suci sebagai hal-hal yang menguatkan daya filosofis dan estetis novel ini


Butuh kesabaran untuk mencerap realitas yang disuguhkan novel ini. Dengan penceritaan yang terkesan lambat dan agak tenang, tetapi sebenarnya ada pergolakan arus di bawah. Maksud saya konflik yang terjadi adalah dalam eksistensi Pawestri itu amat hebat. Bahkan tragis. Tragik-tragik yang dialami oleh Pawestri seolah membuat saya sebagai pembaca inginkan sebuah keajaiaban terjadi padanya di akhir novel. Agar Pawestri dibalas dengan kebahagiaan dan keindahan. Tapi mungkin disitulah letak keindahan kehidupan di saat tragedi itu lahir dan manusia mesti mencintainya.