Catatan Liburan Akhir Tahun 2015

Kamis, Januari 14, 2016 0 Comments A+ a-

30 Desember 2015

Hari itu hari penuh rindu. Kepada apa aku tak tahu. Mungkin atas nama kesendirian yang mencapai selaput kekekalan. Dua hari yang lalu aku membincangkan dengan Okie, saudara seperguruan sepertrongkrongan tentang rencana berlibur ke kota Yogyakarta dan bertahun baru di rumah saudara Kukuh Samudra. Kemarin Okie sudah berangkat, menyusul Haris dan Jul yang sudah mendahului berangkat ke Jogja. Okie, menurut penuturannya, ke Tasik dulu hadiri acara keluarga dan kemudian ke Jogja. Aku pun mempersiapkan diri. Pokoknya besok ke Jogja. 30 Desember penghujung tahun yang ngepas bila diputar lagu Malam-malam di Beranda Franky Sahilatua.


Aku dapat pesan via Line dari sahabat penjual buku di Balubur. Kumpulan cerpen Daun-daun Bambu Yasunari Kawabata sudah tersedia di tokonya. Aku segera merapat. Kuambil satu dan kubayar. Aku menceritakan tentang rencanaku ke Jogja, beliau pun memberi saran bahwa sebaiknya naik di Cibiru saja, di PO Budiman biar tidak transaksi dengan calo. Aku amini. Aku pulang ke kosan.

Datanglah sms dari Kang Syafiq mahasiswa pecinta alam dari Unpad itu, katanya dia tertarik dengan buku Mangir, ya intinya dia mau beli. Aku balas, besok saja siang kalo bisa sebab sore aku mau ke Jogja. Hehehe. Beliau menyanggupi.

Hari yang cerah jam 2 aku bertemu dengan Kang Syafiq dan bertransaksi. Setelah selesai aku segera naik angkot jurusan Caheum-Ledeng. Itulah angkot hijau yang waktu itu sedang mengetem di depan gedung rektorat ITB, diapit Baltos dan gedung berlambang gajah duduk pemalas itu. Sebelumnya aku sudah menyiapkan baju, celana dan pakaian dalam, serta tentu saja uang. Sebelum berangkat. Transaksi dengan Kang Syafiq cuma suatu hal yang kutunggu sebelum berangkat ke Jogja, pemantik, ya boleh juga.

Rencananya, aku akan naik Caheum-Cibiru sesampai di Caheum (kalau ada angkot jurusan itu) dan pesan tiket Bus Budiman ke Jogja. Aku tiba di terminal Caheum sekitar jam 3 sore. Aku naik Caheum Cileunyi, sebab untuk ke Cibiru itulah angkutan kota yang tersedia. Aku setuju saja. Aku naik dan sebagai penumpang yang pertama. Angkot yang tadinya mengetem itu mulai merangkak perlahan. Setelah hampir sejam perjalanan (aku tidak benar-benar mengukur waktu), aku sampai di Cibiru, dan kutanyakan dimana itu PO Budiman, Bapak-bapak yang sedang nongkrong itu menunjukkan jalannya. Lurus saja belok kanan di perempatan, disana ada plakatnya. Oke terima kasih Bapak.

Sesampai di PO, aku menanyakan adakah tiket? Setelah sebelumnya buang air kecil dulu dan bayar 2000. Sudah habis katanya. Dia menyuruhku ke terminal Caheum dan berkata, siapa tahu masih ada. Aku lalu bertanya apakah ada nomor telepon yang bisa dihubungi? Mengingat perjalanan Caheum Cibiru itu cukup lama(sebab kecepatan angkot yang sangat tidak cepat). Tidak.

Dengan agak kesal bercampur harap aku memutar badan, jalan ke simpang ke angkot. Aku lalu mengecek Go-Jek. Dan ternyata tarif ke Caheum 20Ribuan. Aku jadi urung. Mending naik angkot saja. Aku akhirnya memutuskan naik angkot saja, menimba ilmu sabar juga. Dengan kecepatan sekitar lima belas kilometer per jam angkot membelah jalanan cibiru, melewati UIN dan keramaian. Seperti pisau majal yang tengah memotong bawang. Huh. Hahaha.

Sekitar jam setengah lima angkot hijau yang pelan itu sampai juga di terminal Caheum aku lekas masuk ke loket. Dua hal yang ada dipikiranku waktu itu, harga tiket Bandung-Jogja 110Ribu dan aku mesti berangkat hari ini. Seorang agen menawari 170 ribu , tetapi dengan bangku semacam tempel dekat sopir. Aku menolak. Lalu aku ke bapak yang tengah asik menulis karcis bertulis Budiman di atasnya. Pak ada tiket ke Jogja? Untuk Hari ini? Iya. Sudah habis. Tapi  kalau mau naik Bandung-Wonogiri saja, berangkat jam 5, nanti diturunkan di jogja. Muncul secercah harapan bagiku. Bisa ya pak? Lewat Jogja kah? Aku bilang : saya mau ke UGM, itu spontan kuucapkan sebab pikirku UGM itu dekat aksesnya kemana-mana dan kawan-kawan yang sudah di Jogja tidak akan kesusahan mencariku bila sudah tiba di UGM. Bisa nanti ngomong aja ke sopir. Pak tolong dikasih tahu ya. Aku memberi penekanan. Ya. 135 Ribu. Bukannya 110 Pak? Itu kalau ke Jogja Dek, ini ke Wonogiri. Aku tidak ingin berdebat bahwa aku ini cuma sampai Jogja, yang penting karcisnya aku dapat, tiket atau karcis sama saja. Dia menulis namaku sambil menukas, nanti dapat makan. Oke ini sesuai dengan perkataan Kang Deden, Budiman itu dikasih makan. Hmmm. Tiket sudah ditangan aku segera menuju bus. Di dalam terminal.

Aku mengecek bus itu. Terkunci, namun ada seorang berdiri disana. Bertanya, mau kemana Dek? Mau ke Jogja Kang, disuruh naik ini. Oo...lalu ada beberapa kalimat yang membuat aku merasa kurang percaya diri, mestinya naik ini itu saja. Nanti turun di sana. Naik ini. Lebih dekat. Tapi aku mencoba yakin, biar saja, ini juga nanti sampai Jogja kok. Tekanku dalam hati. Aku cemas sedikit melihat bus ini belum ada isinya dan terkunci. Gagalkah? Ditipukah? Aku ingin mencoba membuka, terkunci. Lalu aku ingin ke tempat karcis. Dan sebelumnya bertanya kepada si Kakang, dikunci ya Kang? Engga. sudah ada orangnya? Sudah didalam. Tiba-tiba dia membukakan pintu, ternyata membuka pintu bus tidak ada tekniknya. Bodohya aku, pantas belum pantas dapat gelar sarjana.

Aku masuk ke dalam dan mencari tempat duduk, tidak ada nomornya jadilah aku mengira-ngira saja. Diluar aku mendengar ada yang bertanya kepada seseorang yang sedang mencoba menyetel musik dalam bus. Aku mengasumsiannya adalah sopir. Sambil menelepon ia dengan headset masih tercantol di sebelah telinga kirinya. Dia menjawab, ya, nanti turun di Gamping. Dua orang itu masuk dan aku bertanya, mas turun di Jogja ya ? Iya. Oke kita sama kataku. Nanti tolong ingatkan ya. Saya juga ingin ke Jogja. Kami berkenalan dan ternyata dia adalah mahasiswa S2 di UPI Bimbingan Konseling. Aku sendiri mereka berdua. Asik. Aku sekarang merasa aman.

Bus yang katanya berangkat jam 5 itu baru beranjak dari terminal sekitar jam enam. Sebelumnya seisi bus sudah dihibur oleh pengamen dan penjual makanan dan power bank. Aku membeli tahu sumedangnya. Dan aneh aku beli 5000 katanya dapat sebelas cuma ada delapan. Penipu.

Tidak hanya orang besar yang menipu di negeri ini, pedagang kecil juga banyak yang tidak jujur.

Aku kemudian tidur. Dan bangun-bangun bus ini sudah terjebak macet saja di jalan A.H Nasution. Lalu sekitar jam tujuh sampai di PO Budiman di Cibiru. Bus ini menaikkan penumpang lagi. Aku yang tadi sendirian sekarang sudah ada teman. Dia seorang perempuan berjilbab yang disuruh pulang oleh orang tuanya. Padahal baru tadi pagi sampai di Bandung. Dia mau ke Kebumen, aku jadi punya prasangka buruk ada keluarganya yang meninggal. Huh. Aku tidur lagi. Lalu Bus ini berhenti untuk makan di Ciamis. Tidur lagi dan setelah subuh, aku turun di Pasar Gamping. Jogja.