Resensi Novel Alenia

Kamis, Januari 14, 2016 0 Comments A+ a-

Resensi Novel Alenia


Judul                     : Alenia
Penulis                 : Risalatul H
Penerbit              : Penerbit Periuk
Cetakan               : I, 2015
Tebal                     : vi+171 hlm; 19x12,5 cm
Harga                    : Gratis. Pemberian Ki Kaboet Yogyakarta

Sari Khotbah Nietzsche dalam Tubuh Novel

Usia memang tidak membatasi manusia untuk berkarya. Penulis novel ini kelahiran 1995 di Pati. Artinya, beliau menelurkan cerita ini di usianya yang ke-20. Novel tipis ini semacam khotbah. Risalatul sebagai mahasiwa filsafat—(sepertinya seorang umat Nietzsche) ingin mengumumkan kepada pembaca, begini loh hidup itu. Ada nilai-nilai yang mesti kau lihat dari kacamata lain. Ada penjungkir-balikan nilai a la Nietsche yang ditawarkan oleh penulis.


 Kover novel ini diberi tanda 18+. Membikin penasaran. Dan memang beberapa adegan hubungan intim dinyatakan terang disini. Akan tetapi menjadi sebuah paradoks juga jika memang Risalatul mengimani Nietzsche, mestinya tidak ada dikotomi juga dalam pembaca novel ini. Tidak mesti ada tanda 18+ di novel ini.

Alinea bercerita tentang konflik manusia dalam pergulatannya dengan kehidupan. Masalah keluarga, percintaan yang sarat tragedi dan beberapa nilai-nilai yang sudah terkonstruksi dalam masyarakat.
Terima kasih sebelumnya kepada Ki Kaboet yang sudah memberikan novel ini sebagai hadiah atas kunjungan ke rumah seninya di Jogjakarta.

Adegan seks, perselingkuhan dan paradigma-paradigma masyarakat menjadi hal yang diungkap kentara dalam novel ini.

Novel ini dibuka dengan adegan bunuh diri seorang mahasiswa Jurusan Filsafat. Ia gantung diri di sebuah pohon depan kampus. Bukannya malah mendapat belas kasihan (memang orang mati tidak butuh belas kasihan, benarkah?). Kejadian tersebut justru menjadi cibiran bagi masyarakat. Memang mahasiswa filsafat suka begitu. Aneh-aneh dan mempertanyakan yang sudah jelas. Kurang kerjaan. Komentar salah seorang tokoh figuran.

Mungkin benar dan tidak sepenuhnya. Sama seperti mungkin salah juga tidak sepenuhnya. Cerita dimulai dengan dua orang kakak adik. Mereka saling menjaga. Sampai momen berkasihan itu datang. Si Adik menyukai Si Kakak dan Si kakak mencintai Si Adik. Konflik keluarga membuat ayah dan ibu mereka bercerai dan Si Kakak minggat dari rumah.

Mereka bertemu kembali saat sudah kuliah. Mereka sekampus. Pertemuannya khas, di perpustakaan, saat Si Adik sedang menjangkau buku Sigmund Freud di rak atas, Si Kakak tiba-tiba membantunya. Mereka seperti berkenalan kembali, Si Kakak mahasiswa filsafat sementara Si Adik jurusan psikologi.

Dari pertemuan kembali ini, tumbuhlah hasrat dan birahi. Tubuh mereka meronta minta bersatu. Hingga setubuhlah mereka beberapa kali di atas ranjang. Mereka memutuskan hidup berdua dalam satu rumah. Dan bercinta semau mereka.

Novel ini dapat dianggap sebagai khotbah. Seorang peresensi juga bilang bahwa ini adalah catatan seorang Nietzschean (mirip istilahnya dengan catatan seorang demonstran, Soe Hok Gie). Tidak berlebihan, dapat kita temui beberapa kalimat yang berbau nihilisme. Seperti pada ujaran Si Kakak.

“Kebenaran itu tak pernah ada. Ia hanya sebuah imajinasi yang membuat manusia berlomba mencarinya. Menemukannya sendiri. Mengakuinya sendiri. Dan saling bunuh-membunuh untuk mempertahankannya,” (hlm. 59).

Si Kakak sepertinya memang seorang yang mengamini Nietzsche. Terbukti dengan beberapa dialognya dengan Si Adik. Siapa filsuf yang paling kakak suka? Nietzsche jawabnya.
Dalam bukunya Gaya Filsafat Nietzsche, Pak A Setyo Wibowo bilang bahwa untuk seorang Nietzschean, Nietzscholog, ataupun Nietzschemania (istilah yang juga asing bagi Nietzsche sebab ia tidak mau diiikuti), menjadi ‘diri sendiri’-lah hal pokok. Tidak ada nama lain kecuali nama kita sendiri ! gnothi Séauton/ gnothie sauton (kenalilah dirimu sendiri). Bukan untuk mengikuti atau meniru Nietzsche sendiri. Paradoks barangkali, mengikuti untuk tidak mengikuti sekaligus.

Novel ini dirangkai dengan kata-kata yang menarik dan tidak membosankan. Dan hal yang saya tandai adalah adanya gaya penulisan yang menimbulkan “ternyata-ternyata” dalam membacanya. Mungkin bisa dibilang twist-twist namun dengan alur yang tidak terlalu diplintir.

Akan tetapi pada penggunaan sudut pandang, beberapa ‘aku’ agak membingungkan, beberapa bab dan bagian mesti dipahami konteks sebab si ‘aku’-nya berubah-ubah. Sudut pandang yang disengaja demikian atau memang sebuah kealpaan, tidak tahu.

Tetapi menurut pembaca seperti saya, hal ini merupakan suatu kekurangan sebab jikalau itu dipakai secara konsisten tentu akan kelihatan polanya pada pergantian adegan.

Novel ini tidak direkomendasikan kepada pembaca yang masih belum punya kesiapan mental. Ibarat sebuah bangunan, membaca novel ini seperti mengundang gempa. Ya apakah bangunan kita itu kuat atau rapuh bisa kita lihat setelah merasakan gempa tersebut.

Berikut saya kutipkan tentang Nietzzsche dari kata pengantar Syahwat Keabadian (Kumpulan Puisi Nietzsche) yang diterjemahkan oleh Agus R. Sardjono dan Berthold Damhäuser.

Nietzsche adalah tokoh besar yang mengguncang dunia. Kesendiriannya, ketidak bahagiaannya, percintaan, dan terutama perseteruannya dengan Tuhan dan/atau agama, tidak dijalaninya dalam kelembutan puitis, melainkan dalam ledakan-ledakan dan prahara puitis. Oleh sebab itu, karya-karya Nietszche muncul bagai gempa dan prahara bagi agama dan keimanan. Gempa dan prahara bagi agama dan keimanan semacam ini merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan beragama di Indonesia sekarang ini.


Selepas membaca Nietzsche dan mengalami gempa yang ia tebarkan dalam larik-lariknya yang gemilang, akan terlihat apakah keimanan kita masih tegak sentosa berkat fondasi yang kokoh sejati atau runtuh berkeping-keping bagai bangunan proyek yang dinding dan pondasinya rapuh akibat mark up dan korupsi.  (Agus R Sarjono : 2010).