Refleksi 2015

Rabu, Januari 20, 2016 0 Comments A+ a-

Refleksi Kehidupan Belakangan

Belakangan ini aku merasa ada yang monoton dalam kehidupan ini. Apakah arti dari kemonotonan? Ya salah satu bentuknya adalah kehidupan yang makin ramai dengan pertanyaan. Dan entah kenapa pada suatu saat aku menganggap pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah perlu. Akan tetapi di suatu saat yang lain, aku juga menganggap hal itu adalah hal yang esensial. Dan apa itu yang perlu? Mengapa harus ada yang perlu dan tidak perlu? Samakah ia dengan kebutuhan? Yang bila tidak terpenuhi dapat menyebabkan luka atau kehilangan eksistensial ? Tiga kata : aku tidak tahu.


Beberapa bulan terakhir ini melalui unit LS aku berkenalan dengan sesuatu yang baru. Baru bagi diri ini. Dunia yang sebelumnya tidak pernah terbayang. Mulai dari manusia nihilis, sampai ajaran dan aliran sampai manusia yang mengaku sebagai dinamit. Ah manusia, memang kadang-kadang suka Maha Ngaku. Sebut saja nama seniman yang tidak jelas itu : senartogok (sebab kalau jelas, ilmuwan lah namanya).  Manusia ejawantahan Mersault  tahun 2015 di ITB. Choirul Muttaqin. Ikhwan Abdul, matematikawan matriks mimpi, Kukuh penjual buku mahal dan jujur, Ofek dan kawan-kawan lain yang belum disebutkan namanya.

Aku tidak tahu apa yang aku ingin dan mau sebenarnya. Akan tetapi aku hanya dapat memperoleh dampak dan pengaruhnya. Apa itu? Aku makin haus dengan ilmu. Aku mulai membuka buku dan membacanya satu per satu. Meskipun tidak paham aku akan tetap terus membaca. Dan terus membaca. Iqra’ aku menghubung-hubungkan firman Tuhan kepada Muhammad ini dengan kegiatan membacaku ini.

Selain suasana kehausan, aku juga dilanda iklim berkarya. Ego diriku seolah ingin terus bersama mengeluarkan karya-karya tulisan yang kemudian ku posting di blog pribadiku. Berlomba dalam kebaikan bersama senartogok.com, wartamerta.com, phusiz.tumblr.com(sekarang sudah dot kom). Entahlah apakah ini kebaikan yang sedang aku kerjakan atau tidak. Meskipun hanya puisi-puisi kelas sampah dan catatan-catatan yang buruk, aku harus menerima mereka : karya-karyaku  sebagai bagian dari diriku yang pernah dan masih akan bersamaku.

Dunia kecil ini acap melantunkan diskusi, meskipun kecil tetaplah kecil. Biasanya diskusi-diskusi ini bertemakan random, nanti aku akan postingkan poster-posternya. Tentang tujuannya aku tidak begitu paham.  Namun dampaknya terasa, ilmuku seolah bertambah dan relasiku dengan kawan-kawan semakin dekat. Dalam diskusi-diskusi ini kami menggunjingkan Sokrates, Plato, Aristotles, Kierkegaard, Hegel, Nietzsche, Heidegger, Husserl, Sartre, Camus, Foucault, Derrida, Lyotard, sampai orang-orang macam sekarang : Iwan Fals, dan kawan-kawan sendiri. Kami saling bertukar bacaan. Dan kalau kau ingin melihat hasilnya ada didokumentasikan oleh kawan Adit. Kahim Matematika itu.

Aku ingin menamakan kegiatan-kegiatan itu dengan kegiatan pura-pura. Pura-pura berfilsafat, pura-pura berintelektual dan pura-pura kritis, sebab hakikatnya manusia adalah hamba Tuhan.




Relasi dengan Lawan Jenis Sebagai Proyeksi Diri

Aku dengan segala pengetahuan dan informasi yang kuperoleh memang sulit dekat dengan manusia lain. Terutama dengan perempuan sebagai lawan jenisku. Padahal lawan disini harus dan mestinya dijadikan kawan. Beberapa kawan-kawanku (sealmamater SMA) berpendapat bahwa faktor sistem pendidikan SMA-ku. Kata sebagian mereka, model pendidikan karakter yang dijalankan di SMA ku ini membuat kemampuan interaksi antara laki-laku dan perempuan menjadi kurang. Sebab rumit. Dan aku merasa kagok juga. Barangkali tesis ini tidak sepenuhnya benar. Dan tentu tidak sepenuhnya salah. Bagiku yang jelas adalah dampaknya. Aku berdiri di dunia yang kemudian begitu dinamis dengan relasi hubungan laki-laki dan perempuan. Pada beberapa waktu lalu aku sudah mengeposkan tentang kisahku yang tragis dengan perempuan lewat judul sekelingking cerita perkenalan. Kali ini aku ingin cerita yang lain. Sebelumnya mungkin akan kubuka dengan tragik seorang kawan bernama Heru, yang dikenal dengan Romo Heru.

Heru punya pacar, namanya Lydia. Wanita, cantik, mahasiswi ITB, pintar dan baik. Heru berbahagia dan begitu menikmati hubungannya dengan Lydia. Perasaan getar cinta itu merambat ke sekujur tubuh dan batin Heru. Kemesraan mereka lalui melalui obrolan, percakapan, jalan-jalan berdua, pegang-pegangan tangan, dan nonton bioskop-an. Ya seperti dua kekasih yang sedang memadu cinta seperti umumnya. Hingga pada suatu saat kemesraan itu jatuh pada titik kritisnya. Lydia bilang ke Heru bahwa saatnya rehat sejenak. Memberhentikan kemesraan-kemesraan itu. Lydia menurut penuturannya ingin berfokus kepada kuliahnya. Heru agak berat namun tetap harus menerima permintaan Lydia ini. Bahasa anak kekinian adalah putus. Dan alangkah terkejut dan sakit hatinya Heru begitu mengetahui sebulan setelah putus ini, Lydia pacaran dengan lelaki lain. Berfokus bermesraan dengan pria lain.

Nah aku juga tidak tahu apa maksud dan tujuan menceritakan perihal Heru tersebut. Mungkin hanya tragik, ingin menyaksikan Heru sedih dan mempertontonkannya kepada pembaca catatan ini.

Sekitar bulan apa aku lupa. Aku punya kawan baru (susah-susah orang sepertiku  punya kawan) apalagi dari golongan kaum Hawa. Sebenarnya aku tidak tahu apakah dia kawanku atau tidak. Yang jelas kutahu adalah aku menganggapnya begitu. Masalah aku bagi dia, terserahlah. Hawa ini namanya Hadne. Beliau adalah yang beliau perbuat. Ah, konkretnya dia ini mahasiswi Unpad. Berasal dari propinsi Jawa Barat. Tubuhnya mungil berkacamata dan menutup aurat. Namun demikian, aura kecantikannya tetap terpancar dan berkeciap.

Awalnya beliau ini selaku panitia pegelaran GSSTF ingin memberian undangan kepada unit LS ITB. Yang baru kumasuki setahun belakangan. Gara-gara bos Kukuh sedang sibuk, maka akulah yang menerima undangan tersebut. Ya undangan ini kuterima setelah aku dan Hadne bertemu pada saat itu didepan kampus ITB. Aku juga memberikan catatan kecil tentang acara pagelaran gsstf itu. Sebagai semacam respons dan umpan balik. Dan sudah ku-posting juga di blog ini. Hadne ini menurutku adalah kawan yang pandai dan terampil. Pandai bicara dan juga melucu. Sebenarnya bila ditarik sebuah garis khayal ada kesamaan kami : baca. Makanya dalam perteman selanjutanya aku menghadiahi Hadne 2 buah buku. Dan beberapa koleksi film dari harddisk-ku yang sekarang tengah mati suri (antara rusak dan hampir rusak). Nah tidak tanggung menanggung, 2 buku itu adalah Sejarah Filsafat Barat Bertrand Russell(buku yang tidak isinya saja berat, tetapi beratna juga sebab tebal lebih dari 1000 halaman) dan Humor filsafat Plato ngafe bareng singa laut. Tampaknya dia senang. Aku juga ikut. Pada keseharian selanjunya, teknologi menjembatani kami untuk mengobrol. Semakin terasa bagiku kehangatan Hadne ini.  Sampai saat-saat yang mengguncang itu terjadi. Ah ditangguhkan dahulu. Ada sesuatu hal baru yang ingin kucoba semenjak menjadi kawan Hadne ini.  Aku menempuh kursus Perancis di UPT bahasa kampus. Apa tujuannya? Tidak tahu, mudah-mudahan dapat ilmu baru.

Aku sering berucap dalam hati. Sampai menuliskan bagaimana mungkin seseorang (aku) yang sudah bersalaman dengan eksistensialisme masih saja dirundung mauvaise foi (bad faith) dalam dirinya. Prasangka, pikiran jelek ini seharusnya sudah dibuang semenjak membaca eksistensialisme. Pikiran-pikiran buruk (prasangka buruk) itu muncul pada saat-saat aku mulai terguncang. Kasus-kasus sederhana membuatku merasa goyah eksistensial. Misalnya chat-ku yang tidak dibalas selama 2-3 hari. Atau sms-ku yang tidak dibalas selama seminggu. Muncul prasangka-prasangka buruk yang seharusnya sudah sirna sejak dahulu. Namun apa daya, barangkali  dengan ekspektasiku  yang terlalu tinggi ini saat berjumpa dengan realitas menyebabkan begini.  Misalnya, muncul anggapan perbandingan :  padahal dulu Hadne ini terlambat balas chat saja, dia itu minta maaf. Mau memutus atau mengakhiri obrolan juga dia pakai minta izin. Ya semua kondisi serba sahaja itu. Ah. Aku mulai sinis juga pada diriku. Heru dan Lydia saja yang sudah mengecap kemesraan bersama berakhir tragis. Huh asra. Kau sendiri yang bilang dirimu itu adalah putaran hasrat dan pasrah di garis waktu.

Setiap manusia punya prioritas-prioritas pilihannya. Jadi, kebebasan termanifestasi dalam bentuk pilihan-pilihan yang ditentukan dalam  menjalani kehidupan dan tidak boleh ada penyesalan di dalamnya.  Carpe diem kata seorang penyair Yunani(Horace). Raihlah hari ini. Setiap diri mesti menjalani proyek kehidupannya masing-masing. Tak peduli proyek itu akan gagal atau berhasil, yang penting final dan dihajar sekuatnya. Matilah yang menjadi pengakhir proyek tersebut. Ia mesti final dan berhenti ketika mati, kecuali konsep pahala dan amal jariah yang ada dalam agama islam. Oh ya frasa carpe diem itu adalah yang kuperoleh dari Hadne saat kami tengah mengobrolkan Albert Camus dan Sartre. Akhir-akhir ini aku tertimpa kemurungan entah kenapa. Aku jadi terhanyut dalam aliran sungai melankolik.

Tulisan, karya yang dimuat dalam blog pribadi 3 bulan terahir ini. Aku memaksa diri merutinkan posting di blog, terutama resensi buku. Bulan oktober kemarin aku punya proyek menyelesaikan bacaan-bacaan eksistensialisme . Buku tentang Kierkegaard, Heidegger, Sartre, Camus, Fuad Hassan dll. mulai kubaca. Lalu kutuliskan resensinya (sebagian kecil sudah kuposting di blog pribadi ini). Namun aku merasa proyek itu gagal karena tidak semua buku kutamatkan. Aku cepat bosan. Juga jangan-jangan ini hanya pelarianku saja terhadap keseharian yang lain.

Beberapa (3 bulan terakhir) ini juga aku selalu menulis puisi kepada kawan-kawan alumni SMA yang ulang tahun.  Semuanya yang kutulisi ini adalah perempuan. Memostingnya di grup line angkatan. Beberapa, eh semua mereka suka dengan puisi-puisi itu. Tapi entahlah mereka sekadar belas kasih saja atau memang jujur. Tidak akan kupermasalahkan. Yang penting puisiku jadi dan punya ikatan emosional denganku.  Tentang eksistensialisme menjadi topik atau kerangka atau bangunan utama karya-karya puisiku akhir-akhir ini.  Dihubungkan dengan pencarianku akan hakikat relasi dengan lawan jenis. Barangkali aku sudah overthink atau offside atau tidak juga, aku salah menilai diriku, siapa yang tahu? Siapa dapat menilai? Huh yang jelas aku makin larut dalam keseharian. Dalam puisi dan catatan-catatanku aku merasa semakin individualis saja. Aku seolah memusatkan segalanya bagi kebebasanku. Aku juga tidak tahu mengapa. Mudah-mudahan aku selalu dimudahkan Tuhan.


Relasi dengan kawan-kawan SMA

Seperti biasa, aku makin intens berkumpul bersama mereka. Nongkrong, ngobrol, mainkartu sambil saling tertawa dantidak jarang saling menghina.  Hidup yang begini-begini saja.  Baru-baru ini ada prosesi upacara wisuda kawan-kawan ITB sehingga kawan-kawan dari Jakarta datang sekompi. Kawan yang baik meluangkan waktu dan adanya buat kawan yang lain. Mereka (rombongan dari Jakarta ke Bandung ) menyewa satu unit mobil dan mengisinya penuh.  Berangkat dari Jakarta  menuju Bandung dengan Didit sebagai driver andalan. Nanti akan kuceritakan spesial mengenai cerita itu. Tiga kata. Tertawa, ngobrol dan nongkrong.

Hubungan dengan keluarga

Aku merasa sepertinya makin jarang menelpon ibu dan kakak. Sedangkan si adik, lumayan sering me-sms ku.  Aku merasakan makin ada jarak dengan keluarga. Aku seolah menjauh dengan kurangnya intensi relasiku dengan mereka nun jauh di Pulau Sumatera. Meskipun demikian, aku tetap menelpon dan sesekali me-sms ibu.

Kegiatan ekonomi, hunting buku, jual buku, beli buku,  pinjam uang, dan upaya penghematan

Setelah pulang kemarin(libur puasa dan idul fitri) dan mendengarkan cerita ibu tentang kesulitan ekonomi, aku pun mengusulkan, supaya uang bulananku diganti menjadi per minggu saja. 300 seminggu. Awalnya sempat dua minggu. Namun tetap saja kurang. Dan akhirnya menjadi naik 400 seminggu. Aku mulai mengurangi aktivitas membeli buku.  Aku menahan nafsu beli buku. Jika sebelumnya aku bisa beli sampai 15 buku per bulan (di awal bulan) karena uang belanja dikirim di awal bulan untuk sebulan. Sekarang tidak aku harus mengaktifkan lagi kegiatan jual beli buku-buku. Supaya dapat bertahan dalam segala kondisi.  (terutama nafsu membeli buku). Bila di hari jumat atau sabtu uangku sudah habis,  aku akan meminjam kepada Rezky dan berjanji akan mengembalikannya senin ketika uangku sudah dikirimkan.  Sampai saat tulisan ini kubuat sudah lebih sebulan aku belum bayar utang ini.

Kehidupan akdemik

Semester 9 ini aku mengambil beberapa mata kuliah. 90 persen kawan angkatanku sudah lulus semua. Aku baru mengambil TA2 (baca : te a dua) semester ini. Bersama beberapa kawan lain. Okie si manusia misterius itu (padasaat tingkat 2 dan 3 dan 4). Tingkat 5 ini mulai acap bertemu denganku di kelas maupun di luar kelas. Di tiben di sunkencourt juga. Dia juga sudah 3 kali ke kosanku. 2 diantaranya menginap. Belajar untuk ujian kompre bersama. Setidaknya aku sekelas 4 matakuliah dengan Okie. Sebut saja Instrumentasi dan Kontrol Industri, Fisika Medik,  Tugas Akhir 2 dan Kapita Selekta Teknik Fisika.



Pemahaman atas Konsep-konsep yang didapat dan Pelaksanaannya

Aku kadang makin percaya diri dan tidak jarang merasa sombong. Namun sikap murung dan melankolikku tetap tidak bisa hilang. Tentu prasangka buruk itu dan bagaimana menjadi lelaki yang baik belum dapat kujalani dan kupahami sepenuhnya. Relasiku makin mengerucut dengan orang-orang yang begitu-begitu saja. Namun tidak menjadi masalah, ada iklim berkarya yang kudapat disana.

-kelompok-kelompok jenis buku yang dibaca sudah jelas : filsafat yang tidak jelas dan filsafat sastra yang membingungkan  dan pas dan cocok sebagai pelarian


-pengamatan masalah kawan-kawan terutama imam beberapa waktu lalu aku dan imam berjalan naik damri ke jatinangor buat menonton sidang sarjana kawan Dyno.  Ditengah perjalanan pulang kami bercerita. Banyak tentang hiudp yang mulai harus dipikirkan dan dijalani dengan penuh keyakinan.  (ditengah pawai persib yang juara piala presiden). Ya begitulah mulai dari spiritualitas yang mempengaruhi alam benda sampai masalah masa depan. Imam banyak berkisah dan bercerita yang bisa diambil ibroh dan hikmahnya.  Suatu saat saya ingin bercerita tentang dia.  Aku segerakan berkontemplasi