Catatan Liburan Akhir Tahun 2015 #4

Kamis, Januari 14, 2016 0 Comments A+ a-

2 Januari 2016

Hari kedua di tahun ini kunyalakan di Solo. Pagi-pagi Kukuh sudah membawa kami ke pasar. Bukan untuk membeli sayur atau pakaian. Tapi ingin melihat-lihat kejadian-kejadian, ah apalah namanya. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah kompleks Pasar Klewer. Di seberangnya itu kami berhenti, memarkir honda jazz kukuh yang matic itu. Lalu sedikit berjalan ke toko yang menjual blangkon, keris, baju kejawen, patung dan macam-macam benda mati lain. Kata siapa benda mati? Tentu saja menurut kategori dari ilmu biologi. Kukuh bertanya kepada ibu-ibu yang sedang duduk di depan tokonya, seperti ingin menunggu pembeli. Bu dimana ya toko buku (orang-orang yang jualan buku). Si ibu bilang di seberang sana. Lalu kami berbalik arah, mengikuti telunjuk ibu itu dan mengikuti langkah kaki kukuh.




Tidak jauh cuma sekitar 200m kami sampai pada kios-kios buku campur. Maksudnya buku baru dan bekas buku asli dan bajakan, buku dan bukan buku, majalah komik dan poster. Aku merasakan atmosfer yang mirip dengan Dewi Sartika Bandung. Semacam pasar buku. Bedanya kalau di sini. Ada kios-kios sementara di Bandung, melapak saja di emperan dan tepi jalan. Mungkin ini paduan antara palasari dan dewi sartika hipotesisku.

Ada beberapa buku yang kuminati di sana, seperti buku-buku novel inggris, karangan Helman Melville, puisi-puisi sastrawan indonesia yang sudah tenar macam Saut, Rendra, Gus Mus, dan masih banyak lagi. Harganya juga tergolong murah dibandingkan dengan pasar buku online di facebook. Tapi aku sengaja tidak membeli buku, sebab bukan apa-apa, aku ingin berhemat. Uangku tinggal sedikit. Birahi membeli buku mesti ditahan kali ini.

Kami berkeliling, mata kami menyapu setiap judul buku, berlebihan. Okie kepincut dengan satu buku berjudul Aliran Kebatinan Jawa kalau tidak salah. Ia membeli, sebelumnya menawar. 18 ribu.
Kami beranjak dari sana menuju keraton.

Keraton Solo. Sempat ada hal humor yang terasa bagiku. Sebab tidak diperkenankan memakai sandal. Apa artinya itu? Kami bertiga jelas bersendal. Jadi tidak boleh masuk ? Harus pakai sepatu? Macam ujian tengah semester di kampus saja. Lalu aku mengkonfirmasi pertanyaan itu kepada penjaga loket tiket. Katanya nanti di dalam, ada area mesti lepas alas kaki. Hoooo... begitu toh.

Setelah membayar tiket kami masuk. Berjalan. Ternyata tidak sedekat yang kubayangkan. Kami mesti berjalan lumayan jauh lebih dari seratus meter. Dan ternyata mau ke makam dulu. Ziarah. Kepada Ki Solo dan satu lagi yang aku lupa namanya. Kami berjalan di tengah terik di antara gang-gang di sana. Ada fenomena menarik yaitu es teh yang digantung. Hampir di tiap gang kami temukan itu. Aku bertanya kepada Kukuh apa itu maksudnya? Ternyata Okie lebih dulu bertanya itu kepada Kukuh sebelumnya. Gak ada maksud apa-apa biar gak tumpah. O kiraiin sesajen, tukasku.

Sesampai di makam yang ternyata pintu masuknya melalui rumah sang penjaaga makam. Kami masuk. Melewati ruang tamu dan berbelok ke kanan. Sudah ada dua makam besar di sana. Maksudnya besar disini adalah tingginya yang hampir setengah meter dengan semacam besi atau batu atau semen dan ada bebungaan dan air di sampingnya.

Sepulang dari makam kami baru masuk ke keraton. Kaki lumayan olahraga juga. Di sana ditampilkan beberapa barang peninggalan dari masa dulu seperti keris, cangkir, dan macam-macam, ada juga pistol, kereta kuda, kereta sapi, tapi menurutku tempatnya seperti kurang terawat. Banyak debu, sarang laba-laba juga. Setelah itu mau masuk ke daerah apa itu namanya aku lupa. Tetapi dilarang pakai sendal ke sana. O ternyata ini tempat yang dimaksud dilarang bersandal itu. Tetapi uniknya boleh pakai sepatu. Cuma ada dua pilihan tanpa alas kaki atau sepatu. Aku langsung berpikiran negatif. Wah-wah jangan-jangan ini untuk memfasilitasi orang barat atau turis yang biasanya pakai sepatu. Lalu muncur pikiran positif, atau barangkali memang kalau sepatu dilepas pengelolaannya juga susah, tempatnya juga butuh luas dan bisa-bisa bau menyengat lagi. Huh tak tahu. Yang jelas kami buka sendal masuk sana. Bangunan dengan tanah biasa, kaki kami menyentuh tanah yang berdebu. Dan disiram dengan kran putar biar debunya basah. Hahahaha. Seperti tempat-tempat sebelumnya macam Candi Sukuh dan Cetho, amat ramai orang-orang berfoto ria, berselfi.

Kukuh langusng membela opiniku yang pertama. Munafik. Apa maksudnya mesti lepas sendal tetapi sepatu tidak? Menganggap sepatu lebih sopan? Mestinya dilepas dua-duanya atau boleh keduanya. Huh.


Sebelumnya kukuh juga menimpali di dalam museum itu, lihat pakaian para raja, terselip gaya barat, tidak pede. Ah apalah aku lupa.

Sepuas dari keraton kami ke tempat mobil di parkir, tempat pasar barang-barang yang tradisional tadi. Menunggu Yogi. Kami solat zuhur dulu di dalam. Lalu mengantar motor dulu ke rumah Pakdenya Yogi. Lalu naik mobil ke Kalitan, rumah mendiang Pak Harto.

Makan siang dulu. Sempat terjadi diskusi pelik antara kami. Ada yang mau soto, ada yang mau selat, ada yang mau kupat tahu, ada yang bilang kupat tahu mah bisa di Bandung. Ada yang bilang sate kambing. Ujungnya adalah makan tahu kupat. Di tepi jalan itu di dekat toko sepatu home made itu kami melepaskan lapar dan menggantinya dengan kenyang. Kupat tahu yang enak itu dengan es teh manis terasa pas. Memang benar kata Kukuh dan Yogi, beda dengan di bandung. Di sini kupat tahunya tahunya itu dipotong sekuran tahu sumedang dan digoreng lumayan matang. Lalu pakai telur dadar dan kuah yang lebih banyak. Rasa kuahnya mirip dengan rasa kuah martabak mesir. Campuran air kecap garam, sedikit asam atau cuka dan bawang goreng dan cabai rawit iris.

Setelah bayar. Segera menuju Kalitan

Di kalitan. Terhitung sepi. Ketika kami masuk, cuma ada sekitar 8 orang pengunjung, dan tidak ada selfi-selfie an tidak. Ya mungkin karena suasananya ya. Rumah yang tidak terlalu nge-hits dan kurang keren kalau diposting di instagram, terkesan kuno dan ah, semua prasangka burukkku saja.

Yogi balik dan kami juga. Yogi diantar. Kami yang mengantarnya.

Malam itu Kukuh ada acara keluarga. Ada acara tujuh bulanan kehamilan seorang anggota keluarga beliau. Semacam mendoa. Dan acara makan-makan juga. Kukuh ikut dan katanya nanti dia akan cabut dari acara itu dan menjemput aku dan okie jam 10an ke cangwit.

Oke. Aku dan Okie tidur di ruang tamu, tapi karena musik tidur Okie amat keras. Aku naik ke atas. Ke kamar. Menuju kasur. Mau tidur disana. Lalu jam 10 Okie masuk kamar, ia juga pindah. Jam 11 kukuh datang, dia sempat menelpon berkali-kali dan memencet bel, baru kami bangun. Hujan lebat ternyata. Untunglah Kukuh belum terlalu lama di luar.

Kami segera bersiap. Masuk mobil, menerobos jalanan hujan Karanganyar ke Pucang Sawit, Pasar Pucang Sawit, alias Cangwit itu.

Di Solo ternyata tidak terlalu hujan, cuma gerimis. Hujan lokal.

Sesampai di sana, ketemu dengan kawan-kawan SMA kukuh yang sedang nongkrong juga di sana. Sempat bercakap-cakap sebentar, tetapi karena sepertinya Kukuh kurang nyaman dengan mereka, karena sesuatu hal. Kami pindah ke Kedai Kita. Tempat yang di sarankan oleh mereka juga sebab Kukuh sudah menyatakan tujuan dan hendaknya apa.

Segeralah kami ke Kedai Kita. Di sana bertemu dengan pemuda inspiratif itu, sebut saja demikian, beliaulah orang dibalik pemberdayaan ruang pasar cangwit  itu menjadi ruang terbuka kreatif setelah sebelumnya pasar itu tidak termanfaatkan. Berawal dari pembicaraan dia dengan kawan-kawannya tentang public space, diskusi mereka dan ditinjak lanjuti dengan aksi nyata. Mereka mulai dari nol, sampai dengan persetujuan Walikota solo. Mungkin Kukuh atau Okie nanti akan bisa menceritakan lebih detail bagian ini

Hampir jam satu, kami balik. Oh ya, tadi Yogi menyusul naik motor, dia juga ternyata baru  selsesai ada acara keluarga juga.

Kami balik. Setelah ternyata Kunci rumah tertinggal di Honda Jazz itu. Sebelumnya, bapak ibu dan adik kukuh naik mobil itu ke acara keluarga. Lalu kukuh menyusul dengan kijang. Kemudian, kukuh bawa Honda jazz itu ke sini bersama kami dan keluarganya pulang akai Kijang itu, kunci rumah ada di honda jazz. Ketika keluarganya pulang tidak ada kunci, jadilah mereka menunggu di luar dan menunggu kami. Ternyata sudah banyak telpon masuk. Kami segera pulang