BALADA PIL PINTAR 119

Rabu, Juli 11, 2012 1 Comments A+ a-

BALADA PIL PINTAR 119

“Emir Tasaq Wanda”
“Furqon Wahyu”
“Latifah Aini”
“Putri Maharani”
“Salsabila Zaffaran”
“Sarja Winata”
“Sehat Nasution”
Suara Pak Tamrin terdengar sayup-sayup mengecek kehadiran muridnya satu persatu. Sesekali ia terlihat membetulkan posisi kacamata tuanya naik turun. Mungkin daftar nama itu sudah tak terlihat jelas lagi oleh pak guru berusia 54 tahun ini. Ditambah lagi bulir-bulir air yang sepersepuluh detik menghantam atap kelas sehingga menimbulkan bunyi berisik, menyebabkan Pak Tamrin harus memperlebar amplitudo suaranya agar terdengar oleh siswa. Namun bapak wali kelas ini tetap berwibawa dengan jaket kulit warna cokelat, yang dipakainya untuk menahan hembusan angin dingin dari ventilasi. Rupanya hujan tadi malam belum berakhir hingga pagi ini.
Iwin—siswa kelas XI IPA 1, terpaksa berangkat sekolah karena sang ayah sudah menatapnya dengan tatapan merah tembaga, sejak tadi pagi. Iwin adalah murid Pak Tamrin. Ia siswa yang terkenal di SMA-nya. Semua guru kenal dengannya, bahkan kepala sekolah dan petugas TU pun demikian. Namun Sarja Winata, alias Iwin, bukanlah siswa berprestasi. Iwin terkenal dengan cara yang berbeda dengan Furqon Wahyu sang ketua OSIS, Putri Maharani yang anak kesayangan guru, atau Sehat Nasution, kapten tim basket. Ia terkenal sebagai siswa termalas. Andai saja ada award kategori The Laziest Student, Iwin akan menang mutlak. Mengapa? Ia sudah berbelas-belas kali tidak mengerjakan PR Bu Imar, guru ekonomi yang terkenal galak di sekolahnya. Jika Bu Imar pernah memberi nilai nol di rapot seorang siswa tahun lalu, untuk Iwin barangkali nilai minus akan Bu Imar keluarkan.

***
 “Lagi-lagi dengan kasus yang sama. Tidak membuat PR dan remedial berturut turut untuk 7 mata pelajaran” keluh Bu Asti seraya membolak-balik buku tebal berwarna kuning : Buku Kasus Siswa.
“Ibu kan sudah bilang, kamu seharusnya rajin belajar, rajin mengerjakan tugas. Kamu ada masalah ya? Mengapa nilaimu pada Ujian Tengah Semester ini begitu anjlok? Kalau ada masalah cerita saja. Nanti biar kita cari solusinya bersama.”
Iwin tetap diam. Ia semakin membungkukkan badan seperti seekor kaki seribu mempertahankan diri dari serangan musuh.
“Kalau kamu tetap tertutup seperti ini, Ibu juga tidak bisa banyak membantu kamu. Ya sudah, tidak sampai dua bulan lagi ujian akhir semester akan diadakan. Tingkatkan nilaimu ! Kalau tidak, kemungkinan buruk kamu akan tinggal kelas.”
Mendengar dua kata itu Iwin seperti merasakan aliran listrik 220 Volt menjalari setiap anggota tubuhnya. Semua rambut di seluruh tubuhnya berdiri. Jantungnya bergetar hebat. Cemas. TINGGAL KELAS. Tetapi Iwin tetap mematung, menahan rasa khawatir yang menyerangnya. 
“Ini, berikan pada orangtuamu” Bu Asti menyodorkan sepucuk surat berstempel SMA 19.
“Ibu ingin mengkonsultasikan ini dengan orangtuamu”
Tidak salah lagi. Ini adalah surat panggilan ketiga yang Iwin terima selama semester ini.
***
“Win, mengapa nilaimu sampai seanjlok ini, Nak? Kamu tidak pernah belajar ya?” Ibu bertanya serius sembari memperhatikan surat panggilan beserta satu lampiran nilai rapor tengah semester 2 milik anak tunggalnya itu.
“Bu, yang penting itu kejujuran. Iwin bisa saja mencontek kalau ingin dapat nilai seratus. Tetapi mencontek itu haram, Bu!”
“Iya, iya, yang Ibu tanyakan nilai kamu, mengapa dibawah standar KKM semua? Ini bukan masalah mencontek itu haram atau tidak.”
“Iwin akui, nilai Iwin jelek, tapi setidaknya itu hasil keringat sendiri, tidak mencontek. Kejujuran adalah hal yang paling mahal harganya Bu, mata uang yang berlaku dimana-mana.” Iwin membela dirinya seraya menuju kamar.
Ibu Iwin membalikkan badan namun Iwin sudah terlebih dahulu mengunci pintu kamar. Ia tak sempat melihat mata ibu berkaca-kaca karenanya.
Ah, Iwin. Meskipun ia sudah berhenti mencontek sejak ikut rohis, namun sifat malasnya itu masih saja dimilikinya.
***
“Baiklah anak-anak, kita kedatangan murid baru. Perkenalkan, namanya Matsani. Ia adalah siswa pindahan dari SMA Unggulan di Jakarta. SMA apa namanya, Mat? Bapak lupa” Pak Tamrin berujar dengan semangat.
“SMA Cendekiawan,Pak”
“Ya SMA Cendekiawan”
“Selamat bergabung dengan kelas XI IPA 1, Mat, semoga merasa comfort dan betah belajar disini” ketua kelas berdiri memberikan sambutan hangat kepada penghuni baru kelasnya.
“Kursi di sebelah Iwin kosong. Silakan kamu duduk disana” Pak Tamrin menunjuk lurus ke pojok kiri kelas.
“Hati-hati Mat, nanti kamu ketularan jenius-nya si Iwin, dan efeknya bisa...”
“Ssstttt, diam kamu Emir. Tidak baik begitu.” Belum selesai Emir  berceletuk, Putri segera memotong.
***
“Nah, begitu ceritanya Mat, perkataan Emir hanya ironisme” Iwin menceritakan kejadian kemarin, lengkap dengan ancaman Bu Asti. Bila saja nilainya tidak membaik saat ujian semester ini, ia tinggal kelas. Bergabung dengan adik-adik kelas yang ia bentak-bentak saat masa orientasi siswa baru.
“Begini saja Win, aku punya resep rahasia. Ini adalah salah satu penelitian pamanku. Tapi jangan bilang siapapun ya. Ini rahasia antara kau dan aku. Pamanku seorang profesor bidang farmasi. Ia salah satu ahli farmasi terhebat di Asia. Jurnal-jurnalnya telah diakui bahkan diburu di dunia internasional. Risetnya kebanyakan tentang obat-obatan yang meningkatkan kinerja sel saraf. Sederhananya ia membuat obat pintar. Barangkali ini akan membantumu.”
“Sejenis pil pintar yang di film-film maksudmu? Itu kan fiksi? Science fiction” Iwin tak percaya.
 “Apa salahnya mencoba? Saya sudah merasakan khasiatnya” Matsani meyakinkan.
“OK, tak ada salahnya mencoba”
“Tetapi saya harus me-request-nya dulu dari Jakarta. Untuk kamu yang sedang dalam masalah berat seperti ini saya akan berikan gratis. Free of Charge. Itung-itung amar makruf juga.”  
“Tapi, tapi, Pil itu  halal kan? Tidak mengandung narkotika atau zat adiktif kan? Tidak ada efek sampingnya kan?” Iwin memastikan.
“Tentu saja. Ini seratus persen halal, tanpa zat berbahaya.” Matsani meyakinkan.
 Pantaslah si Matsani menjadi orang yang hebat dan pintar. Gumam Iwin dalam hati.
***
Ini adalah hari ke sekian setelah pembicaraan tentang pil pintar antara Iwin dan Matsani.
“Ini obatnya” Matsani mengeluarkan tiga botol bening. Masing-masing seukuran kepalan tangan. Botol itu tidak memiliki label. Isinya bisa diterawang dari luar. Hanya seperti pil-pil antalgin biasa yang dijual di apotek-apotek. Bedanya hanya warna. Antalgin putih dan pil ini cokelat.
“Nah lo, obat ini ilegal ya? Belum terdaftar di POM dan belum ada label halal dari MUI.”
“Ya jelas saja obat ini belum beredar di pasaran. Ini pribadi dan rahasia. Paman saya baru menggunakannnya untuk kepentingan keluarga. Saya dan adik saya sudah mengonsumsinya sejak SMP. Ingat, ini rahasia. Saya cuma kasihan sama kamu dan ini akan membantu. Ini saya minum satu” Matsani membuka botol, mengambil satu buah pil dan menelannya.” Tingkah Matsani ini melibas tuntas keraguan dalam hati Iwin.
“Dosisnya gimana?
“Simak baik-baik, saya tidak akan menjelaskan dua kali. Disini ada 120 pil. Karena satu sudah saya telan maka sekarang tinggal 119”
“Itu saya juga tahu” ujar Iwin tak sabaran.
“Jangan memotong  dulu!” Matsani meletakkan telunjuk secara melintang di bibirnya. “Setiap kali engkau selesai belajar, segera telan satu butir pil ini. Dan ingat, jangan kurang dari tiga kali sehari. Pil ini hanya akan berkhasiat kalau 119-119 kau habiskan. Kau harus yakin.”
Tanpa berpikir dua kali, Iwin menerima. Ia tidak mau tinggal kelas.
“Semoga berhasil”
“Sip”
***
Hari-hari Iwin, ia belajar dan tidak lupa setelah selesai belajar ia selalu meminum pil pintar itu sebutir demi sebutir.
Seminggu menjelang ujian kenaikan kelas ternyata pil pintar masih banyak tersisa. Iwin harus menghabiskan pil ajaib itu segera, berarti ia harus belajar semakin banyak agar bisa menelan pil tersebut lebih banyak lagi. Dengan usaha yang maksimal akhirnya ia berhasil menghabiskan pil itu dengan sempurna, tanpa satu butir pun tersisa.
***
Masa ujian telah selesai. Seminggu lagi adalah hari pembagian rapor.
Hati Iwin dag dig dug. Apakah pil itu benar-benar bekerja atau tidak? Ah, tidak peduli. Ia harus naik kelas.
Hari Sabtu. Semua siswa memakai baju rapi. Rambut mereka disisir rapi. Wangi parfum bertabrakan di udara dan suasana tegang menyelimuti. Siswa-siswi menunggu di luar kelas. Orangtua mereka-lah yang akan menerima rapor hasil belajar semester dua ini. Satu persatu nama siswa dipanggil. Pak Tamrin pun membagikan rapor. Nama Iwin belum juga dipanggil. Padahal tinggal empat orang tua lagi yang masih berada di dalam kelas.
“Orangtua dari  Sarja Winata” Pak Tamrin memanggil namanya. Ibu maju mendekati meja kayu pak Tamrin.
Ibu menangis ketika membuka rapor yang Pak Tamrin berikan.

Biarlah ibu, aku akan mengulang tahun depan. Aku berjanji tidak akan berleha-leha lagi. Aku berjanji akan membahagiakan ibu. Dan membuat ibu tersenyum di hari pembagian rapor semeseter nanti. Biarlah kutanggung malu bergabung dengan adik kelas. Aku akan berjuang bersungguh-sungguh dengan sekuat tenaga. Kalau perlu, nilai seratus akan berjejer dan berbaris rapi di raporku nanti

Astaga. Pertama kalinya Iwin melihat ibunya menangis sejak kematian nenek tiga tahun yang lalu. Alamak. Ia pun terbawa suasana. Matanya merah, sembap. Ia takut menyakiti perasaan ibu. Iwin telah mengecewakan orang tua, anak yang membuat orang tua susah, dan bahkan membuat ibu menangis. Kedoknya sebagai si Super Pemalas tak bisa disembunyikan lagi.
Kalimat-kalimat semacam itulah yang muncul di benaknya. Ia tak mampu menahan, air mata sedih bercampur sesal menganak sungai di pipinya. Dadanya sesak, ingin rasanya ia berlari sejauh-jauhnya dari kenyataan ini. Memutar waktu kebelakang dan belajar lebih giat.
Iwin mendekati ibu, “Maafkan aku ibu, aku berjanji akan memperbaikinya, aku berjanji ibu” air matanya semakin banyak meleleh.
Matsani! Dari awal aku sudah curiga, mana mungkin ada pil pintar? Ia tak lebih dari seorang pembohong besar. Dasar Iwin bodoh! Goblok! Mau saja di tipu mentah-mentah. Iwin memaki dirinya.
***
Sekarang Iwin tau mengapa ibu menangis.
Assalamu’alaikum Win. Maafkan aku atas kejadian pil pintar itu. Aku memang berbohong tentang itu. Sebelumnya selamat ya, Kau bukan hanya naik kelas, tapi sudah dapat rangking ke-15 di kelas. Sebenarnya Kau hanya butuh rasa percaya diri dan rajin belajar, Win. Pil itu hanya vitamin biasa, sugestimu yang mebuatmu berhasil
Sebuah SMS dari Matsani mampir ke HP Iwin.
Iwin membalas,
Waalaikumussalam Mat. Terimakasih atas bantuanmu. Aku salah sangka, ternyata ibu tidak menangis karena kecewa saat pembagian rapot itu. Ibu menangis bahagia.
 Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Remaja Al Fitrah Edisi II

1 comments:

Write comments
Anonim
AUTHOR
1 Maret 2013 pukul 16.57 delete

luar biasa

Reply
avatar