7 HariPenasaran Tigaperempat Mati

Rabu, Juli 11, 2012 0 Comments A+ a-


Berawal dari pertemuan itu, bukan, lebih tepatnya penemuan Nasar secara tidak sengaja di lantai tiga perpustakaan Chiba University. Penemuan yang mengantarkannya pada banyak cerita.
Di watarirouka sebelah timur, sekelompok mahasiswi baru saja selesai berdiskusi. Terlihat buku tebal "The Determiners of Behavior at a Choice Point" karangan Edward Chace Tolman dipelukan mereka.
Siapa sangka dari penemuan tak sengaja itulah kisah ini bermula.
***
Nasar membuka tab baru. Ia menyempatkan diriuntuk membuka situs web universitasnya, www.chiba-u.ac.jp. Siapa tahu ada info baru disana, ujarnya dalam hati.
Di headline tertera bahwa universitas akan turut serta dalam festival kebudayaan tingkat Asia. Pihak universitas akan mengirimkan delegasinya. Siapa lagi kalau bukan mahasiswa yang aktif di unit kegiatan ekstrakulikuler seni. Info itu tidaklah menarik bagi seorang Nasar, mahasiswa jurusan Fisika semester tiga. Ia lebih senang dengan berita bertema konversi energi, mesin carnot, dan sumber energi alternatif.

Tetapi tunggu sebentar. Ada sesuatu yang unik dihomepage. Ini jelas tidak ada hubungannya dengan logika, fisika, dan angka-angka. Otak kanan Nasar bekerja. Seorang gadis dengan kostum mirip pakaian adat di negara asalnya, Indonesia. Matanya bulat hitam, alisnya diberi celak. Pipinya bak bakpau yang kemerahan dan menggemaskan. Tangannya halus serta kukunya bersih. Paling membuat kagum adalah senyumnya, senyum hangat nan menawan, sedikit malu-malu dan tidak terpaksa. Ia terlihat sangat anggun dan cantik. Sepertinya ia adalah salah satu calon peserta festival.
***
Apa? Mengapa? Aku suka? Tidak. Aku hanya ingin tahu namanya. Itu saja. Bukankah punya rasa ingin tahu adalah salah satu sifat-sifat ilmiah?
Ia mengatasi rasa penasarannya dengan bertanya-tanya di kampus. Adakah kau mengenal gadis ini? Pertanyaan yang berulang kali ia ucapkan kepada rekan mahasiswanya sambil menunjuk ke foto dari web kampus yang sudah di cetaknya.
***
Hari ini sudah enam jam ia menanyai mahasiswa yang ia kenal tetapi belum ada satupun yang berhasil memberikan jawaban yang memuaskan.
Hari kedua pun demikian. Tak ada yang kenal dengan si gadis misterius itu. Entah memang benar begitu atau tidak. Nasar sebenarnya meragukan jawaban teman-temannya tersebut. Mereka sepertinya sibuk sekali dengan persiapan ujian. Ujian akhir semester. Persiapan ujian di kampus ini bisa membuat mereka menjadi egois dan apatis.
Sekarang adalah masa ujian semester tiga. Semua mahasiswa harus belajar giat, mengerjakan tugas-tugas dan mengikuti seluruh rangkaian praktikum agar indeks mereka bagus semester ini.
Sementara itu, Nasar sudah dua hari ini bolos kuliah, menggantikan waktu kuliahnya untuk mencari siapa nama si gadis misterius yang membuatnya penasaran tiga perempat mati itu.Dua ujian yang ia tinggalkan akan membuat nilai akhirnya E, bila tidak menyerahkan surat izin dan mengikuti ujian susulan.
Hari ketiga hasilnya nihil. 
Hari keempat sama saja nol besar, lebih besar daripada bongkahan penasaran Nasar.
Sehabis shalat dzuhur ia tidak masuk kuliah lagi. Kebetulan dosen fisika-matematikanya  sedang ke luar kota.
Ia menghabiskan waktu dengan duduk santai diwatarirouka sebelah timur perpustakan universitas Chiba sambil menatap laptop Toshibanya. Eeh! Ia ingat tiga bulan yang lalu ada segerombol gadis yang membawa buku tebal di sudut sana. Tak sengaja pula ia melihat divisualisasi ingatannya itu si gadis misterius ada di antara mereka. Ia sepertinya akrab dengan buku yang mereka peluk itu. Tidak salah lagi itu adalah buku yang persis sama dengan punya karibnya Budi, mahasiswa psikologi. Tidak perlu punya kemampuan menganalisa deduktif seperti Sherlock Holmes, Nasar sudah tahu si gadis misterius itu pasti mahasiswi psikologi. Kalau ia bertanya kepada Budi yang sedang sibuk persiapan ujian, bisa jadi Budi akan menertawakannya. Mengapa malah bertanya-tanya tentang sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan ujian? Mahasiswa yang lain pun pasti demikian. Apatis. Pikirnya.

Ia menemukan solusi yang mangkus. Besok ia harus bertanya ke departemen psikologi.Tapi bagaimana dengan ujian susulan? Ah tak apa. Ini demi sesuatu yang saya maknai lebih berharga. Tapi bertanya ke departemen psikologi kan bisa di tunda. Pikirannya berontak lagi. Ah jangan menunda, bila pun nanti ikut ujian kau tidak akan konsentrasi. Pikiranmu pasti akan selalu ke foto itu. Fokusmu akan terganggu. Dua kubu pikiran seperti sedang berdebat alot di otaknya. Beberapa menit kemudian Nasar akhirnya memutuskan akan mengambil mata kuliah itu semester depan. Chiba University tidak mengenal istilah semester pendek seperti di Universitas-universitas di Indonesia, yang ada hanya mengulang mata kuliah khususnya pada bagian yang mahasiswa tidak lulus. Dalam hal ini Nasar akan mengulang termodinamika II.
Ia akan beranikan diri datang ke gedung tata usaha Departemen Psikologi membawa foto itu sendiri, kemudian bertanya apakah ada mahasiswi yang berwajah demikian dan menanyakan namanya.
Hari kelima hujan turun dengan deras. Petir bersahutan dan badai beriringan.
Nasar tidak bisa keluar rumah.
Hari keenam hujan makin deras.Petir dan badai semakin menjadi-jadi. Nasar berpikir kembali. Apakah saya harus benar-benar seperti ini berkorban tak jelas hanya untuk mengetahui nama seorang gadis? Sejak kapan aku begini? Bukankah saya seharusnya memikirkan hal lain yang lebih penting. Ah tak apa lah toh saya sudah sampai disini. Rasa ingin tahu juga sikap ilmiah kok.Nasar melakukan pembenaran dalam hatinya.
Hari ketujuh. Nasar memutuskan bahwa apapun yang terjadi ia harus ke TU mencari nama si gadis misterius, yang sekali lagi membuatnya penasaran tiga perempat mati.
Hujan badai berpetir-petir pun akan kutempuh. Itu tekadnya dalam hati.
Nasar berangkat dengan mental sekuat graphene. Keajaiban pun terjadi. Pagi ini matahari tersenyum hangat di sepenggalan timur perfektur Chiba. Pepohonan tampak segar bugar. Embun sudah menguap dari dedaunan. Aroma bunga sakura yang menjalar ke hidungmembuat suasana boulevard flat tempat tinggal Nasar semakin bersemangat. Cuaca hari ini cerah sekali.
Nasarberlari-lari kecil menuju ruang TU. Pukul 06.45. Lima belas menit lagi, ruangan tata usaha Departemen Psikologi akan dibuka. Ia akan menjadi orang pertama non-pegawai yang tiba di sana.
Seratus meter pertama...
Seratus meter kedua...ia tak sabar dan mempercepat larinya,
Seratus meter ketiga...nafasnya mulai memburu, keringatnya mulai bercucuran.
Akhirnya setelah jauh berlari ia menemukan gedung itu. Terlihat didepannya plakat Departemen Psikologi berukiran kayu. Pelan ia melangkah.
“Permisi Bu, saya ingin bertanya, apakah ada mahasiswi Psikologi yang berwajah seperti ini?" Nasar menyodorkan foto yang sudah ia cropsebelumnya. Barangkali ini adalah pertanyaan yang paling aneh di kampus ini. Petugas TU tentu saja tidak kenal dengan seluruh mahasiswi psikologi. Tapi tenang, kampus ini ternyata sudah terkomputerisasi dan terintegrasi. Databasenya lengkap dan canggih. Petugas tinggal mengarahkan foto ke alat scan yang terhubung dengan sistem komputer, makasecara otomatis komputer akan mencari datanya.  Eh belum sempat Bu petugas berkomentar.
“Bang Nasar boleh saya minta tolong?” Seseorang dengan suara lemah lembut menepuk pundaknya dari belakang. Nasar menoleh.Seorang gadis tengah repot dengan diktat kuliahnya yang tebal-tebal. Sepertinya ia akan mengulurkan sesuatu. Amplop cokelat ukuran A4, ya itulah barangnya.”Bang Nasar dari jurusan Fisika kan?Bolehkah sayameminta tolong Bang Nasar untukmenyerahkan proposal ini kepada Sensei Kagawa. Beliau dosen fisika Bang Nasar jugakan? Beliau adalah koordinator untuk festival seni. Saya sudah menghubunginya tadi malam. Saya juga sudah minta izin akan menitipkan itu pada teman, Bang Nasar bersedia kan?”
Nasar berkeringat dingin. Ia terdiam seperti pendekar yang terkena totok wirosableng. Tubuhnya kaku. Gadis yang selama ini ia cari-cari namanya berdiri tepat di depan batang hidungnya. Menyapanya dengan lembut. Gadis yang tinggi semampai, berhidung mancung, rambut ditutup rapi dengan jilbab oranye yang senada dengan warna sepatunya,blouse lengan panjang dengan garis-garis hijau putih, kacamata full frame bening yang serasi, wangi yang tak terlalu mencolok serta tak lupa senyum hangat yang khas, tidak terpaksa dan sedikit malu-malu. Alangkah cantiknya. Tak dinyana gadis itu tahu jurusannya, bahkan tahu namanya, dan meminta pertolongannya. “Oh, maaf abang, saya lupa, sebelumnya saya belum sempat berkenalan. Nama saya..................”
 Otot jantung Nasar bergetar hebat. Suhu tubuhnya naik. Matanya terbuka lebar. Pupilnya membesar. Si Gadis misterius akan memperkenalkan dirinya. Tujuh hari penasaran Nasar akan segera tuntas,
“Hooiii, Bangun“
Teriakan Budi menyadarkannya. “Udah jam setengah tujuh nih. Kamu gak kuliah?”
“Bud,” muka Nasar merah padam. Ia ingin marah besar pada Budi. Tetapi ia urungkan niatnya. Hal itu hanya akan menghabiskan waktu. Ia harus berangkat ke kampus hari ini untuk mengikuti ujian susulan Termodinamika.
Hilanglah semua kejadian itu. Tujuh hari pencariannya. Si gadis bidadari yang sebentar lagi ia tahu namanya. Imaji itu lenyap ibarat gambar pada TV yang dicabut kabel power supply-nya.
Adegan saling bersitatap tak sengaja dengan seorang mahasiswi di sudut masjid kampus sebulan lalu telah membayang-bayangi kehidupan Nasar. Si Gadis yang tidak diketahui namanya itu telah memaksa urat saraf Nasar berpikir tentangnya. Bahkan menyeruduk masuk kedalam mimpi. Aneh memang, koridor masjid Salman ITB itu berubah menjadi perpustakaan universitas Chiba dalam mimpinya. Barangkali ini ada kaitannya dengan serial Dragon Sakura yang ia tonton semalam dan juga ujian susulan yang akan ia ikuti. Akhir-akhir ini Nasar memang sering mengalami mimpi yang kurang masuk akal. Salah satunya adalah seperti cerita ini. Tapi tetapi. Nasar tahu. Nasar harus menyembunyikan perasaannya, segenap kekaguman dalam hatinya. Gadis itu bukanlah haknya bukan miliknya. Ujian susulan dimulai jam tujuh. Nasar bergegas. IP-nya harus naik semester ini.