Tulang Rusuk yang Tertukar

Rabu, Juli 18, 2012 1 Comments A+ a-

Adalah seorang gadis bernama Desi. Desi NN nama lengkapnya. Desi tamat dari Madrasah Aliyah setahun yang lalu. Sembilan belas umurnyasekarang. Ia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Desi tidakmelanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.Ia sebenarnya sudah sangat beruntung bisa sekolah sampai setingkat SMA. Mengapa? Jawabannya karena perempuan yang tamat SMA bisa dihitung dengan jari di kampungnya. Tradisi turun temurun yang dianut oleh orang sekampungmenjadi penyebab Desi dan gadis seusianya tidak lanjut sekolah. Entah karena apa. Anak perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi. Asal pandai membaca dan berhitung saja sudah cukup. Yang terpenting adalah pandai memasak dan mencuci. Kasar kata, kaum perempuan di kampung ini hanya terkungkung masalah dapur,sumur dan kasur saja. Barangkali leluhur kampung paranoid anak gadis mereka terdoktrin paham-paham sesat seperti liberalisme, feminimisme, hingga kesetaraan gender.Paham yang sering menyerang mereka-mereka yang mengaku kaum berpendidikan tinggi saat ini.Tunggu sebentar. Mungkinkah leluhur sudah memprediksi hal ini?Mungkin saja.
***

Suatu hari yang cerah.Cahaya matahari di langit timurmembasuhseluruh perkampungan. Sinarnya yang lurus-lurus menelisik di antara kabut putih.Pepohonantinggi berdaun lebat tampaktakzim menerima takdirnya hari ini. Kalaulah kita bisa mendengarkan, mereka mungkin sedang khusyuk bersyukur dan berdzikir kepada sang Rabb-nya. Tuhan semesta alam yang membagi rezeki dan mengatur semua alam semesta ini dengan maha adil,maha sempurna, maha akurat, dan maha presisi.
Segerombol tukang ojek pagi ini tampak bersemangat sekali. Mereka pawai keliling kampung.
Desi, gadis yang kuceritakan diawal tadi baru saja pulang dari sungai.Ia berpapasan dengan tukang ojek berjaket seragam warna hitam. Desi tidak memedulikan para tukang ojek yang sedang menempel selebaran di pohon sepanjang jalan jurusan sungai-kampung.Ia cukupkeberatan dengan ember cuciannya. Ditambah lagi bahunya juga kelelahan mengucek-ucek cucian yang telah tertumpuk minggu ini.
Ternyata seisi kampung sudah gaduh dengan isu tersebut. Apakah gerangan?Apakah ada anak hilanglagi? Atau ada teroris masuk kampung ? Atau Pak Bupati mau memenuhi janjinya?
Di balai kampung, di rumah-rumah, dikedai dan diwarung, bahkan di dinding mushalla pun ada selebaran itu. Selebaran yang sama. Pohon-pohon kayu besar pun tak luput dari selebaran yang ditempeli oleh tukang ojek. Pohon kayu ini sepertinya menjadi pengganti tiang listrik seperti di kota-kota. Tempat yang gratis wal strategis untuk memasang pamflet. Untuk kita ketahui, PLN belum juga memasang instalasi di kampung ini. Bupatiyang menjabat sekarang pernah berjanji untuk memasukkan listrik saat kampanye disini. Ternyata belum juga terealisasi. Mungkin sang Bupati lupa karena sudah terlalu banyak mengumbar janji.Atau bisa jadi juga PLN takut warga disini tidak mampu membayar biaya listrik, sehingga pembangunan instalasi akan merugikan negara. Ah entahlah. Langitlah yang lebih tahu alasan sebenarnya.
“Des, kamu nggak siap-siap buat acara hari Minggu ini?”
“Memangnya ada apaLin? Kerja bakti? Dangdutan ? Atau jangan-jangan ada yang mau nikahan?” Desi menjawab dengan nada heran.
“Hah? Masa kamu gak tahu, hari minggu ini ada apa di kampung kita?” Lina setengah terkejut. Tak sadar mulutnya sedikit menganga. Alisnya bergerak naik. “Seluruh penduduk kampung sudahgeger lo. Ada berita besar. Kabar gembira”
“Berita besar apa? Jangan bikin aku penasaran”Desi maju selangkah. Ia menggenggam lengan Lina sambil menggoyangkannya.
“Cari tahu aja sendiri” Lina melepaskan tangan temannya itu dan berlalu pergi.
“Aku harus menanak nasi dulu. Sampai jumpa besok Desi”
Desi ingat kembali dua hari yang lalu banyak selebaran. Selebaran yang mendadak menjamur di kampungnya. Mungkin ini ada hubungannya dengan berita atau kabar gembira seperti kata Lina. Mari kita periksa bersama.
***
Benar saja. Selebaran itu bukanlah kampanye pemilihan kepala kampung ataupun pencarian tersangka teroris.Apa isinya? Nanti kalian juga akan tahu teman.
Desi memang anak rumahan. Isuhangat yang beredardi kampung pun ia tak tahu. Sampai akhirnya Lina menanyakan hal itu padanya. Desi meyakinkan diri dengan membaca selebaran itu.Desi paham. Desi akhirnya mafhum mengapa gadis-gadis di kampung akhir-akhir ini sering luluran dan mandi dengan air limau. Pantas juga bedak di warung Tek Ros ludes. Selain itu, mushalla pun kini ramai setiap maghrib dan shubuh. Anak gadis di kampung ini rajin ke mushalla. Mereka mencuci tilakung dan menyetrikanya dengan rapikatradisional dari ekstrak bunga pecah piring dan bunga kenanga.
Solihin, pemuda berusia 26 tahun itu. Ia-lah penyebab semua ini. Penyebab Desi menceritakan kisah ini padaku.
“Lin, akhirnya aku tahu juga  kenapa kamu gak mau cerita beritagembira katamu itu” Desi menghampiri Lina yang tengah asik memotong kuku-kuku kakinya.
“Hahaha, ternyata kamu baca juga ya. Tapi jangan salah dulu, kamu tidak akan bisa mengalahkan aku” balas Lina pongah. Ia terlihat sangat asik bermanicure, sampai-sampai ia tidak sempat menoleh kepada teman akrabnya itu.
“Eits jangan salah. Sedikitpun aku tak ada niat mau ikut audisi perjodohan macam begitu. Aku ingin nanti seorang pemuda baik hati akan mendatangi bapak dan emak. Melamarku baik-baik. Dengan penuh cinta” Desi membantah, air mukanya berubah.
“Desi kamu terlalu meresapi layar tancap. Hidup ini bukan seperti rol film layar tancap Desi. Hidup ini nyata” kata Lina bijak. Ia selesai dengan kuku kakinya dan beranjak ke jemari tangannya.
“Bukankah kalau tidak ada di kehidupan nyata, film itu tidak akan dibuat? Lagipula sah-sah saja kan punya khayalan yang baik seperti itu Lin” Desi membalas ketus.
“Yah terserah kau sajalah”Lina menghela nafas, mengalah”
”Tapi aku berani bertaruh, kalau kau pasti akan ikut audisi ini. Begitu kau tahu dan mengenal Solihin”
***
Shubuh. Angin sesekali terasa berhembus di belakang leher.Hujan tadi malam masih menyisakan dinginnya. Selepas shalat shubuh di mushalla, Desi dan karibnya tak sengaja bertemu dengan Solihin. Mereka semua serba salah tingkah saat sang pemuda menyapa rombongan. Ada yang menggaruk kepala yang tidak gatal, ada yang membetulkan posisi tilakung yang sebenarnya sudah rapi, ada yang senyum-senyum tak menentu, ada pula yang aneh, menambahkan parfum ke tubuhnya, padahal parfum yang ia maksud tertukar dengan botol minyak angin. Saking gugup, ia sampai lupa.Tapi, salah tingkah ini tidak berlaku pada Desi. Ia tenang dan biasa-biasa saja. “Waalaikumsalam” Desi lancar menjawab salam Solihin. Tidak seperti keempat lainnya terpatah-patah.
Sepanjang jalan jurusan Mushalla-Rumah, topik pembicaraan adalah Solihin. Teman-temannya seperti berlomba-lomba menceritakan riwayat hidup Solihin kepada Desi. Lengkap sampai makanan kesukaan, merek minyak rambut, bahkan nomor sepatu sang pemuda. Beruntung juga. Desi tak perlu repot-repot mencari tahu siapa Solihin.
Dari hati yang paling dalam,Desi menaruh hati kepada Solihin. Siapa pula gadis yang tiada suka kepada pemuda gagah, baik, sopan, ramah, shalih dan berpendidikan sarjana serta sudah berpenghasilan pula.
Tapi karena malu dan minder dengan Solihin, Desi tidak mau mendaftarkan diri. Ia ingat pepatah almarhum ayah. Kalau kail panjang sejengkal,jangan laut hendak diduga.
***
Lina lah yang menang dari audisi dan menikah dengan Solihin. Desi hanya bisa mengurut dada yang terasa luka. Salahnya sendiri. Mengapa ia tidak mengambil kesempatan tersebut? Bila saja ia mau mendaftar ia bisa terpilih. Bukankah Lina hanya tamat Tsanawiyah? Setingkat SMP? Wajah Desi pun jauh lebih cantik. Ia lebih layak dan pantas menjadi pendamping Solihin. Ah tak apa Desi. Aku menasihati Desi. Bukankah cinta akan selalu adil kepada pemiliknya? Selama pemilik itu tulus dan merelakan.Tulang rusuk dan pemiliknya tak akan tertukar. Ucapku. Solihin.Solihin.
***
Desi diam-diam melaksanakan nasihat dan saranku. Sama diam-diamnya dengan ia jatuh hati kepada Solihin. Sebelum Lina menang ia sudah mengubah rencananya.
Desi memakai baju kurung biru terbaik miliknya. Tidak lupa parfum dari bunga kenanga mewangi. “Jalan cerita akan berbeda. Kesempatan ini harus kumanfaatkan sebaik-baiknya.”Desi sudah shalat istikharah semalam.Pagi ini ia membulatkan tekad berangkat menuju rumah Solihin. Mengikuti audisi.
***
“Jadi akhirnya kamu pergi ke rumah Solihin” aku bertanya bingung kepada Desi.
“Ya, benar, aku ikut audisi itu” Desi mengangguk.
“Jadi endingnya gimana” aku semakin bingung. Desi menipuku. Kita sama-sama tertipu. Pada bagian Lina lah yang memenangkan audisi ternyata tidak. Desi lah yang memenangkannya.
Cincin di jari manisnya sudah cukup menjawab semuanya.
Desi melanjutkan. Ia merasa bersalah karena beberapa gadis di kampung banyak yang sakit. Sakit mereka serupa. Orang kampung bilang ini gara-gara Desi memenangkan audisi itu. Desi dituduh sebagai penyebab gadis-gadis di kampung ini serentak sakit.Tidak masuk akal. Kemudian, aku sebagai dokter mendiagnosisberdasarkan ciri dan keterangan dari Desi, gadis-gadis di kampung ini terserang penyakit menular. Demam berdarah dengue. Sebenarnya tidak hanya gadis-gadis saja yang sakit tetapi anak-anak dan remaja juga. Karena animo penduduk kampung yang mudah terhasut oleh cerita dari mulut ke mulut. Maka tertuduhlah Desi menjadi penyebab penyakit menular ini. Desi sempat stress juga sampai aku menjelaskan hal ini kepada masyarakat. DBD disebabkan oleh virus dengue yang masuk ke peredaran darah melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes. Nyamuk aedes aygepti betina dan aedes albopictus adalah salah dua pembawanya.
“Terima kasih dokter Solihin” seorang tetua kampung mengucapkan kalimat itu padaku.
Pernahkah kita merasa menjadi penyebab suatu masalah?
Pernahkah kita merasa bersalah seperti demikian?
Padahal sebenarnya tidaklah begitu. Ketakutan dan kecemasan kita berlebihan. Kekhawatiran kita hanya ilusi. Perasaan tidak enak itu ternyata khayalan. Aku sudah menemukan obatnya teman. Sangkil dan mangkus sekali. Berpikirlah positif. Berperasaanlah positif dan bertindaklah positif. Desi sudah membuktikannya.

1 comments:

Write comments
Anonim
AUTHOR
1 Maret 2013 pukul 16.58 delete

keyen abiiiiz

Reply
avatar