Pengen Hidup 100 Persen Aja

Senin, Agustus 26, 2013 0 Comments A+ a-

“Aku pengen hidup tanpa kecemasan Jon”, katanya tegas. Ia tidak berhenti memutar-mutarkan telunjuknya di cangkir kopi yang tinggal setengah.” Aku heran apa gerangan yang membuatnya mengeluarkan kalimat sebijak ini. Buku apa yang habis dibacanya?

“Aku sudah bosan hidup dalam ketakutan akan hari esok. Aku juga suntuk  menjalani kemonotonan dengan janji-janji masa depan yang belum tentu eksis. Serta penyesalan masa lalu yang memburu, membuat hati serba gelisah dibuatnya.” Ia melanjutkan.

“Aku ingin hidup hari ini saja. Berbuat sebaiknya. Semaksimal mungkin. Percuma saja menanam harapan untuk hari esok sementara kita tidak bekerja saat ini. Sia-sia.”

Joni yang  biasanya agresif juga argumentatif itu juga diam. Ia membisu seribu kelu. Sepertinya teman kami Herman sudah kemasukan arwah Plato dan Aristoteles sekaligus. Begitu bijak bestari nasihatnya.

Aku juga tidak bisa membantah Herman. Aku benar-benar terbius olehnya. Suaranya seakan bergetar harmonis dengan hati kecilku. Aku seperti dipaksa setuju.

Kami bertiga kemudian terdiam sejenak. Joni menatap pohon pinang di sampingnya. Herman menyeruput kopi susu ABC-nya. Sementara aku memperhatikan keduanya sambil mencerna kata-kata Herman yang semakin kupikirkan semakin mendapat pembenaran pula dalam benakku.

Semenit kemudian aku mulai berpendapat,”Aku setuju dengan Herman, kita tidak seharusnya hidup dengan tekanan, kecemasan, dan ketakutan akan hari esok. Kita jalani saja hari ini dengan sesenang hati dan berbuat baik.”

“Iya awak juga. Tak usah terlalu memusingkan janji-janji manis akan masa depan bila masih minum kopi pahit pagi ini. Linierlah dengan peribahasa indonesia. Satu burung di tangan lebih baik daripada dua ekor di dalam semak.

“Satu menit hari ini lebih baik daripada sejam besok hari.” Herman membuat kesimpulan.
“Baiklah kalau begitu teman. Mari kita segera selesaikan pekerjaan ini. Kalau begitu menurut kalian bagaimana harusnya endingnya?”, tanyaku.
“Kalau gantung saja bagaimana?” Jon mengusul penuh semangat.
“Maksudmu Jon?” . “Maksudku begini , kita buat penonton memilih sendiri bagaimana kelanjutan ceritanya. Kita habisi saja saat Fritz si stalker mempersiapkan peralatannya membunuh Anne. Bagaimana?” Jon mengakhiri penjelasannya.

“Begitu juga bagus. Tetapi bagaimana kalau Fritz itu menjadi sadar bahwa kegiatannya memata-matai Anne adalah tindakan yang tidak sepenuhnya bermanfaat. Selain itu kita biarkan saja kenyataan yang ditakutkan Fritz itu terjadi. Anne menerima pinangan Gary.”

Aku menerima usul mereka. Seperti itulah seharusnya penerimaan Fritz menerima kenyataan bahwa Anne dan Gary saling menyayangi. Dan tidak ada tempat bagi orang ketiga seperti dirinya.