[Resensi Buku] Perjalanan Lain Menuju Bulan : Bring Puisi To The Next Level

Senin, Juli 10, 2017 0 Comments A+ a-



Judul               : Perjalan Lain Menuju Bulan. Satu Kisah Tiga Babak atau Tiga Puluh Sajak
Penulis             : M. Aan Mansyur
Penerbit           : Bentang
Cetakan           : I, Juni 2017
Tebal               : xvi+96 halaman

Pertanyaan masih mungkinkah puisi ditulis menjadi teror bagi para penyair kita. Bila di dunia bisnis ada istilah inovasi, maka dalam seni puisi ‘inovasi’ ini sepadan dengan jawaban atas pertanyaan teror itu. Setelah masa Buah Rindu Amir Hamzah, Chairil menyentak-terjang dengan Aku Ini Binatang Jalang. Lantas kemudian, para penyair kita berlomba-lomba keluar dari kungkungan para pendahulu tersebut. Maka kemudian lahirlah Sapardi Djoko Damono dengan tradisi prosaik Tagore, Subagio yang puisinya padat ide, lalu Gunawan Mohamad dengan suasana kebahasaan yang menawan. Lantas muncul juga nama Sutardji yang mengembalikan kata-kata kepada kodrat kata-kata yang bukan sebagai penyampai makna. Ada lagi Joko Pinurbo yang seperti remaja nakal mengutak-atik satir dan kelucuan yang ironi. Muncul pula puisi posmodern Afrizal Malna yang nyeleneh, dan Nirwan Dewanto yang mengambil lisensi dari seni rupa, surealisme, ekspresioniesme dan dengan penumpukan benda-benda. 

Sejarah singkat perpuisian Indonesia ini kemudian oleh penyair kita ditambah dengan mengutak-atik kitab suci sebagai bahan resepsi tematik, beberapa nama seperti Adhimas Imanuel, Avianti Armand, dan kawan-kawan mencoba racikan puisi macam begini.

Setelah Melihat Api Bekerja, Tidak Ada Newyork Hari Ini, dan Sebelum Sendiri, Aan hadir kembali kepada penikmat puisi melalui Perjalan Lain Menuju Bulan. Kalau dalam Melihat Api Bekerja Aan memadukan puisinya dengan sapuan kuas cat air emte, lain hal dalam Tidak Ada New York. Ia menyandingkan puisi-puisinya dengan karya fotografi Mo Riza (Tidak Ada New York juga merupkan puisi-puisi yang dipakai di film AADC 2). Kali ini, Perjalanan Lain Ke Bulan juga merupakan kolaborasi Aan bersama sebuah proyek film, musik dan buku. Aan memperoleh peran sebagai penulis buku puisi dengan ide Perjalanan Lain Menuju Bulan. Filmnya, terlebih dahulu dirilis dalam festival film di Belanda dengan Judul "Another Trip to the The Moon". Sementara album musik dan buku puisi digabung menjadi satu dalam buku ini.

Rasanya Aan merupakan penyair yang cukup ramah untuk berkolaborasi dengan bidang seni lain. Terbukti melalui buku puisi yang ia terbitkan sebelumnya. Barangkali ini ada berkait dengan slogan yang terdengar klise: bring puisi to the next level. Di zaman sekarang bring to the next level menjadi amunisi ampuh demi meninggalkan yang terasa usang dan membawa angin kesegaran.

Beberapa penyair yang pernah mencoba mengawinkan multi disiplin seni ke dalam puisi adalah Wing Kardjo dalam Fragmen Malam-nya. Puisi-puisi soneta beliau diiringi oleh lukisan para karib senimannya. Tidak lupa juga Yudhistira ANM Massardi dalam buku puisi 99 sajaknya menggunakan ilustrasi Ramadhan Bouqie di setiap judul puisinya. Namun rasanya untuk kolaborasi dengan film baru Aan Mansyurlah yang melakukannya. Entah boleh disebut mengampanyekan Puisi via Film, yang dengan begitu buku puisi menjadi karya turunan dari film atau tidak. Namun paling tidak akan jadi data pencilan untuk membantah bahwa buku puisi sudah tidak dapat tempat di ruang baca para pecinta buku di Indonesia. Tidak Ada New York berhasil membuktikan itu dengan mengalami beberapa kali cetak ulang dalam waku singkat.

Kerja Aan dalam "mengampanyekan" dan inovasi puisi perlu diberi ucapan terima kasih oleh para penyair lain. Sebab Aan sudah membuka pintu kerjasama untuk membawa puisi ke the next level. Usaha Aan pantas diapresiasi.

Menulis puisi dengan sebuah wacana utuh atau satu kisah tentu mempunyai tantangan tersendiri. Kelihaian untuk memindahkan tema cerita yang notabene prosa ke dalam bentuk puisi perlu keterampilan khusus yang halus.

Buku ini memuat tiga bab yaitu Ibu yang Menunggu, Lelaki yang Anjing, dan Perempuan yang Mencintai Perempuan Lain. Ada minimal tiga suara naratif: ibu, lelaki, dan sang anak perempuan. Di Perjalanan Lain Menuju Bulan ini, Aan sering menggunakan kata ‘adalah’ dan sinonimnya ‘ialah’. Untuk jumlah 30 puisi, total 22 ‘adalah’ dan 4 ‘ialah’ merupakan angka yang banyak. Uniknya, porsi ini didominasi oleh 10 puisi pertama. Manakala ‘suara’ sang Ibu muncul untuk berpuisi. Karakter seorang ibu yang sudah banyak mengenyam asam dan garam kehidupan menjadikan motif puisi definitif model begini wajar adanya.

Untuk penggarapan tema, tentang perjalanan perempuan menemukan kebebasannya, terasa Aan cukup kesulitan berpegang pada tema tersebut. Aan memang mencoba dengan frasa "Aku tidak mencari diriku. Aku tahu semua perempuan tahu dirinya perempuan tetapi mereka sedang merebut sesuatu yang diambil darinya". Sebenarnya ide ini menarik untuk dieksplorasi lebih mendalam. Namun dalam 3 bab puisi ini Aan luput menjabarkan hal itu. Justru ia lebih suka menampilkan anasir bunyi, penciptaan rima yang indah. Dapat dilihat melalui permainan bunyi seperti:

Aku tangkai patah yang hanyut
dan tersangkut di tungkai kakimu—
demi mengembalikanmu ke bumi
dan kau berdetak lagi bersama waktu (halaman 13). Suasana muram ditimbulkan oleh efek kakofoni bunyi k,t,s,p pada bait ini.

Atau bait pembuka puisi Ibu yang menunggu ini:
Pergi adalah kemestian
bagi seorang anak. Pergilah.
Bertualanglah. Jangan hilang. (halaman 2)

Kemudian yang menarik adalah seperti yang dituliskan Sapardi dalam pengantar buku puisi Aan sebelumnya, Melihat Api Bekerja, puisi Aan serupa lompatan-lompatan aksara. Benar saja. Ditilik dari pola sintaksis dalam subbab 7 dari Lelaki Yang Anjing :

Mereka yang menghindari kesedihan-kau pergi,
aku tahu, tidak untuk itu-
adalah mereka yang lebih
banyak menangis dan rawan jatuh ke liang keyakinan. (halaman 37)

Gaya bahasa interupsi yang disisipkan Aan menjadi daya tarik tersendiri. Demi menambah kesan suara narator yang memahami objeknya: kau pergi, aku tahu, tidak untuk itu. Aan menyajikannnya dengan apik.

Puisi Aan cenderung menjadi puisi yang indah untuk dikutip dan terkutipkan (quotable). Ambil saja contoh satu-dua larik: Satu-satunya aturan petualangan : jangan pernah kembali ke rumah membawa kaki dan hati yang patah. Kebebasan Cuma penjara jika kau tidak tahu apa yang kau lakukan di dalamnya. Atau larik yang menampilkan paradoks hasrat manusia: Aku ingin kau jadi milikku, tetapi aku butuh kau tetap saja milikku-aku ingin memiliki keinginan selamanya. Menarik bukan? Jika hasrat telah terpenuhi maka apa lagi hakikat manusia? Bukankah ia makhluk yang selalu  berhasrat, mengosngkan dirinya demi memburu hasrat yang menerus akan dikosongkan?

Dalam subbab nomor 4 dari Perempuan yang Mencintai Perempuan Lain, terasa ada sentuhan T.S. Eliot dan sedikit citarasa Zen.

Aku ingin berhenti berusaha menemukan perbedaan antara awal dan akhir. Aku ingin tiba di suatu tempat (atau waktu?) di mana hidupku kehilangan segala dan aku merasa memenangkan sesuatu. Tetapi kemenangan, kata ibuku, adalah tunas penderitaan yang lain.(halaman 58)

 Dalam Four Quartet T.S. Eliot mencantumkan kalimat yang terkenal the beginning is the end. Narator di puisi halaman 58 ini, ingin menemukan itu, dimana awal dan akhir tidak memiliki beda walau sekulit aripun. Lalu diktum tentang hidup ialah penderitaan semacam roda samsara kerap menjadi alusi yang dirujuk kepada Buddha aliran Zen.

Percobaan Aan dalam mengikuti surealisme perjalanan lain ke bulan, dapat kita jumpai dalam bait ini:

Dulu setiap hari aku menyaksikan ibu menyiram sore di halaman. Ia melakukannya bukan karena melihat waktu layu. Ia menginginkan pagi mekar lebih cerah.(halaman 66). Di sini, saya teringat lukisan Surealis Dali yang berjudul Persistence of Memory. Jam menjadi simbol waktu diolah menjadi benda fisik yang meleleh. Di bait ini Aan menggantikan posisi bunga yang dalam realitas sehari-hari di siram agar  mekar. Aan memainkan penggantian objek bunga menjadi waktu yang diturunkan lagi menjadi sore di halaman dan pagi yang mekar lebih cerah. Jenius.

Perjalanan Lain Menuju Bulan tidak seambisius akrobat linguistik seperti di buku Tidak Ada New York Hari Ini, (kau yang panas di kening dan dingin di kenang), atau penggantian relasi sintagmatik yang kerap menjadi andalan Aan. Maupun pembongkaran suku kata seperti ini: Masa remaja adalah negeri yang jauh. Jatuh dan patah. Seolah jauh merupakan akronim dari jatuh dan patah. Atau  Bintang-bintang sudah lama tanggal lampu kota bagai kalimat selamat tinggal. Contoh lain seperti menyerahkan diri untuk dinikmati, tetapi menolak untuk dimiliki. Atau pada kalimat aku bagai menyelami sepasang kolam yang dalam dan diam di kelam wajahmu. Bunyi ‘lam’ yang bertubi-tubi, menganalogikan mata dengan kolam yang dipadu dengan suasana kelam wajah. Tiap kata yang kau ucapkan selalu berarti kapan. Tiap kata yang aku kecupkan melulu berarti akan. Lihai sekali bukan ucapkan Ã  kecupkan, kapan Ã  akan, repetisi yang ciamik. Semuanya tidak ditemukan di Perjalanan Lain Menuju Bulan ini.

Puisi prosa Aan yang terkutipkan, berisi nasihat santun ini cenderung lebih tenang. Aan mengajak pembacanya berdialog melalui metafora-metafora yang ia dihadirkan. Tidak lupa buku ini dilengkpai dengan CD album musik, sesuai dengan diktum di awal : bring puisi to the next level.