In Memoriam : TAHAJJUD, PREMIER LEAGUE, DEGRADASI

Selasa, Oktober 09, 2012 0 Comments A+ a-

Malam yang dingin. Kota dengan luas 23 km2 itu seperti beku. 600 meter dpl dan musim hujan. Wajar saja bila bulan-bulan ini kota begitu dingin. Kota ini layak disebut sebagai kota dingin. Luasnya yang terkecil keempat di Indonesia tidak menjadikannya inferior. Di sini, di kota serambi mekkah ini, banyak terdapat sekolah-sekolah yang bersungguh-sungguh melahirkan para generasi pembelajar.  Yang tidak hanya berkutat dengan angka dan tulisan tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai moral, karakter luhur dan akhlak mulia. Banyak pelajar dari seluruh penjuru Pulau Andalas yang menuntut ilmu di sini. Bahkan dari pulau Jawa.

Ruangan lepas itu begitu lengang. Tidak ada dialog ataupun monolog manusia. Sesekali hanya terdengar bunyi dengkuran dari beberapa remaja yang tengah terlelap. Ruangan itu kira-kira berukuran 40x15 meter. Di sana berjejer dipan-dipan bertingkat dua. Dari kayu. Dan bercorat-coret. Ada yang hanya sekedar T was here sampai dengan resolusi impian masa depan. Juara olimpiade geologi. Hafal 30 juz. Teknik Perminyakan ITB. S2. Istri cantik dan shalihah. Meng-haji-kan orang tua.


Lantai keramik dingin. Gagang pintu pun demikian. Semuanya dingin.
Pukul 03.00 T terbangun dari mimpinya. Segera ia membangunkan teman-temannya. Dimulai dari yang terdekat, teman satu dipan. Minas adalah orang pertama yang ia bangunkan.

Minas, bantu saya membangunkan teman yang lain, ok? Proses pem-bangun-an yang berantai. Tetapi bukan menggunakan rantai.
“Um.umm,” jawab Sutan pertanda setuju sambil menguap dan meregangkan kedua tangannya menjauhi tubuhnya.
Setelah kantuknya terasa sudah pergi, Minas segera membangunkan Sutan. Sutan yang bersebelahan dengannya. Sutan yang hampir saja mengurai rahasianya di depan umum kemarin siang. Sutan sahabatnya yang jenius. Selanjutnya si anu, si anu dan si anu.
“Bangun... bangun... tahajjud, setelah itu kita belajar bersama”.
“Thanks bro,,, udah bangunin, tapi abis sholat  aku mau nonton dulu nih liga inggris. MU VS Chelsea. Nanti yang belajar besok malam ajarin saya yah.”
“OK baiklah.”

Mereka bertahajjud di sepertiga malam terakhirnya. Menjauhkan lambung dari tempat tidur. Saat manusia-manusia di belahan bumi yang lain banyak yang tertidur lelap. Mereka melawan rasa kantuk, melawan rasa dingin yang menembus tulang. Mereka berwudhu bersama. Antre.
Untuk shalat tahajjud, mereka lakukan munfarid, sendiri-sendiri. Karena untuk beberapa shalat nafilah memang diutamakan sendiran.
Mereka bersujud, memohon dengan penuh harap kepada Allah dengan segala do’a semoga di ijabah semoga di kabulkan. Akhir-akhir ini memang sering terucap dari mulut mereka. “Sahabat do’akan saya ya, semoga saya tidak terdegradasi”. Saling kepada satu sama lainnya. Mereka saling mendo’akan. Sepertinya tidak hanya di dalam asrama putra, di asrama putri hal yang sama juga terjadi.

Degradasi memang sebuah hantu bagi siswa-siswa asrama, tidak ada yang ingin berjumpa dengannya. Ia bukanlah sesosok tubuh dengan mata berdarah dan rambut panjang, muka mengerikan, berkain putih atau muka datar dan berkaki buntung atau pocong dan kuntilanak, melainkan sebuah istilah untuk pengeluaran  siswa dari asrama. Mekanisme yang memang telah diterapkan para pendahulu saat mendirikan asrama ini. Siapa yang nilainya tidak mencapai, dan dengan beberapa pertimbangan, maka subsidinya dicabut. Disisi lain hal ini terlihat kejam. Akan tetapi sistem ini memang telah di tetapkan pemerintah.

Adegan ini masih lekat dalam lobus temperalis Minas.

Ia bangkit dari sujudnya, berdo’a semoga ikatan yang dulu pernah mereka sepakati bersama itu, mereka jalani bersama, mereka pertahankan bersama, tidak kendur dan tidak pula putus. Minas mendo’akan persaudaraan mereka agar senantiasa terjaga.