dari masa SMA eps 02

Minggu, Februari 08, 2015 0 Comments A+ a-

2010

Ya. Waktu itu aku kelas dua di SMA yang berasrama itu. Hmm. Kalau memang harus diingat kembali, betapa serunya menjadi anak SMA di Indonesia, tidak harus khawatir akan ada rudal atau hujan pelur di sekolahku. Yang perlu kulakukan hanyalah belajar dengan baik dan mengambil ilmu dan pelajaran dari guru. Ini yang kelak digunakan untuk menjadi diri sendiri yang menciptakan kedamaian di alam semesta.

Tahun 2010 aku berkenalan dengan palestina, negara yang tidak pernah bebas apalagi merdeka. Selalu ada pertentangan dengan Israel, aku mungkin tidak terlalu mengerti bagaimana kisah kedua negara ini. Yang jelas setiap hari semua guru agamaku akan memberikan contoh perjuangan rakyat palestina sehingga kami harus mengambil semangat mereka. Sampai-sampai lahirlah kebencian yang mendalam pada diriku kepada siapapun yang memberantas dan memperkosa hak-haksebagai manusia ciptaan Tuhan. Sekaligus kecintaanku kepada palestina. Ada puisiku tentang palestina, itu intinya.

Puisi, kalau boleh aku berpikir, aku menyukainya sebagai tulisan indah, susunan kata-kata yang menyampaikan makna yang kadang disembunyikan, juga sekaligus perasaan yang ditulis dalam bahasa.

Nah maka dari itu sampai sekarang aku masih ingin menulis puisi.

Dua ribu sepuluh adalah masa-masa yang kunikmati sebagai penulis puisi pemula yang ingin membuktikan eksistensiku sebagai anak kelas dua SMA yang mencicipi asmara. Bukan sebagai pamer melainkan menjadi senang karena perasaanku lepas meski hanya menjadi sebungkus puisi.

Dia-ku. Begitu kan aku menyebutnya sebelumnya? Dia-mu. Begitu kalian memanggilnya padaku. Dia-ku adalah sepertinya yang menjadi sebab lahirnya puisi-puisi itu. Atau mungkin Tuhan yang mengizinkannya sekaligus. Hmmm. Dia-ku adalah dia yang tetap ada di masa lalu, menjadi ruh dan nyawa dibalik tulisan indah yang ada. Kalau orang bijak dari Bandung berkata begini,” Jangan-jangan kita tidak pernah berada di masa depan, nyatanya kita selalu berada pada hari ini.” Hmm. Tidak sepenuhnya benar, kalau aku berdiri di sana, di lapangan upaca sekolah, dan aku yang hari ini mengetik di depan laptop adalah masa depan. Dan aku yang sedang hormat kepada pembina upacara adalah masa lalu bagiku yang sekarang.

Konsep perasaan yang kompleks tidak seharusnya mengenal masa, karena waktu hanya diciptakan untuk segalanya supaya tidak berjalan serentak. Begitu menurut orang bijak dari Bandung

Maka kenangan adalah kumpulan masa lalu yang menjadi ukuran dan persiapan untuk menghadapi masa depan.

Pesta Masa Silam

Kelam kupandang ke belakang
Silau kuintip ke masa depan, tentang masa
Saat kududuk di atas roda waktu
Mataku tertutup pikiran yang terbang
Berkelana di pesta masa silam
Saat kita masih seasmara menyorak bahagia menjahit luka
Masa silam kita jelas-jelas ceritanya
Masa depan selalu silau jalan-jalannya

Kuingin masa silam hadir hari ini
Kepada kita yang sedang pesta mengembang
Kuingin kita ingat masa silam
Biar terikat lidi kenangan

Kuingin masa silam menjemput perpisahan
Biar kusapu sampah pestanya
Kuingin pesta sampai usai
Air mataku leleh oleh bumi


Aku hanya khawatir bila tidak mampu mengukur dan menyiapkan seluruhnya tepat waktu.