dari masa SMA eps 03

Selasa, Februari 10, 2015 0 Comments A+ a-

2010

Tahun itu adalah waktu yang cukup fenomenal dengan rencana kedatangan seseorang ke Indonesia. Miyabi bintang Japan Adult Video yang lagi pada peak performance-nya di negeri sakura akan main film di Indonesia. Sebagai anak muda yang melek internet, berita ini tentu sempat kubaca pada masa itu. Kombinasi rasa ingin tahu dan sensasi kekaguman fisik mengantarku kepada wallpaper-wallpaper yang bertebaran di dunia maya. Ini hanya bisa di lakukan di warnet, sebab akan berbahaya bila di buka di asrama. Maaf waktu itu belum ada kemampuan untuk menembus situs-situs yang terblokir, jadi, kalian harus paham, bahwa miyabi hanya bisa kulihat melalui situs google.




Apa hubungan kedatangan Miyabi dengan masa kelas 2 sma-ku? Hmm tidak jelas memang. Namun setidaknya kedua hal tersebut terjadi pada tahun yang sama. Setengah tahun kemudian kalau tidak lupa, aku menyaksikan kebolehannya berakting dalam film Hantu Tanah Kusir. Oh ya, sebelumnya kedatangan wanita yang bernama asli Maria Ozawa ini dicekal oleh berbagai pihak yang tidak suka dengan perilaku dan profesinya. Namun ternyata orang yang menginginkan kedatangannya ke indonesia lebih pandai, mereka membawanya diam-diam.

Dari kata diam-diam, kemudian aku ada lagi. Lagu kontroversial dari Ahmad Dhani ft Dewi Perssik. Dengan munculnya sebuah video tentang simbolisasi dajjal yang tampak pada video klip lagu ini, Ahmad Dhani dan Dewi Perssik di tuduh sebagai agen freemason, pengikut setan.Hmmm.

Diam-diam.

Dalam beberapa tulisan indahku, aku turut menggunakan kata-kata ini. Mengikuti tren melankolis : Tunduklah, seperti pohon mahoni yang mencintai dalam diamnya.

Dalam realitas, diam-diam bukanlah menjadi pilihan terbaik. Diam akan mengakibatkan tertahan, dan tentu suatu saat akan melawan.

Aku tidak diam. Aku menyanjungi dia-ku dengan syair, yang meski hanya aku yang mengakuinya sebagai merdu. Aku membuatkan tulisan indah padanya hampir setiap minggu, sesuai dinamika gabungan perasaanku dengan momen-momen yang tercipta. Namun ya nasibnya seperti Hujan Bulan Juni Profesor Sapardi. Dengan latar geografis yang ku tempati dan sosiologis yang mempengaruhi, aku menjadi seorang yang tidak diam. Aku post kan mereka di blog pribadiku.

Hanya saja waktu itu, sepertinya dia-ku belum sadar. Tetapi kawan-kawan sudah banyak yang mulai tahu dan ingin mencarinya lebih.
Diam adalah salah satu kata yang tidak kusuka waktu itu bahkan sampai sekarang. Meskipun kata pepatah diam adalah emas, namun kata orang bijak dari UI, 20 tahun kemudian kita akan lebih menyesal atas apa yang tidak kita lakukan daripada atas hal yang sudah kita lakukan. Maka diam bukanlah pilihan pertama.

Tindakanku ini ikut terlibat dalam mencampuri pemahamanku akan apa itu asmara, merasakan kasmaran, rindu yang tidak terduga. Bisa jadi ini hanya dinamika peredaran hormon dalam tubuhku yang remaja. Namun sensasinya nyata dan dapat kurasakan, bahkan sampai sekarang, bekasnya masih dapat kuingat.

Kata orang bijak dari Bandung kangen kepada kenangan adalah sesuatu yang indah dan masih ada yang belum diselesaikan. Ah, apa yang belum diselesaikan sementara tidak ada sedikitpun aku  memulai?

Waktu kelas satu atau dua SD aku dibelikan buku peribahasa oleh Ibu, disana tertulis kalimat “bagai pungguk merindukan bulan”. Aku merasa selalu sebagai pungguk, dan dia-ku adalah bulan, yang tiada bisa akan kucapai kecuali dalam mimpi. Waktu itu.

Hmmm. Seiring perjalan hidup dengan waktu yang bergerak seolah dipercepat beraturan, aku makin dapat banyak pelajaran atas ujian-ujian hidup yang telah kualami. Aku makin mudah tersenyum, aku lebih mudah bahagia, aku makin dekat dengan kebahagiaan sebab aku akhirnya mengerti, kebahagian bukan sesuatu yang lain, dia ada di dalam diriku dan aku harus menciptakannya kalau aku mau. Begitu kata guruku, orang bijak dari Bandung.

Kalau memang cinta sejati tentu ia takkan kemana, tidakkan lari seperti gunung yang dikejar.

Dia ku 2010 bukan dia ku hari ini. Harus diterima seluas cinta dan pemahaman. Yang jelas, kita adalah pemilik sah republik ini (Taufik Ismail).