Tiga Mimpi

Kamis, Maret 24, 2016 0 Comments A+ a-

3 hari terakhir aku punya 3 buah mimpi, ah tidak...tidak.. 3 mimpi, yang membuat aku sedikit merenung. Sehabis mendapat ceramah dari sesosok senior, sebut saja seniortogok (mohon maaf memplesetkan namamu, semoga nanti tidak ada ormas yang memukuli aku perihal ini). Ia berceramah tentang Nietzsche. Ini posternya (ceramah pakai poster segala, ya dong, inilah pekerjaan mereka yang lebih dari sekadar pekerjaan).
Judul yang ‘menyeramkan’ bukan? Nah aku garis bawahi, satu pokok isi ceramah beliau kali ini adalah kehendak untuk berdaya (meskipun mereka menyebut hal ini sebagai kajian atau diskusi). Mengapa demikian? Demikian yang mana? Jika demikian yang kau maksud adalah terjemahan dari will to power atau der Wille zur Macht menjadi kehendak untuk berdaya, ini aku punya jawabannya. Seniortogok mengusulkan ‘proposal’ agar terjemahan power di sana menjadi berdaya saja, menggantikan terjemahan selama ini : berkuasa. Sebab menurut penuturan beliau, terminologi berkuasa itu sudah dibentuk sedari kita kecil sebagai suatu hal yang kurang baik atau buruk. Penguasa, berkuasa, ‘ia’ mendapat kesan negatif. Ya konotasi negatif. Makanya berdaya, diharapkan agar supaya lebih berterima. Paham? Hehehe.
Kembali ke Tiga Mimpi tersebut. Mimpi memang alam yang penuh misteri. Hmmmmm.....sepertinya bukan begitu, mimpi adalah alam misteri. Banyak hal yang bisa atau sebenarnya tidak bisa dipelajari dari mimpi. Ada yang bilang mimpi sebagai bunga tidur. Tetapi ada juga yang sampai mempelajari hal ini secara mendalam. Sebut saja Sigmund Freud. Dan satu kawan, H. Wirabrata, ingin membuat matriks mimpi (dengan bantuan ilmu matematika, entah bagaimana caranya). Lalu ada juga penafsir mimpi, salah satu nama yang terkenal tentu : Nabi Yusuf a.s. Ada juga sutradara yang memfilmkan mimpi. Dialah Christopher Nolan yang fenomenal itu. Kali ini kembali lagi ke tiga mimpi. Berikut saya uraikan satu per satu. Satu dulu, lalu dua, kemudian tiga.
1. Mimpi bertemu Cak Nun di sebuah unit musik berisik ITB
Sore itu langit meremang jingga. Bukan, bukan. Sore itu seperti biasanya, unit musik berisik ini berulah lagi. Bukan salah mereka sebenarnya. Memang di kampus Gajah Ganesha, kampus enterpreneur, kampus para tokoh besar bangsa ini (kata orang-orang), dan apalagi kampus terbaik bangsa ini, ah. Yang jelas, tidak ada ruang musik yang layak (atau saya yang tidak tahu? tidak tahu). Tapi nyatanya, unit musik ini bermain di sekre sendiri dan tidak di suatu ruang studio musik yang kedap suara dalam kampus ITB. Dan hal itu tentu cukup mengganggu aktifitasku. Entahlah bagaimana kalau mahasiswa di sekre unit lain.
Adzan maghrib berkumandang via pengeras-pengeras suara mesjid-mesjid. Mereka masih terus main. Lalu Seniortogok yang sebenarnya sudah lama kesal dengan mereka itu, para pemain musik, melabrak mereka. Mengatai dan memarahi. Namun di dalam mimpi itu, mereka terus saja bermain musik. Mereka tidak memedulikan Senior. Senior hampir kalap, namun aku, pada mimpi itu berubah menjadi orang yang lebih proaktif. Aku menengahi konflik ini. Rasanya di dunia nyata aku tidak pernah bisa memosisikan diri diantara dua atau lebih orang yang sedang berkonflik. Termasuk jika aku adalah salah satu kubu yang berkonflik. Aku biasanya tidak tahu harus berbuat apa. Nah setelah kulerai, unit musik ini segera masuk ke dalam sekre. Dan berhenti. Senior pun kembali ke peraduannya (kampus Tiben) untuk melanjutkan produktifitas.
Aku masuk ke dalam sekretariat unit musik ini. Di dalam sudah duduk 4 orang pemuda, mahasiswa, mereka diam saja. Entah bagaiamana ceritanya aku menasihati mereka, memberikan peringatan tentang pentingnya toleransi, tentang jadwal latihan yang mesti diatur supaya tidak mengganggu sekitar (unit lain). Dan aku mengusulkan, jika ada uang, cobalah pakai karpet di dinding atau bahan-bahan kedap suara lain di sekre ini. Supaya suara-suara yang berkemungkinan berisik itu bisa diredam.
Tiba-tiba muncullah Cak Nun entah dari mana dihadapan kami berlima. Beliau memberi wejangan-wejangan. Sesaat kemudian aku terbangun.
2. Mimpi ‘diterima’ dua gadis sekaligus
Kalau mimpi yang ini memang bagaimana ya? Kuceritakan dulu hari sebelumnya. Pernah terpikir olehku. Hmmmm..bukan, bukan, ini lirik lagu. Hari sebelum mimpi ini muncul, aku berniat untuk melakukan hal yang revolusioner. Jangan kau bayangkan revolusioner menurutmu. Ini tidak sekeren itu. Cuma aku ingin menyatakan cinta kepada tiga perempuan sekaligus, bukan apa-apa, bukan pakai teori peluang juga tentang kemungkinan diterima, aku tidak suka matematika dibawa ke domain perasaan manusia, seolah bisa dihitung di atas kertas atau di atas selain kertas. Aku ingin saja, supaya ketiga perempuan ini tahu. Aku suka.
Namun mulai ada pergulatan pada batinku. Aku ragu. Pada titik ini aku tidak bisa mengeksekusi ide tadi. Oleh keraguan akan konsekuensi ini, aku tak dapat menyatakan kepada ketiga orang ini. Pun walau satu orang. Akhirnya tidak jadi. Konsekuensi yang kupikirkan adalah bukan bagaimana jika diterima atau ditolak, tetapi apa nikmatnya perjuangan model begini? Sisanya ya keraguan akan segala hal yang berkaitan dengan yang kupikir dan kurasa pada waktu itu.
Hmm...karena pusing. Aku tidur. Di atas kasur, di kontrakan.
Aku mengirim LINE ke dua orang perempuan. Isinya begini.
Aku : Jadian Yuk!
Mereka : Jadi apa?
Aku : Sepasang Kekasih.
Nah, aku lupa apa balasan kedua perempuan ini. Yang jelas dalam alam mimpi tersebut kami memang menjadi dua pasang kekasih. Satu pemuda dua gadis. Namun dalam rahasia dan jarak nun jauh.
Aku senang. Bahagia. Riang. Sungguh.
Aku terbangun.
3. Mimpi akrab dengan Bunga (sebut saja namanya demikian, nanti dia atau aku malu jika diungkap nama sebenarnya, atau malah seperti kata Oval, merusak hubungan, hubungan memang rapuh dan rentan akan kerusakan, aku tidak tahu mengapa).
Mimpi ketiga alias terakhir ini adalah mimpi di siang hari. Pada 22 Maret 2016 kira-kira jam 14.00 WIB. Aku mulai tidur, dan bermimpi, entah mulai jam berapa. Dalam mimpi itu, aku berdua dengan Bunga. Kami mulai berkenalan entah bagaimana ceritanya, lalu dia mengeluarkan laptop, namun aneh, layar laptopnya seperti kalkulator, layarnya hanya seluas kalkulator casio yang kupakai waktu ujian tengah semester seminggu lalu (namun namanya mimpi di laptop itu dia juga bisa menyelesaikan artwork-nya, semacam ilustrasi). Aku menertawakan Bunga, itu laptop atau kalkulator? Namun karena responsnya kurang ceria, mungkin tersinggung, dalam mimpi itu aku jadi pemuda yang lihai mengendalikan suasana, aku mengalihkan dan dia tertawa lagi. Kami saling mencanda. Dia kelihatan bahagia, dan aku teramat senang. Ini awal yang baik dan hubungan yang hangat. Puncaknya adalah adegan dimana kami saling menatap, dan seperti saling memahami kehendak hati satu sama lain. Serentak kami berpelukan. Tulus seperti teletubbies. Erat seperti sepasang kekasih.
Bangun.
Aku merasakan sisa-sisa bahagia itu masih tersisa sampai kini, sampai aku menuliskan kisah nyata ini. Barangkali sekresi hormon bahagia yang entah namanya apa (mungkin endorfin).
Dari ketiga mimpi ini aku mulai mencoba merenung, berkontemplasi, dan berfilsafat. Alam mimpi begitu berbeda dengan alam non-mimpi yang selanjutnya dinamakan sebagai alam nyata. Alam mimpi punya dunia sendiri dan demikian juga alam nyata. Akan tetapi kedua alam ini terhayati oleh satu entitas subjek. Yang pada umumnya mendakwa bahwa alam nyata sehari-hari ialah realitas dan alam mimpi alam yang non-real. Namun terima atau tidak, kedua alam ini sepertinya saling terhubung entah melalui apa dan bagaimana caranya.
Lalu aku mulai mengeluarkan asumsi atau anggapan sementara bahwa mengetahui realitas sesungguhnya adalah menyakitkan (setidaknya dalam kasus ini). Mengetahui realitas yang objektif bisa meruntuhkan citraan atau imaji yang telah sengaja ataupun tidak yang sudah tumbuh dalam diri kita. Begitu tahu bahwa realitasnya adalah berbeda maka, ya. Mungkin inilah benturan. Sederhananya mungkin seperti ekspektasi dan realita yang tidak sama.
Dapatkah realita dan ekspektasi sama? Mungkin bisa mungkin juga tidak. Yang jelas cuma ada satu kata : Hayati!
Bila ketika tidur kita mimpi buruk, maka ketika bangun kita bisa bahagia karena kejadian buruk tersebut hanya sepotong mimpi yang non-real. Dan di kehidupan nyata kita, yang non-real itu sama sekali tidak terjadi. Akan tetapi adegan mimpi buruk tersebut juga dapat menghantui kita, apakah ia akan terjadi? Segera atau bagaimana? Karena tidak ada yang bisa menjamin apa hal yang pasti tidak terjadi? Semuanya mesti ditunda saja, dengan belum terjadi, bukan?
Lalu bila disaat tidur kita mimpi indah, maka ketika bangun akan ada sedikit kekecewaan atau sebutlah kekesalan meskipun dalam kadar yang amat kecil. Namun tetap saja, mengapa hal itu hanya mimpi? Mengapa justru cuma dalam alam yang non-real, mengapa sekaligus tidak dialami saja pada kedua alam : nyata dan mimpi? Akan tetapi, bisa juga masih tersisa keping kebahagiaan yang menjalar ke alam nyata. Sebab keduanya tiada terputus.
“Suatu hari, aku, Tzu, bermimpi jadi kupu-kupu yang terbang kian kemari. Serasa benar-benar menjadi kupu-kupu. Aku hanya menyadari kebahagiaanku sebagai kupu-kupu, tak ingat bahwa aku adalah Tzu. Tiba-tiba aku terjaga, dan beginilah adanya, menjadi Tzu. Sekarang aku tidak tahu apakah aku seorang manusia yang pernah bermimpi menjadi kupu-kupu ataukah aku seekor kupu-kupu yang sedang bermimpi jadi manusia. Antara manusia dan kupu-kupu tentulah ada pebedaan. Transisinya aku sebut transformasi hal-hal material. " translated by G. Suyasa.