Tanah Ladiang Kedong

Minggu, Oktober 09, 2016 0 Comments A+ a-

Ladiang kedong berayun sampai menemu bahu salah seorang dari dua lelaki 50 tahunan yang tengah bergumul itu. Sobeklah daging tua dan darah muncrat lepas. Seperti air mancur dari keran yang Haris mainkan di taman bunga TK. Merah seperti sirup marjan bulan puasa, atau darah kerbau tatkala lehernya bertemu pisau kala hari raya haji. Orang-orang cuma bisa menyaksikan. Tidak satupun dari mereka yang tampak ada niat untuk melerai. Bisa-bisa kalau ikut campur, malah mereka yang tertebas tajamnya parang.

Anak-anak, orang dewasa, dan kakek-nenek mengambil tempat—posisi enak—seolah sedang menonton hiburan. Pertarungan jarak dekat dengan ladiang kedong. Parang yang biasanya dipakai untuk menebas batang pisang atau menebang pohon, kini dipegang oleh dua orang yang banjir amarah untuk saling membinasakan, menghabisi satu sama lain. Ini barangkali termasuk kearifan lokal juga. Pertarungan dengan alat tradisional. Tidak seperti dalam film barat : pistol dan samurai.

Adegan itu masih jelas terekam dalam benak Haris. Ia tidak berani melihat dari dekat seperti kerumunan orang-orang. Ia memilih melihat melalui jendela berterali besi. Dari kamar orang tuanya di lantai dua. Pertempuran itu cukup jelas disaksikan dari sana.

Waktu itu Haris kelas 2 Sekolah Dasar. Usianya tujuh tahun manakala mendengar gosip yang beredar : adalah soal perempuan sebab-musabab mereka baku hantam. Istri dari salah satu Bapak-bapak—yaitu dia yang terbacok pada bahunya—berselingkuh dengan istri bapak yang meninggal itu. Beliau yang membacok duluan itu meninggal dunia, entah bagaiamana ceritanya. Sepertinya lebih karena ajalnya telah tiba saja.

Setelah Haris dewasa, tatkala usianya dua puluh dua tahun, Ia baru tahu itu bukan perkara selingkuh. Berita yang beredar di masa kecil memang penuh dusta. Entah mengapa, orang dewasa kerapkali menyembunyikan sesuatu dari anak kecil. Apa alasannya tak jadi soal. Kebohongan tetaplah kebohongan.

Rudi namanya, pria kelahiran 1960 itu berangkat merantau ke luar pulau. Umur 18 tahun Ia tinggalkan kampung. Mencari nasib lebih cerah di kota. Ia mencoba pekerjaan apapun di kota. Dari kuli angkut, kernet hingga naik menjadi sopir angkot, sales jam, sampai dengan toke kakao dan pinang. Tahun 1990 Rudi kembali dari perantauan dan menikah dengan seorang perempuan kelahiran 1965, gadis kampungnya. Sang istri kemudian ikut dengan Rudi ke kota. Menurut kabar warung kopi yang beredar, mereka cukup sukses di kota. Sang Istri kini menjadi penjual emas dan Rudi tidak cuma menjadi toke kakao saja tetapi juga pinang, karet, dll.

Tahun 1998 ekonomi negara sedang keos. Tambah dengan stress-nya istri Rudi. Istri Rudi stress karena merasa rugi telah salah jual emas. Padahal sebenarnya Istri Rudi ini sudah beruntung besar ketika menjual seluruh emasnya. Bayangkan saja saat terjadi kenaikan harga emas dari Rp27.0000 per gram ke Rp75.000 per gram.  Istri Rudi untung besar bukan ? Seluruh emas yang ia punya dilepas ke pasar. Akan tetapi, pada pertengahan 1998 harga emas naik lagi jadi Rp145.000 per gram. Inilah penyebab istri Rudi stres. Ia membayangkan andaisaja emas yang Ia beli Rp26.000 per gram pada tahun 1996 ditahan sedikit saja lebih lama. Mereka bangkrut, tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung, mencari jalur hidup baru. Tetapi tidak segampang itu juga, pasangan suami istri ini mesti melunasi beberapa hutang terlebih dahulu.

Ali adalah rekan setongkrongan Rudi di kampung. Rudi kerap berdebat dengan Ali tentang mimpi-mimpi yang bisa dibangun di kota. Walau demikian, Ali tidak mau merantau ke kota. Kata Ali, Ia ibarat ikan yang sudah nyaman tinggal di empang, samasekali Ia tidak ingin ke laut. Bagi dirinya yang ikan, desa ini adalah empang dan kota ialah laut. Meskipun laut penuh terumbu karang dan segala yang indah-indah (biota bawah laut dan karang, pasir pantai dan bikini). Tetapi menurut Ali, dirinya bukan ikan air asin. Ia memilih berladang berkebun saja di kampung. Lantas Rudi selalu membalas dengan : “Pelaut yang tangguh tidak dihasilkan dari laut yang tenang, Li”, jikalau perumpamaan ikan melontar dari mulut Ali. Rencana Rudi, ia akan pinjam ke karib lamanya itu.

Rudi ada sepetak tanah kebun di kampung. Luasnya kira-kira dua hektar. Ia akan gunakan tanah kebun tersebut sebagai jaminan. “Jika dalam jangka waktu lima bulan kami tidak mampu mengembalikan pinjaman ini, maka secara langsung, kau berhak atas tanah itu”, Ucap Rudi ketika membujuk Ali. “Usahakan saja dahulu, jangan terburu-buru.” Maka diserahkanlah 16 emas (satuan yang setara dengan 40 gram berat emas) milik istri Ali, Wati, karena mereka memang tidak punya uang tunai. Dua hektar tanah kebun sebagai jaminan pinjaman 16 emas.

Rudi tidak kapok. Kota lebih menjanjikan. Hanya dua bulan Ia kerasan di kampung. Berbekal sedikit uang sisa pinjaman dari Ali, Bulan ketiga Ia ajak istrinya kembali mengundi nasib ke kota. Istrinya tidak menolak, ikut saja.

Bulan berlalu, tahun berganti. Tiada kabar, tiada berita dari Rudi. Tanah kebun sebagai jaminan itu sudah dua kali berganti tanam. Dulu jeruk kini kakao. Anak Ali pun sudah masuk SMA, dari hasil kebun itu. Rumah mereka pun kini sudah semen, menggantikan rumah papan. Konon juga dari kebun itu.

Tujuh tahun kemudian Rudi dan istrinya kembali ke kampung. Momen menjelang Lebaran Idul Fitri. Pas dengan waktu manakala para perantau mudik. Istri Rudi ingin melunasi utangnya. Katanya, Ia hanya akan membayar beberapa juta saja. Lantas Ali, karib Rudi tidak setuju dengan keputusan sepihak tersebut. Menurut Ali, itu melanggar perjanjian. Sedangkan Wati, istri Ali setuju saja, dengan syarat jika Rudi dan istrinya membayar 16 emas (berat emas yang sama dengan tujuh tahun lalu). Rudi dan Istrinya tetap bersikeras. Ia tidak mau melepas kebunnya seperti kehendak Ali dan tidak mau juga membayar 16 emas sesuai syarat dari Wati. Rudi dan istrinya hanya mau jika dan hanya jika membayar uang sekian juta itu. Ia beralasan bahwa Ali dan Wati tentu sudah mendapatkan uang yang banyak dari kebun tersebut. Selama kurang lebih tujuh tahun itu, Rudi dan istrinya menganggap bahwa hasil kebun itu sudah cukup untuk melunasi utangnya. Jadi mereka hanya perlu membayar sekian juta sajak sebagai bonus terima kasih.

Segala perjanjian tersebut tanpa tinta di atas kertas. Baik itu surat utang, maupun surat-surat tanah. Ya, tanah kebun itu tidak ada sertifikat kepemilikannya. Adalah sebuah aib bagi orang kampung ini mendaftarkan tanah mereka ke pembuat akta tanah dan mempunyai sertifikat kepemilikan. Orang kampung ini amat memegang teguh kerukunan dan kekeluargaaan. Jadi, membuat surat-surat tanah adalah sebuah penghinaan terhadap kekeluargaan. Belum pernah ada kejadian saling mengklaim tanah. Semua orang paham betul ponggen tanah. Biasanya penandanya adalah pohon besar dan tinggi. Misalnya durian dan pinang.


Wati akhirnya mengalah juga. Ia sedia-hati menerima uang beberapa juta itu. Esok hari, disaat Ali datang ke kebun, Ia menyaksikan kakaonya ditebangi Rudi. Tanpa pertimbangan, Ali kejar ladiang kedong kerumahnya. Pucuk ditawar, ular keluar. Ali tak perlu balik ke kebun. Rudi sudah menunggu pula di pekarangan rumah Ali dengan ladiang kedong di tangannya.