Abu

Minggu, Oktober 02, 2016 0 Comments A+ a-

Tatkala sedang berpikir tentang apa status yang mesti aku perbarui pada laman profil facebook—sebab menyitir ungkapan salah seorang teman : membuka facebook tanpa menulis status adalah seperti membuka celana dalam tanpa begituan—tubuh gempalku yang tengah golek di sekretariat unit bacot dan baca-tulis itu, tak sengaja bagian tungkainya menendang sebentuk asbak rokok. Asbak itu tak dapat dipersalahkan. Isinya tumpah. Puntung dan abu rokok tentu saja tak akan dapat masuk dengan mandiri ke dalam asbak kembali.


Hari ini kabarnya harga rokok sudah naik empat kali lipat. Aku tahu dari kawan-kawan yang merokok. Aku turut merasa aneh. Bagaimana dengan perasaan mereka ya? Menurut salah seorang kawan yang sudah memangkas uang jajannya untuk rokok dengan mengurangi frekuensi makan yang biasanya sebelum merokok 3 kali sehari menjadi 2 hari sekali atau sekali sehari. Ia tak dapat membayangkan. Mungkin akan melinting tembakau. Bagaimana kalau harga rokok jadi lima kalinya ? Entahlah.

Selain Sapardi Djoko Damono, Kartini Fuji Astuti adalah yang kuingat bila bicara abu. Sapardi tentu melalui puisi Aku Ingin-nya dan Sejuta Gugat dalam Asbak-nya Kartini. Sapardi menghadirkan metafora cinta yang menurut pengakuan teks puisinya sederhana seperti isyarat yang tak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu (bohong). Kemudian abu dalam asbak dalam cerpen Kartini yang berontak kepada rektor universitas.

Karena merasa ingin bertanggung jawab, aku mengambil kartu joker dan menjadikannya seperti sekop untuk memindahkan pasir dari tanah ke dalam bak pedati.

Kartu joker setidaknya selalu terdapat 3 dalam satu dek kartu baru. Namun tetapi, tidak pernah terpakai selama hampir tiga belas tahun aku bermain remi. Paling banter juga ada yang menggunakan kartu joker juga bukan sebagai joker itu sendiri tetapi substitusi kartu yang hilang. Misalnya kartu dua love hilang, maka joker akan digambar atau ditulis sebagai dua love. Sebab selalu saja ada yang tidak disiplin, dari 52 kartu nanti ada saja yang hilang.

Mengingat abu juga bisa dikaitkan dengan phoenix yang lahir baru pasca mengabu.

Selain itu, abu juga mengingatkanku kepada uban kakek. Tahun 1998-1999 kala usiaku 5-6 tahun, 17 tahun lebih muda dari sekarang, dan usia kakek 70 tahun, aku kerap menyentuhkan abu rokok ke jari telunjuk dan jempolku sebagai pengesat untuk mencabut uban beliau. Uniknya waktu itu, kakek memasang tarif 100 rupiah per 33 uban. Namun begitu, dua sepukuku, cucu kakek yang lainnya Wahyu dan Isan tidak berminat mencabut uban kakek.

Entah apa alasan kakek melakukan hal demikian. Aku tidak pernah mengerti.  Uban adalah rambut yang putih. Jumlahnya pada puncak kepala kakek jauh melebihi rambut hitamnya. Tentu sangat mudah mencabut 33 uban. Kalau ingin membuat tantangan bagi cucu mungilnya kala itu mestinya 33 rambut hitam untuk 100 rupiah. Kata kakek uban itu terkadang membuat gatal. Mengapa kepala kakek tidak dibotakkan saja ?

Pada Olimpiade Rio 2016, rasaku tepung yang dioleskan ke tangan atlet angkat besi itu analog fungsinya dengan abu rokok ketika aku mencabut uban kakek. Yaitu untuk meningkatkan koefisien gesek antara tubuh dengan benda lain. Memperbesar gaya gesek statis. Sebaliknya dengan gemuk atau oli pada rantai sepeda dan baby oil atau handbody pada penis saat masturbasi.

Abu dalam bahasa Arab artinya ayah. Abu rokok akan menjadi bapaknya rokok. Abu dan puntung yang sudah kusekop dengan kartu joker tidak kumasukkan lagi ke asbak tetapi langsung ke tong sampah. Entah mengapa ada hasrat dalam diriku agar nanti tidak terulang lagi peristiwa abu dan puntung tumpah karena asbak yang tersepak.

Kakek meninggal saat aku kelas 1 SD. Kata Ibu, kakek kena batu ginjal karena malas minum. Makanya aku selalu disuruh Ibu rajin minum. Oh iya, 1999 akhir aku belum menerima rapor. Coba kalau kakek masih hidup mungkin akan memberi hadiah : diskon uban, 33 uban menjadi 500 rupiah.

Abu rokok untuk uban berhenti di kakek sebab meskipun ibu mewarisi tradisi cabut uban, ibu punya pinset, lebih canggih dan bersih, dan tentu  tanpa embel-embel rupiah.