Usia Lima Tahun

Minggu, Oktober 09, 2016 0 Comments A+ a-

Usianya lima tahun kala itu. Ibunya sudah membayar biaya pendaftaran. Seragam pun sudah dijahitkan. Ia akan masuk TK. Anak lima tahun itu tampak amat gembira. Padahal cuma taman kanak-kanak. Barangkali karena akan punya kawan-kawan yang baru. Tetapi menggebu di awal tidak selalu menciptakan akhir yang memuaskan bukan ?

Hari itu hari pertama Ia sekolah. Tanpa kacamata, apalagi rambut ekor kuda seperti di lagu itu. Ia mengenakan seragam kemeja biru muda dan celana pendek biru tua. Resmi kini Ia menjadi murid TK Pertiwi.

Beberapa kawannya ada yang masuk ke TK ABA. TK yang bernuansa lebih Islami. Seragamnya hijau. ABA itu adalah singkatan dari bahasa Arab yang susah dihapal. TK ini memang sengaja dibuat oleh orang-orang Muhammadiyah kampung ini. Ibunya tidak memasukkan Ia ke TK ABA bukan berarti karena ibunya tidak suka hal yang berbau agama. Tetapi mungkin karena TK ini jaraknya lebih jauh dari rumah. (atau juga mungkin lebih mahal)

Uniknya, kedua TK ini sama-sama dekat pekuburan. Pekuburan umum di belakang TK ABA dan kuburan keluarga di sebelah TK Pertiwi. Konon, di TK Pertiwi itu terdapat kuburan panjang. Begitu yang Ia dengar dari teman-temannya. Mungkin isinya ialah orang tua bertubuh tinggi. Mungkin juga kuburan raja. Menandakan mayat di dalamnya adalah seorang pembesar semasa hidupnya. Jadi sesudah mati kuburannya dibuat besar, meskipun ukuran tubuhnya sama saja dengan orang biasa. Salah satu hal yang ingin Ia saksikan adalah kuburan ini.

Hari pertama : pemberi kesan pertama tentu saja. Membangun citra dalam pengalamannya. Ia merasa kurang enak. Manakala ada pembagian pensil, namanya tidak dipanggil oleh Bu Guru. Artinya Ia tidak memperoleh pensil pembagian. Sebenarnya Ia bawa pensil sendiri tetapi Ia merasakan pengecualian. Ia terasing. Ketika teman-teman sekelasnya mulai menggambar, Ia murung saja. Mematung. Apakah Ia belum resmi terdaftar sebagai murid TK Pertiwia? Entahlah. Ia makin keruh karena sang guru tadi kurang terampil menenangkan suasana hati bocah kecil nan rapuh ini. Ia kecewa. Mengapa dia tidak kebagian pensil? Mengapa cuma dia ? Bu guru bilang, “Kamu bawa pensil sendiri kan hari ini ? Coba pakai pensil sendiri dulu. Besok pensil kamu akan disediakan.” Huh !

Pagi tadi Ia diantar Ibu. Nanti siang Ia akan dijemput Ibu (saat pulang sekolah). Kejadian kemarin terulang lagi. Pembagian pensil dan Ia tak dapat. Bertambah kesallah Ia. Esoknya Ia dapat pengalaman yang tidak hanya menambah kesal tetapi mencipta trauma. Secara tiba-tiba ada teman lelaki yang mencium pipinya. Kini Ia tidak bisa berlama-lama lagi. Ia tidak bisa sabar. Ia tak tahan. Ia putuskan ini adalah hari terakhirnya di TK. Ia akan stop : keluar dari neraka ini.

Besok hari : Minggu dan libur, tanpa sepengetahuan Ibu, Ia robek kertas (tidak dalam bentuk rapi sebab Ia cuma mengambil bagian kosong dari kertas surat). Ia robek bagian bawahnya yang masih kosong. Ia ambil spidol. Lalu menulis : bu guru, asra sudah tidak ingin TK lagi. asra ingin menunggu setahun lagi supaya 6 tahun masuk SD. Ia lipat kertas tersebut. Lantas tanpa amplop, tanpa pembuka ‘yang terhormat’, tanpa menuliskan alamat dan kepada siapa surat itu diperuntukkan, Ia panggil Tia, temannya di TK Pertiwi. Ia titipkan sobekan kertas bertulis spidol hitam itu. Ia berharap supaya ’surat pengunduran diri’ tersebut diberikan Tia kepada guru TK-nya.