Afirmasi

Rabu, November 25, 2015 0 Comments A+ a-

Aku tidak tahu apa makna semua peristiwa yang kualami selama sebulan kebelakang ini. Kalau bisa aku berpendapat, aku hanya dapat menebak saja, apa hikmah dan pelajaran dibaliknya. Jikalau memang ia tidak berani menampakkan diri dalam bentuk peristiwa itu. Dua minggu aku sakit kepala, dikarenakan gejala sinusitis, dua hari kemudian aku diare. Barangkali Dia yang di atas sana ingin menghapuskan beberapa catatan dosaku yang sudah menumpuk. Sebuah komedi tragis juga menjadi pertunjukan yang ia ingin saksikan melalui diriku yang menjadi tokoh utama.


Hari itu dia akan ulang tahun. Entah dorongan apa, aku memutuskan untuk menaiki Arnes dan pergi ke Jatinangor. Aku tidak percaya dengan frekuensi hati manusia,bagiku saintisme tidak akan pernah menjelaskan realitas perasaan sedemikian konkret. Tetapi aku yakin dengan getaran perasaan. Mungkin paradoksal, tidak mengapa, biarlah.

Karena mau browsing lagi, nanti kulanjutkan

Setelah beberapa hari kulewatkan tanpa melihat ini lagi sekarang lagi.

Setelah makan pagi dengan lontong Lembah Harau di Dago dan karena rejeki anak soleh, dibayarkan oleh orang tua Rezky. Aku sudah bangun dari tidur pagiku. Setelah jam 2 tadi malam terbangun dari malam. Jam 11 tadi aku bangun. Dan segera menuliskan apa yang ingin aku tulis. Sehabis azan zhuhur dorongan untuk minum es kelapa muda membuatku beranjak dari kamar yang seperti kandang ayam tak terurus ini. Aku memakaikan kaos ke badan yang satu-satunya ini. Kulangkahkan kaki. Entah mengapa lagi ditengah jalan dan di tengah waktu aku berubah pikir, aku ingin jus saja. Jus alpukat. Apakah ini karena kemarin tidak jadi minum jus alpukat sebab si ibu penjualnya bilang jus alpukat sudah habis maka diganti saja dengan jus mangga. Mungkin. Aku putuskan saja beli jus alpukat. Pengganti makan siang. Setelah selesai jus, aku duduk di bawah jembatan layang itu. Menatap sekitar. Tidak ada pemain skateboard hari ini. Yang ramai malah taman jomblo di seberang sana. Mungkin karena wifi-nya yang gratis. Setelah habis aku kembali lagi ke kosan menuliskan ini.

Sudah lebih seminggu aku tidak menghubunginya. Mungkin diri ini butuh istirahat meskipun aku tidak merasakan lelah. Tubuh mungkin kuat tetapi batin entahlah. Semua akan terasa rumit bila mulai kupikirkan.

Kemarin aku ke Jatinangor lagi setelah takdir yang menentukan. Sidang sarjana seorang kawan yang luas pikiran dan keningnya. Beliau adalah Dyno, dia yang pacarnya cantik sekali. Yang membuatku iri dan iri hanya dibalik menjadi iri. Begitu kata Hamid dan Palindrom kata Ichsan, sarjana teknik industri itu. Aku berangkat  bersama Imam. Dia yang sedang gelisah ditimpa masalah. Seorang sarjana teknik tenaga listrik di ITB. Yang memutuskan resign dari tempat kerjanya, padahal baru sebulan ia di sana. Maklumlah idealisme memang tidak bisa ditawar. Dalam perjalanan pergi kami tidak banyak bicara sebab aku mengantuk dan tidur di atas Damri yang merangkak pelan itu.

Baru setelah perjalanan pulang itu kami bercerita banyak. Ia curhat tentang keinginannya menjadi manusia yang menjalani hidup lebih teratur dan nyaman. Ia ingin kerja dengan nyaman sesuai passion dan tentu saja materi bukan menjadi pertimbangan yang utama namun pertama.

Aku pun ingin berkontemplasi sebenarnya atas kejadian-kejadian beberapa bulan ke belakangan ini. Berapa sudah masa hidup yang kulewati? Dan apa pengaruhnya ? dan apa diriku yang baru?

Saat kawan-kawan seangkatanku wisuda oktober. Didit membawa rombongannya dari Jakarta. Sebuah avanza disewa dan 9 orang masuk ke dalamnya. Didit sebagai driver berangkat ke Bandung dari Jakarta. Sebuah reuni kecil malam itu. Di kofindo disertai permainan werewolf untuk menyatukan topik pembicaraan. Kerumunan terjadi. Canda tawa meledak sekeras-kerasnya seolah tak ada kesedihan tersisa. Begitulah sifat manusia. Bersama tertawa. Mulai cemas dan sadar dan ingat ketika mulai sendiri.

Terbayang segala sorge dan angst dan segala kendala.
Fadil yang sudah bekerja itu bertambah dermawan saja. Itulah sebaiknya yang terjadi pada manusia semakin punya semakin berbagi. Tidak malah menyimpan dan menimbun sendiri.


Kejadian-kejadian kutempuh dengan penuh. Kuamini segala hikmah dan pelajaran dibaliknya. Kuiiyakan bahwa setiap peristiwa adalah proses menjadi diri yang baru. Hidup meski terus meski misterius. Iklim diskusi seminggu belakangan mulai luntur dalam diriku. Aku larut dalam keseharian yang memang tidak jelas. Kapan hidupku jelas entahlah. Afirmasi.