Menjilat air liur sendiri Mendingan daripada tersedak air liur sendiri

Kamis, Juni 23, 2016 0 Comments A+ a-

Menjilat air liur sendiri
Mendingan daripada tersedak air liur sendiri
(Hana Azalia, Mei 2016)


1

Aku punya memori tentang air liur. Jika mendengar ini ada dua hal yang membayang pada pikiranku. Pertama ialah Ramos yang memberikan liur padat dan keras kepadaku. Kedua, cerita ini. Waktu aku kelas 3 Sekolah Dasar, Ramos menyodorkan suatu bongkahan, kala aku tengah berkunjung ke rumahnya di suatu minggu pagi penuh kartun. Dia bilang itu benda bisa dimakan. Aku lebih mengira itu adalah daging babi daripada semacam kue dari tepung yang digoreng hingga jadi keras. Aku tidak berani menggigitnya, aku cuma memegang. Ternyata itu adalah sarang walet. Sarang burung walet. Yang terbuat dari liur burung walet yang membuat sarang. Aku tidak perlu ‘namun’ untuk mengerti mengapa Ramos punya barang seperti ini. Tentu kedua orangtuanyalah yang mempunyainya untuk dijual. Katanya juga bisa dijadikan obat.


2

Pada saat bercukur di sebuah tempat yang di depan dindimg kaca beningnya tertulis ‘PANGKAS RAMBUT’ dengan sejenis cutting-sticker berwarna merah, dan bila aku tak salah, memakai jenis font Times New Roman ukuran seratus delapan, aku duduk terdiam selama lebih kurang setengah jam. Aku membiarkan lelaki tua itu dengan pasangan gunting-sisirnya menjelajahi puncak tubuh, kepalaku. Entah mengapa waktu itu aku merasakan bahwa produksi air liurku meningkat tajam. Lebih tajam dari gunting yang memaksa rambut hitam itu berpisah dari bagian-bagian dirinya yang lain. Meski demikian aku sedang tidak ingin mau menelan air liur yang otomatis dihasilkan oleh kelenjar badanku itu. Aku punya alasan, walaupun alasan itu akan terdengar tidak masuk  akal, biarkan aku menjelaskan.

Menurutku pada waktu itu, air liur yang encer mengandung penyakit. Kalau ditelan sama saja dengan memasukkan racun ke dalam sistem pencernaan sehingga mau tidak mau, rela tidak rela harus dibuang. Memang setelah dewasa beberapa keyakinanku di masa kecil masih ikut terbawa dan tidak dapat kuhindarkan. Salah satunya adalah tentang liur encer ini. Jika aku sedang demam, aku akan lebih sering meludah, karena liurku encer. Jangan kau tanyakan apa parameter encer itu. Hanya bisa kurasakan ketika liur itu berada dalam mulutku. Tetapi kini aku sedang duduk berpangkas dan harus menunggunya selesai, mana pula ada pelanggan cukur yang menghentikan proses cukur hanya karena pasien cukur ingin buang ludah sebentar? Aku menungu sabar. Mematung.


3

Aku teringat semacam teka teki Ibu tentang apa profesi yang paling ‘tinggi’ di dunia ini? Aku ingat menjawab presiden, karena menurut kumpulan pengetahuanku, presidenlah yang paling ‘tinggi’ di negara ini. Dengan logika bahwa tidak ada yang memerintah presiden, aku sampai pada kesimpulan ini untuk menjawab pertanyaan Ibu. Tetapi kata Ibu, Tukang cukurlah yang paling tinggi, bahkan ia bisa mengacak-acak kepala seorang persiden. Ibu mengatasi logikaku. Jikalau memang tidak ada yang memerintah presiden, siapa bilang? Tukang cukur bisa, dia bahkan bisa sedikt menowel-nowel kepala presiden dengan alasan sedang melakukan teknik cukur misalnya.


4

Semakin ke akhir aku memandang ternyata hidup ini tidak selinier dan sehirarkis tangga menuju lantai dua rumah Bibi. Maksudku begini dengan mengatasi yang lebih tinggi bukan berarti bahwa aku bisa mengambil simpulan bahwa aku sudah pada tingkat tertinggi. Hidup ini mungkin sirkular (melingkar) atau spiral, kalau tidak hiperdimensional tetapi yang jelas pasti tidak linier. Sebagai contoh untuk memudahkan apa yang kumaksud, ambil  saja perumpamaan tim sepakbola, Barcelona Real Madrid dan Atletico Madrid, Barcelona Menang melawan Atletico madrid, Atletico Madrid menang melawan Real Madrid, tetapi apa yang terjadi dengan Barcelona berlawan dengan  Real Madrid? Barcelona kalah.

Lalu bagaimana jika pertandingan itu dilakukan serentak? Bertiga sekaligus? Hanya ada dua kata : tidak tahu.

Beberapa tahun yang lalu aku juga membaca sekilas buku antologi puisi Joko Pinurbo berjudul Baju Bulan, ada tukang cukur di sana. Di buku antologi puisi Munajat Buaya Darat-nya Mashuri juga. Kemudian pada majalah Ino milik Ramos, ada juga, tentang  tukang cukur dan dokter adalah orang yang sama pada zaman dahulu. Tukang cukur adalah dokter juga yang bisa mengobati penyakit dan dokter adalah juga tukang cukur yang bisa memangkas rambut. Aku mendapat kabar dari Ibu bahwa tukang cukur yang mencukur rambutku waktu kecil dulu meninggal lima tahun lalu saat aku berangkat ke Bandung.


5

Tersedak acapkali disebabkan oleh ada orang di luar sana yang sedang membicarakan keburukanmu di saat yang bersamaan. Atau semacam kontak batin atas peristiwa tidak mengenakkan kepada seseorang yang berikatan batin denganmu. Kedua hal itu kudapatkan dari cerita Ibu dan sinetron yang kutonton semasa kecil.

Tetapi jelas aku tidak percaya. Aku merasa bahwa aku sering mendapati diri sebagai seorang yang peragu. Entah kritis atau skeptis, aku tak mau peduli. Aku hanya merasa ragu. Pada masa SMP dulu aku bisa menjelaskan tentang tersedak sebagai fenomena pada saat mempelajari sistem pernapasan dan pencernaan manusia. Akan tetapi paham mekanisme biologis tersedak tidak dapat membantah pengetahuan yang lain tentang ada orang yang sedang menggunjingkanmu ‘kan? Atau kontak batin tentang terjadinya peristiwa tidak mengenakkan atas orang terdekat? Teramat sulit dikonfirmasi bukan? Sebab menggunjingkan bisa saja diam di jeluk hati terdalam, atau peristiwa tidak mengenakkan adalah bisa amat personal dan tak tampak. Hanya saja mungkin sinetron menyederhanakan menjadi kejadian ditabrak mobil atau  lainnya.



6

John Bonham, drummer yang terpuji itu kabarnya mati gara-gara tersedak. Sedikit kisahnya pada suatu malam setelah menenggak vodka (baca : air kesunyian) berkadar hampir setengah. Tentu kemudian ia tak sadar. Lalu tertelungkup, dan tersedak. Paginya mati.

Mulutku sudah penuh liur, dan tak mampu lagi kutahan, ia muncrat, meluber ke kain putih yang dilitkan tukang cukur supaya rambutku yang dia potong tidak mengenai baju dan tubuhku.


0

Aku tidak pernah paham soal keterpisahan. Mengapa air liur di dalam mulutku tidak najis tetapi begitu ia keluar, misalnya ketika kubanting ke lantai ia menjadi sedemikian hina. Dan kabarnya bila aku meludah di tanah Singapura, aku akan kena denda. Air liur kabarnya dihasilkan oleh kelenjar parotis dalam mulut yang berfungsi untuk membantu menghancurkan makanan dalam mulut dan sistem pencernaan. Beberapa hewan bahkan hanya menggunakan liur ini untuk mencerna makanannya. Tanpa mengunakan gigi untuk mencabik cabik dan merobek. Semacam zat yang bisa melunakkan, menjadikan makanan itu siap olah oleh sistem pencernaan dalam perut. Bahkan bukan karena lantainya juga, jikapun aku kumpulkan dalam sebuah wadah. Misalnya tabung plastik bekas tempat rol film kamera zaman dulu. Itu tetap menjijikkan, mungkin.
Tetapi apa pula yang tidak menjijikkan di dunia ini selain diri sendiri !

Aku pernah membaca Muhammad dan kekasihnya, Aisyah, liur mereka pernah tertukar dan bercampur. Aku juga pernah mendapat kabar tentang Juliet yang menciumi mulut Romeo, mengisap liur Romeo-nya yang telah sekarat sehabis menenggak racun. Barangkali air liur adalah persatuan dan keterpisahan itu sendiri atau hanya sebatas agar tidak tersedak saja.
                   Bandung, 29 Mei 2016 (dimuat di zine itbnyastra #5 kalo ga salah)