Untuk Asra

Senin, Agustus 01, 2016 0 Comments A+ a-

UNTUK ASRA
dari Kukuh

Apa gunanya pendidikan jika justru membuatmu semakin terasing dengan rakyat? Apa guna pendidikan jika justru menghasilkan sarjana-sarjana yang korup? Di sisi yang lain, yang memandang pendidikan dari segi positif, telah banyak kita dengar dan banyak kita setujui. Pertanyaan yang saya ajukan, meskipun tidak populer dan bertendens, mungkin tidak dapat dihiraukan begitu saja. Pertanyaan yang pertama mungkin orang banyak mendengar, karena diajukan oleh seorang legenda bangsa, yaitu Tan Malaka.

Seorang Tan Malaka tentu tidak sembarang membuat sebuah pertanyaan bertendens. Terdapat latar belakang pertanyaan itu muncul. Bisa jadi (dalam imajinasi saya) dia melihat banyak orang terpelajar, yang bukannya justru ikut serta mencerdaskan rakyat, justru memanfaatkan kecerdasannya itu untuk membodohi rakyat. Melawan musuh yang pandai barangkali lebih 'mendingan' daripada melawan seorang kawan yang berkhianat, apalagi dia telah menjadi cukup pandai.

Banyak lagi pernyataan negatif tentang pendidikan. Misal, bahwa pendidikan hanya melatih orang untuk semakin pandai mencuri. Tidak sedikit pula, bagi orang-orang 'idealis-materialis', beranggapana bahwa pendidikan tidak lebih sebagai pelumas kapitalisme.

Nada-nada optimis tentang pendidikan, sudah sering kita dengar. Dari ungkapan yang bernada paling suci, hingga paling pragmatis. Bahwa pendidikan menjadikan manusia menjadi lebih luhur, lebih agung. Ada juga yang memandang pendidikan dibutuhkan untuk agar tetap hidup.

Lalu, apakah pendidikan demikian netral? Senetral angka nol yang bukan positif maupun negatif?

Saya sendiri berpendapat pendidikan tidaklah netral. Tetapi, pendidikan juga tidak negatif. Pendidikan adalah positif. Spekulatif, tapi kita mungkin harus melihatnya secara statistik, dalam sistem yang lebih luas.

Meminjam istilah dari Karlina Supelli, "Pendidikan bukanlah paket-paket yang dapat dijejalkan begitu saja". Sebagai gambaran adalah sejarah politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia. Pada mulanya, Belanda ingin mengajarkan ilmu kedokteran kepada 'inlander' karena jumlah dokter di Hindia-Belanda tidak cukup. Apa yang terjadi? Perlawanan paling depan justru dilancarkan oleh kaum terdidik STOVIA!

Hendak ke mana pendapat ini saya bawa? Sebetulnya, ini adalah salah satu argumen yang ingin saya berikan mengenai sifat Al Quran sebagai petunjuk.

Begitu banyak istilah lain dari Al Quran. Al Kitab yang berarti bacaan, As Sifa yang berarti penyembuh/obat, atau Al Huda yang berarti petunjuk.

Di tengah gencarnya 'fisalfat posmodernisme' yang 'menghegemoni', relativitas dan kekacauan adalah kunci. Tapi betulkah kita tanpa tujuan? Atau justru sesempit itu tujuan yang dihadapkan pada kita?

Ketika dihadapkan pada pertanyaan, netralkah pendidikan? Saya bisa dengan yakin menjawabnya tidak. Pendidikan adalah hal yang positif karena dia dianjurkan dalam Al Quran.
Pendidikan membuat orang semakin pintar, semakin banyak orang pintar akan menyebabkan banyak perbedaan dan perdebatan. Masyarakat kita (terutama Jawa) sangat anti dengan perbedaan. Tapi dalam sebuah sunnah, dijelaskan, bahkan pahala bagi seorang hakim yang memutuskan salah dalam sebuah 'pergolakan' akan diberikan satu pahala.